Daya Hidup Tradisi Wiwitan

Dilihat 7604 kali
Tradisi wiwitan sampai saat ini masih eksis di masyarakat karena di dalamnya mengandung tuntutunan moral yang dapat memberikan daya hidup di lingkungannya. Sumber foto: Dokumentasi Warung Info Borobudur

Di era digitalisasi ini yang di dalamnya ditandai dengan berbagai perubahan besar, baik bidang sains, teknologi, budaya, sosial, dan sebagainya, seakan tidak ada batasan antara ruang dan waktu. Semua akses informasi dengan mudah didapatkan. Hal tersebut tentunya tidak dapat dihindari, selaras dengan dinamika zaman yang selalu berubah dari waktu ke waktu.


Di balik perubahan besar tersebut, di beberapa daerah terutama pedesaan, sampai saat ini masih tetap memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang masih menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka tidak peduli, dengan pengaruh teknologi global, yang kadang karena faktor pengguna atau komunitas pemakainya mendesak dan meminggirkan nilai-nilai kearifan lokal tersebut.


Kekuatan komunitas-komunitas pedesaan yang tetap mempertahankan nilai kearifan lokal tersebut merupakan bentuk kekuatan prinsip benteng budaya yang layaknya perlu diapresiasi. Di zaman yang serba sibuk ini, mereka masih dapat terus menggali dan memaknai tradisi leluhur yang mereka yakini dapat memberikan daya hidup. Salah satu di antara banyak tradisi tersebut, sampai saat ini masih dikenal tradisi wiwitan.


Hubungan Persaudaraan


Pada dasarnya tradisi wiwitan merupakan upacara ritual tradisional komunitas Jawa sebelum melakukan panen padi. Wiwitan berasal dari kata wiwit dalam bahasa Jawa, berarti mengawali. Adapun yang dimaksud dengan mengawali di sini adalah mengawali kegiatan bercocok tanam padi. Dalam tradisi yang dilakukan oleh sebagian besar para petani ini, juga mengandung tujuan mulia, bahwa dengan mereka berkumpul dan menyelenggarkan perhelatan bersama, ikatan emosional dalam wujud solidaritas dapat terbangun.


Tradisi wiwitan ini, semula dipakai sebagai persembahan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Dewi Sri di Indonesia dikorelasikan dengan mitos asal-muasal tumbuh-tumbuhan,  terutama padi. Mitos ini berkorelasi dengan pemujaan kesuburan yang berorieintasi pada komunitas kultural agraris di Nusantara yang sudah sangat tua usianya.


Dalam kehidupan pantheon (dunia dewata) Dewi Sri dikenal sebagai istri Dewa Wisnu yang dipercaya sebagai dewa pelindung dalam Trimurti agama Hindu. Cerita Dewi Sri tertua terdapat dalam teks Tantu Panggelaran sebagai teks prosa yang ditulis sejak zaman Majapahit. Teks yang menarasikan tentang penciptaan manusia di Jawa dengan segala aturan yang harus ditaati. Para Dewa turun ke mayapada khususnya ke Pulau Jawa untuk menyempurnakan proses penciptaan tersebut. Batara Wisnu dengan Batari Sri menjelma menjadi raja di Medang Gana dengan gelar Sang Kandyawan (Titi Surti Nastiti, 2020).


Fungsi dan tujuan dari tradisi wiwitan yaitu sebagai suatu upaya dan usaha masyarakat  dalam permohonan kepada Tuhan atau pencipta dunia ini agar hasil panen mereka melimpah serta ke depannya tidak ada aral melintang.


Upacara ritual tersebut diawali, para petani berkumpul untuk berkarnaval menuju areal persawahan. Mereka mengenakan pakaian tradisional dan membawa uborampe (perlengkapan) seperti ingkung ayam, jajan pasar dan tumpeng. Orang tertua atau pinisepuh kemudian memulai prosesi dengan berdoa, lalu dilanjutkan memotong sebagian padi sebagai tanda padi sudah siap dipanen. Tetapi sebelum pinisepuh datang, petani sudah menyiapkan peralatan yang  dipakai untuk tradisi wiwitan seperti kendil yang berisi air, ani-ani (alat untuk memotong padi), bunga mawar, kemenyan serta kain jarik untuk  membungkus hasil padi yang sudah dipetik pinisepuh.


Setelah upacara ritual  selesai dilakukan, biasanya petani  membagi-bagikan hidangan uborampe yang sudah disiapkan kepada warga sekitar. Makanan yang disajikan antara lain nasi gurih, sayur nangka, krupuk, tahu tempe, peyek, teri, ayam kampung serta jajan kecil seperti telur, thonto (makanan olahan kelapa) dan biasanya dibungkus dengan daun pisang atau daun jati. Setiap warga, tidak hanya petani saja, boleh mengikuti upacara ritual wiwitan. Fenomena itu manandakan bahwa tradisi ini menepiskan batasan-batasan kelas sosial dalam masyarakat, yang menandakan relasi solidaritas sosial.

 

Nilai Moral


Bila ditelisik lebih jauh, tradisi wiwitan yang sudah berlangsung turun temurun secara patrimonial dari berbagai generasi tersebut mengandung nilai moral yang sangat berguna bagi generasi milenial saat ini, baik secara individu maupun sosial. Secara individu, tradisi ini memiliki nilai moral tanggung jawab dalam dalam menjaga keselarasan alam, patuh dalam mengikuti beberapa tahapan yang sudah disepakati, serta melatih kesabaran dalam pengolahan nafas spiritual atau batin.


Adapun nilai-nilai moral dari perspektif sosial dari tradisi wiwitan ini dapat menjadikan nilai kebaikan dan pesan-pesan moral bagi banyak komunitas, di antaranya pada aspek pertama, nilai toleransi. Ketika pelaksanaan tradisi wiwitan tumbuh pertama kali dan dihidupkan sampai sekarang, masyarakat desa yang mempunyai hajat wajib mengundang tetangga atau saudara yang berkeyakinan lain untuk bersantap bersama atau sekadar bersilaturahmi sebagai wujud rasa hormat kepada orang yang lain adat atau kepercayaannya.


Kedua, nilai gotong royong. Dalam setiap kegiatan di desa, gotong royong sudah merupakan bagian dari kehidupan kultural masyarakat. Ketika berlangsung perhelatan desa, baik yang religius atau fisik, semua bahu-membahu, tolong menolong satu sama lain, dengan slogan bahwa seberat apapun jenis pekerjaan, apibila dikerjakan dalam semangat kebersamaan dan juga dilambari rasa ikhlas, maka pekerjaan akan terasa mudah.


Ketiga, nilai spiritual. Dalam tradisi wiwitan mulai dari proses awal, perlengkapan yang dibutuhkan, dan berbagai hal yang terkait dengan teknis maupun non teknis, membutuhkan kekhusukan dalam menjalani. Mereka meyakini, bahwa tradisi peninggalan leluhur tersebut harus tetap hidup sampai kapanpun. Oleh karena itu, mereka menjalani dengan sepenuh hati, terutama mereka selalu mengedepankan aspek-aspek spiritual, seperti doa bersama, menjalankan kegiatan dengan mengerahkan semua energi positif yang dimiliki agar perhelatan terselenggara sesuai rencana.


Berdasarkan ekplanasi uraian di atas dapat ditarik suatu tautan benang merah, bahwa sampai saat ini, nilai-nilai kearifan lokal masih eksis, walaupun harus tetap bertahan dan harus bersanding dengan kondisi kultural kemajuan sain dan teknologi. Kiranya semua pihak perlu memberikan perhatian dan apresiasi pada nilai-nilai kearifan lokal tersebut. Karena disadari dan diyakini, bahwa di tengah gegap gempitanya sistem digitalisasi, nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan bagian dari desain besar kebudayaan tersebut masih dapat memberikan daya hidup di lingkungannya.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar