Memaknai Ungkapan Tradisional Jawa

Dilihat 1730 kali
Dalam seni pertunjukan wayang banyak sekali ungkapan tradisional disisipkan sebagai tuntutan moral yang sangat berguna sebagai pembelajaran kehidupan. AKBP Yolanda Evalyn Sebayang Kapolres Magelang Kota mendalang dengan cerita Srikandi Senopati di Pondok Tingal Borobudur bulan Februari 2023 lalu.

Dewasa ini, pola kehidupan modern dengan berbagai perangkat kemudahannya sudah masuk ke semua relung kehidupan manusia. Pola kehidupan keseharian sudah disibukkan dengan aktivitas yang dengan gampang memanfaatkan perangkat teknologi. Apabila tidak disikapi dengan bijak perangkat-perangkat canggih tersebut akan mereduksi nilai-nilai moral dan etika yang sudah turun temurun menjadi panutan kehidupan.


Bisa dilihat saat ini, etika dari masing-masing individu mulai dari anak-anak sampai orang dewasa pun sudah banyak mengalamai perubahan. Anak-anak, ketika disapa orang yang lebih tua, manakala sedang asyik dengan gawainya, sama sekali abai. Dalam perjalanan, baik di pesawat, kapal, atau angkutan umum, bahkan di rapat-rapat seremonial, mereka sibuk dengan gawainya. Etika sosial komunikasi pergaulan, dengan saling sapa sebagai ungkapan persaudaraan, nyaris hilang bagaikan ditelan bumi.


Menyikapi fenomena tersebut, kiranya nilai-nilai budaya lokal yang sudah lama hidup sebagai tuntunan kehidupan, yang kini mulai ditinggalkan, terutama dari generasi milenial perlu dihidupkan kembali. Salah satu warisan budaya yang kini termarjinalkan dan perlu dihidupkan kembali antara lain ungkapan tradisional.


Gejala Kebudayaan


Sebagai bagian dari tradisi lisan ungkapan tradisional merupakan salah satu gejala kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat yang mencerminkan kepribadian dan cara berpikir anggota masyarakat pemakainya. Dalam hal ini, peran ungkapan tradisional sangat nyata atau faktual sebagai media komunikasi kepada masing-masing personal sebagai kolektif atau komunitas yang majemuk. Ungkapan tradisional merupakan kalimat atau perkataan yang mengandung kiasan mengenai suatu maksud yang harmoni dengan sudut pandang, sikap, dan tindakan yang berpegang teguh pada peraturan, adat dan kebiasaan yang diturunkan dalam kelompok komunitas.


Dalam ungkapan tradisional pada umumnya banyak berisi pendidikan etika, norma-norma sosial, dan nilai-nilai norma perilaku bagi setiap anggota komunitas. Adapun setiap ungkapan dapat dikorelasikan dengan serangkaian cerita dalam narasi yang dikenal dengan folklor. Adakalanya ungkapan diucapkan dalam sela-sela sebuah folklor, ada kalanya pula beberapa ungkapan muncul dalam satu cerita rakyat atau seni pertunjukan wayang, karena di dalam ceritanya mesti mengandung nilai-nilai dan pesan-pesan moral tertentu.


Tak bisa dipungkiri, apabila dirunut dari perspektif historis, dominasi ungkapan tradisional sudah mandarah daging dengan kehidupan masyarakat Jawa. Ungkapan tradisional Jawa merupakan dokumentasi juga kristalisasi sebagai rekaman dinamika hidup keseharian masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan wujud internalisasi kehidupan komunitas Jawa dengan alam sekitarnya yang tak lepas dari norma etika, estetika, juga pemikiran-pemikiran filosofis (Kasnadi, 2023).


Masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari sangat dekat dengan eksistensi Tuhan Sang Pencipta Alam dan isinya. Mereka memiliki keyakinan yang kuat atas keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Oleh karena itu, masyarakat Jawa memiliki ungkapan yang mengandung makna tentang ketuhanan, seperti manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya antara manusia dengan Tuhan), Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur), urip saka pangeran bali marang pangeran (hidup dari Tuhan kembali kepada Tuhan).


Contoh ungkapan tradisional di atas mengisyaratkan bahwa manusia sangat lemah, sehingga dalam menjalankan hidup di dunia ini sangat tergantung kepada Sang Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketergantungan itu, sampai dengan manusia merasakan bahwa dirinya dapat menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula lan Gusti).


Ajaran Toleransi


Di saat bangsa Indonesia belakangan diancam berbagai cobaan di antaranya intoleransi, ternyata dalam ungkapan tradisional Jawa sudah memuat berbagai ajaran moral tentang nilai-nilai toleransi yang harus dikedepankan, agar masing-masing individu dapat menghargai satu dengan lainnya, walau itu berbeda kultur atau kepercayaannya.


Bagi komunitas Jawa, segala bentuk sikap yang akan disampaikan kepada orang lain, terlebih dahulu perlu dinilai tingkat kebenarannya melalui pertimbangan berupa konsekuensi logis yang akan terjadi bila bentuk sikap yang akan disampaikan itu terjadi pada dirinya sendiri. Konsekunsi logis tersebut implikasinya terkait juga dengan perasaan terhadap segala sesuatu yang dirasakan orang lain. Komunitas Jawa mengenal konsep tersebut dengan sebutan tepa selira atau cermin diri.


Melalui konsep tepa selira inilah dapat dipetik muatan tuntunan moral untuk memiliki sikap empati pada orang lain. Oleh karena itu, berbagai stigma atau penilaian negatif terhadap segala sesuatu yang ada para orang lain, sebaiknya perlu dithinthingi atau diterapkan sebagai nilai yang menimpa dirinya sendiri. Konsep tepa selira ini dapat dikatakan relatif dominan mendasari toleransi.


Di samping itu juga terdapat ungkapan tradisional lain yang menjadi pijakan sikap toleransi, yaitu konsep empan papan (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Konsep empan papan menuntut keluwesan lahir batin untuk menyesuikan diri dengan situasi dan kondisi pada tempat maupun waktu tertentu. Sikap dan tindakan seseorang perlu mempertimbangkan tujuannnya, yakni untuk siapa, di mana, bagaimana caranya, hingga seberapa jauh kemungkinan implementasinya. Sebagai misal, untuk berkomunikasi, perlu juga memertimbangkan tempat, waktu, situasi, budaya, kepada siapa berkomunikasi, dan sebagainya. Untuk itu cara bertutur dalam komunikasi perlu adanya pemilahan, tidak bisa disamaratakan.


Dari berbagai gambaran ungkapan tradisional tersebut, kiranya mulai sekarang perlu dimaknai dan dihidupkan kembali. Langkah awal mulai dari lingkup keluarga. Di sini keluarga memiliki peran signifikan untuk mengawali memberi sisipan pemaknaan ungkapan tersebut. Dari lingkup keluarga bisa, merambah ke sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah wajib untuk memberi pembelajaran nilai-nilai moral, termasuk ungkapan tradisional tersebut. Terlebih lagi di masyarakat, ungkapan tradisional tersebut lebih leluasa dielaborasikan dan diterapkan karena terkait dengan kehidupan sehari-hari. Adapun, aksinya dapat diterapkan di rapat-rapat kampung, desa, juga kegiatan kemasyarakatan lainnya.


Apabila semua pihak bersinergi, kita yakin nilai-nilai ungkapan tradisional tersebut akan terus hidup. Nilai-nilai hakiki kearifan lokal sebagai tuntunan moral saat ini sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, agar dapat menyeimbangkan dengan derasnya arus modernisasi.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar