Menelisik Nilai Etika dan Edukasi Wayang Orang Gaya Yogyakarta

Dilihat 1301 kali
Wayang orang gaya Yogyakarta meniti jalan historis yang cukup panjang yang di dalamnya memiliki nilai etika dan edukasi sebagai tuntunan kehidupan manusia.

Di Yogyakarta pernah berkembang dengan baik sebuah seni pertunjukan berbentuk drama tari berdialog dengan bahasa Jawa yang dikenal dengan wayang orang. Berbeda dengan wayang orang yang dicipta oleh Adipati Mangku Nagara I dari Mangkunegaran Surakarta, wayang orang istana Yogyakarta ini merupakan drama tari ritual kenegaraan yang dicipta oleh  Sultan Hamengku Buwana I pada sekitar tahun 1756.


Konsepsi penciptaan wayang orang di istana Yogyakarta ini merupkan kiat untuk menghidupakan kembali pertunjukan wayang orang dari masa Kerajaan Majapahit. Kiblat Sultan Hamenku Buwana I berorientasi ke Majapahit sangatlah beralasan, karena sebagai raja baru dari kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram Surakarta, ia ingin  tampil sebagai raja yang sah sebagai pewaris tahta dari garis keturunan Majapahit.


Di dalam tradisi Jawa menurut penelitian R. Von Heine-Geldern dalam Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia (1956) terungkap bahwa seseorang yang ingin menjadi raja  bukan saja karena ia terbukti  masih merupakan  sosok aristrokrat keturunan raja terdahulu, tetapi ia harus memiliki  wahyu sebagai benda pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan  dunia dengan berbagai kekuatan alam. Wayang orang gaya Yogyakarta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana  VIII (1921-1939). Pada masa 18 tahun itu di istana Yogyakarta diproduksi pertunjukan wayang orang sebanyak 15 lakon yang bermacam-macam yang dominasinya bersumber pada wiracarita Mahabharata.


Pergelaran wayang orang di istana Yogyakarta dahulu selalu dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir pada sore hari menjelang matahari tenggelam. Pemilihan saat pertunjukan ini hanya bisa dipahami melalui konsepsi kenegaraan Kasultanan Yogyakarta, bahwa dari nama kerajaan Ngayogjakarta dan gelar Hamengku Buwana, jelas mengindikasikan penguasa Yogyakarta itu melegitimasikan dirinya dengan Dewa Wisnu. Gelar Hamengku Buwana yang berarti pemelihara dunia adalah gelar yang sama artinya dengan fungsi Dewa Wisnu sebagai pemelihara dunia.


Sedangkan nama Ngayogjakarta mengacu kepada nama Ayodya, kerajaan Sri Rama. Dan Rama adalah inkarnasi Wisnu. Dalam pantheon dewa-dewa di Jawa, Wisnu juga dianggap sebagai dewa pencerahan dunia. Dari data-data tersebut bisa diprediksikan bahwa pertunjukan wayang orang yang dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir saat matahari tenggelam merupakan upacara penghormatan kepada Dewa Wisnu sebagai dewa pencerahan dunia.


Sebagai seni pertunjukan istana tentunya terdapat tatanan normatif dengan  berpedoman pada tata cara dan etika istana yang di dalamnya juga terkandung nilai edukasi yang berlaku secara general untuk semua pendukung seni pertunjukan spektakuler tersebut (Soedarsono, 1985).


Nilai Etis


Nilai etis atau etika wayang orang gaya Yogyakarta ini, secara praksis dapat diamati misalnya dari tata cara berpakaian saja telah memberikan contoh-contoh yang baik bagi komunitasnya. Tata busananya, meskipun didesain berdasarkan pertimbangan estetis, namun masih konsisten berpijak pada tata susila Jawa yang spesifik. Hal ini tampak jelas pada tata  busana untuk pemeran  puteri. Para pemeran puteri ini mengenakan kain panjang yang membalut seluruh tubuh penari bagian bawah dari perut sampai  kaki.


Cara mengenakan kain juga agak kencang, hingga memberikan kesan bahwa seorang wanita Jawa tidak pernah mengangkat kaki tinggi-tinggi, melangkah kaki lebar-lebar, serta membuka kaki. Sampuradalah selendang  yang merupakan bagian tata busana yang sangat baku pada tari Jawa, dililitkan melingkari perut, dan kedua ujungnya berjuntai dari pusar sampai hampir menyentuh kaki.


Sampur yang dikenakan dengan cara sedemikian rupa jelas merupakan pertimbangan etis agar penari puteri waktu memegangnya tidak perlu membuka lengan. Sebab membuka lengan akan mengurangi nilai kewanitaannya. Sebaliknya untuk peranan laki-laki cara mengenakan tata busananya lain sekali dengan peranan puteri. 


Tari Jawa gaya Yogyakarta adalah tari yang memiliki  karakterisasi gerak untuk peranan laki-laki yang sangat maskulin, yaitu dengan mengenakan pola gerak yang selalu melebar.Untuk kebutuhan gerak ini peranan putera mengenakan celana agak panjang  yang menutupi bagian badan bawah dari perut sampai  ke bawah lutut. Kainnya pun dipakai dengan cara spesifik, yang menutup perut sampai di atas lutut dengan model supit urang (seperti model supit udang yang berbentuk lancip di tengah).


Selain itu setiap tari pasti didahului oleh gerak sembah yaitu gerak yang mengandung maksud untuk menyampaikan hormat dari seorang bawahan kepada orang yang stratifikasi sosialnya lebih tinggi.Hal ini berpijak pada konsepsi kenyataan bahwa wayang orang merupakan sebuah karya seni yang dilandasi oleh konsep-konsep estetis dan etika istana.


Nilai Edukasi


Di istana Yogyakarta pendidikan tari bagi para putera-puteri sultan dan para kerabat istana bertujuan  untuk menanamkan nilai moral dan humaniora. Di samping itu dapat diketahui bahwa istana Yogyakarta memiliki konsep pendidikan yang mengarah pada pembentukan manusia menjadi pribadi yang utuh. Hal ini diketahui dengan adanya kewajiban  para putera-puteri  sultan untuk menuntut ilmu dan seni.


Bahkan untuk kepentingan  pengembangan ilmu, sultan menyelenggarakan semacam kursus sendiri di dalam istana untuk putera-puterinya. Di samping itu, putera-puterinya juga diwajibkan untuk bersekolah di luar istana. Sedangkan untuk belajar menari di istana sendiri telah ada wadahnya. Pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII pendidikan tari di istana telah diatur sedemikian rupa, hingga mirip dengan cara yang ditempuh oleh raja Louis XIV di Perancis yang pada abad ke-17 telah mendirikan sebuah akademi tari yang disebut Academi Royalede Danse dalam usahanya untuk menghasilkan penari-penari profesional.


Cerita Mahabharata pada waktu itu selalu menjadi tema utama dalam setiap cerita dipergelarkan dengan dasar cerita ini dapat mendidik para bangsawan dan kerabat istana agar sifat-sifat kesatriaan yang terdapat dalam epos besar itu bisa menjadi suri teladan dalam hidup mereka. Selain itu tujuan komplementer dari pendidikan tari di istana yaitu untuk menempa fisik putera-puteri sultan menjadi sosok yang prima. Penari-penari istana yang selalu berlatih setiap hari akan mendapatkan  kondisi fisik yang baik sekali, karena ketika menari pengolahan batin, fisik, dan berbagai pengolahan stamina layaknya berolahraga harus menyatu dalam pola yang integral.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar