Prosesi Budaya Watuaji, Sedekah Warga Untuk Pelestarian Candi Borobudur

Dilihat 1527 kali
Ritual budaya pengambilan batu di sungai oleh seniman untuk Borobudur

BERITAMAGELANG.ID - Tembang Jawa Mocopat, mengiringi prosesi teateikal pengambilan batu Sungai Tangsi Dusun Pongangan, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Batu sungai itu menjadi simbol dukungan masyarakat adat dalam pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Candi Borobudur dan sekitarnya.


Prosesi pengambilan batu yang digelar Minggu (13/9/2020) sore itu diikuti oleh sejumlah seniman Brayat Panangkaran Borobudur, budayawan, akademisi dan pelaku pariwisata Kabupaten Magelang.


Bagi warga setempat Sungai Tangsi tidak saja menjadi simbol kesuburan yang mengairi ribuan hektar sawah, namun juga ada aliran sejarah peradaban nenek moyang.


"Batu ini adalah saksi alam pengabdian para leluhur kita dalam mewujudkan Candi Borobudur," kata Budayawan Brayat Panangkaran Borobudur Sucoro.


Berdasar naluri maestro pahat batu candi asal Muntilan eyang Joyo Prana memilih sebuah batu hitam berukuran sedang. Bentuknya tidak istimewa namun bagi penggiat sanggar pahat Sanjaya ini, batu pilihannya itu sebagai mustika Kali Tangsi yang dipercaya membawa kebaikan bagi masyarakat luas.


Sungai Tangsi ini bermuara di kali Progo yang berjarak 3 km dari Candi Borobudur. Saat prosesi ritual itu salah satu seniman dari Reptil Resce Borobudur melakukan atraksi menari bersama ular besar berwarna putih. Aksi teatrikal ditengah sungai itu sontak menjadi tontonan masyarakat yang tengah asik berwisata di Pasar Jajanan Tradisional Kali Pong.


"Ini juga menjadi rangkaian Ruwat Rawat Borobudur 2020-2021. Ruwatan batu ini diangkat dari niatan suci bersih masyarakat," tuturnya.


Menurut Sucoro, selain di Sungai Tangsi nantinya prosesi yang sama juga akan digelar di tiga alur sungai lain yang menjadi penanda dari empat penjuru mata angin. Pada empat penjuru mata angin itu yakni Selatan Sungai Sileng, Utara di Kali Pabelan, bagian Timur adalah Sungai Progo Elo,  dan sisi Barat adalah Kali Tangsi ini.


Nantinya empat batu pilihan itu, lanjut Sucoro akan dikumpulkan menjadi satu yang kemudian diserahkan kepada perwakilan pemerintah sebagai wujud dukungan, bagian kecil pembangunan infrastruktur dalam upaya pengembangan wisata Candi Borobudur.


"Harapannya kekuatan bersama ini akan menghadirkan keberkahan dan manfaat besar dari pengembangan wisata Borobudur," tegas Sucoro.


Seperti diketahui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengembangkan beberapa kawasan wisata di sekitar Candi Borobudur. Kawasan Borobudur telah ditetapkan sebagai salah satu KSPN Prioritas atau 10 'Bali Baru'. Dalam prosesnya, selain melakukan penataan infrastruktur pendukung, Kementerian PUPR  juga akan membangun 4 gerbang, yaitu Gerbang Blondo, Gerbang Kembanglimus, Gerbang Klangon, dan Gerbang Palbapang sebagai penanda masuk pariwisata Candi Borobudur. 


Semua batu sungai dari para seniman itu nantinya akan menjadi pondasi simbol kebersamanan diantara bangunan tersebut.


Konsultan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bambang Sunaryo yang hadir dalam acara tersebut berpendapat bahwa prosesi pengambilan batu ini memiliki filosofi mendalam bagi pelestarian Candi Borobudur.


Menurutnya keberadaan Candi Borobudur saat ini hanya sebatas dilihat dan dimanfaatkan sebagai obyek benda mati, batunya dan candinya saja. Maka timbulah persoalan. Ia mencontohkan dari sisi cagar budaya bangunan Candi Borobudur menanggung 'over carrying capacity,' atau bebannya terlalu besar, mulai dari batunya yang mulai lapuk keropos, miring akibat erosi dan sebagainya. Secara fisik seperti itu. Kemudian persoalan lain adalah tidak kasat mata yakni kecemburuan 'jelesi' antar masyarakat, antar pemerintah dan seterusnya. Ia berkeinginan agar Borobudur tidak hanya dimanfaatkan benda matinya saja tapi juga kehidupan disekitarnya. Sosial masyarakat itu menurut Bambang sebetulnya merupakan bagian dari Borobudur yang sangat sangat penting sekali.


"Tidak akan bermakna apa-apa kalau batu itu saja. Tapi batu itu adalah ada kehidupan disekelilingnya, itu sudah sejak dahulu, demikian Borobudur di bangun," jelas Bambang.


Dijelaskan Bambang, bahwa Candi Borobudur dibangun bukan sebagai satu tonggak mati namun merupakan representasi prosesi dari kehidupan alam sekitarnya itu. Pemberdayaan masyarakat mulai dipikirkan beradasar pada potensi yang ada dimasyarakat itu sendiri. Sehingga konteks pemberdayaan ekonomi budaya masyarakat Borobudur dapat terbentuk secara mandiri dan kuat.


"Sudah saatnya mulai harus dipikirkan bagaimana the living culture sehingga apa saja bisa dijual oleh masyarakat Borobudur," paparnya.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar