Dinamika Seni Pertunjukan Wayang Orang

Dilihat 747 kali
Difasilitasi Dewan Kesenian Kabupaten Magelang, wayang orang bertajuk Gatotkaca Winisuda dipentaskan di Kantor Kecamatan Muntilan (2002). Adegan Gatotkaca (diperankan Dwi Anugrah) dan Dewi Pergiwa (diperankan Lidwina Pusparatna). Peristiwa budaya tersebut menandakan wayang orang masih tetap hidup di Kabupaten Magelang.

Seperti yang sudah dilansir oleh berbagai media, tumbuk yuswa  atau ulang tahun ke-80 Sri Sultan Hamengku Buwono X  dari Kasultanan Yogyakarta berlangsung cukup meriah. Berbagai agenda acara digelar yang substansinya memuat kronik sosok Sultan yang masa mudanya bernama BRM Herjuna Darpito.


Kronik tersebut substansinya berorientasi pada berbagai capaian dan paradigma kebudayaan yang dicanangkan saat menjadi Sultan dan juga Gubernur. Di samping itu, juga ditampilkan pagelaran seni budaya, di antaranya adalah wayang orang dengan cerita Gana Kalajaya persembahan KHP Kridhamardhawa, salah satu organisasi seni budaya di Kraton Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, 21/10/2023). 


Sebagai suatu pertunjukan istana, wayang orang gaya Yogyakarta ini pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Selama kurun waktu 18 tahun itu di istana Yogyakarta diproduksi pertunjukan wayang wong spektakuler sebanyak 15 yang dominasinya bersumber pada wiracarita Mahabharata.


Pergelaran wayang orang di istana Yogyakarta dahulu selalu dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir pada sore hari menjelang matahari tenggelam. Preferensi saat pertunjukan ini hanya bisa dipahami melalui konsepsi kenegaraan Kraton Yogyakarta, bahwa dari nama Kraton Ngayogjakarta dan gelar Hamengku Buwono, secara ekplisit mengindikasikan penguasa Yogyakarta tersebut melegetemasikan dirinya dengan Dewa Wisnu. Gelar Hamengku Buwono mengandung makna pemelihara dunia merupakan gelar yang sama artinya dengan fungsi Dewa Wisnu sebagai pemelihara dunia.


Sampai saat ini, wayang wong Kasultanan Yogyakarta masih eksis dengan berbagai elaborasinya. Dengan demikian dapat menjadi indikator, bahwa aktivitas kebudayaan tersebut tidak stagnan atau berhenti, namun akan selalu berkembang dinamis selaras dengan dinamika maupun tanda-tanda zaman (Soedarsono, 1985).


Wayang Sakral


Di Kabupaten Magelang, seni pertunjukan wayang orang, sampai saat ini masih eksis di Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Setiap bulan Sura, wayang orang yang dikenal dengan wayang sakral ini tetap dipentaskan. Dinamakan wayang sakral, karena tidak setiap saat wayang ini bisa disaksikan. Hanya satu kali dalam setahun yaitu di bulan Sura saja, wayang ini dipentaskan.


Hal yang menarik dalam pementasan wayang sakral selalu mengambil cerita Lumbung Emas. Cerita tersebut, tidak pernah berubah walau sudah melintasi berbagai generasi. Adapun ekplanasi dari narasinya mengisahkan sosok Dewi Sri sebagai bidadari kesuburan yang selalu memberi pencerahan, penghiburan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Para petani sangat menghormati Dewi Sri sebagai simbol kehidupan, yang secara realitas diimplementasikan dalam kehidupan komunitas Dusun Tutup Ngisor dalam kegiatan pada bidang pertanian dan berkesenian.


Dalam konteks fungsi seni pertunjukan, wayang orang sakral di Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor yang sudah dirintis oleh pendiri padepokan yaitu Yasa Sudarma sejak tahun 1937 itu dapat diklasifikasikan sebagai fungsi ritual. Dalam fungsi ritual tersebut lebih mengedepankan pada tujuan pementasannya yaitu mengingatkan manusia untuk selalu instrospeksi diri dalam menghadapi dinamika kehidupan. Ada atau tidak penonton, pertunjukan tetap harus berlangsung. Sedangkan penarinya harus berasal keluarga besar padepokan.


Selain wayang sakral, juga dipentaskan wayang orang yang berfungsi sebagai hiburan. Adapun penarinya bebas, dari mana saja pun bisa ikut bergabung. Di sini manajemen dengan pola fleksibilitas menjadi pedoman bersama, tidak berdasarkan pola aturan yang kaku. Dengan hadirnya penari-penari dari luar, justru pintu sosialitas dibuka. Wawasan dari luar menjadi referensi dan akses positif untuk mengembangkan wayang orang, sehingga dapat menjadi seni pertunjukan profesional.


Dalam dimensi estetis, wayang orang di Tutup Ngisor lebih condong mengacu pada gaya Surakarta. Indikator spesifik bisa dicermati dari karakterisasi, baik antara tokoh karakter putra atau putri. Sebagai misal karakter putra halus dapat dibedakan antara halus luruh yaitu karakter wayang dengan kecenderungan karakterisasinya lembut, banyak menggunakan tipe gerak ganggeng kanyut (irama gerak mengakhiri gong), arah pandangan muka diagonal ke bawah, berbicara dengan nada suara rendah dan monotonial. Sifat dari tokoh ini rendah hati dan bijaksana, seperti tokoh Rama, Arjuna, Abimanyu, Bathara Kamajaya, dan sebagainya.


Sedangkan, untuk tipe tokoh putra halus lanyap atau dinamis, materinya hampir sama dengan tipe tari halus luruh, namun menggunakan irama prenjak tinaji (irama gerak tepat pada gong) dengan arah pandangan muka lurus ke depan, berbicara dengan nada suara sedikit agak tinggi dan melodis. Tokoh dalam klasifikasi halus lanyap lebih bersifat aktif, dinamis, dan agresif, seperti tokoh Karna, Kresna, Samba, Wibisana, dan tokoh-tokoh lainnya.


Karakterisasi tersebut berlaku juga untuk tipe karakter putri. Sedangkan untuk tokoh putra gagah lebih cenderung menggunakan gerak kalang kinantang yang merefleksikan dari tokoh yang dibawakan, dengan garis-garis gerak tegas, baik gerak lengan, kaki, atau bahu. Berlaku untuk karakter protagonis maupun antagonis. Di antara tokoh-tokoh yang menggunakan gerak kalang kinantang antara lain, Rahwana, Bomanarakasura, Gatutkaca, Jayadrata, dan sebagainya.


Adapun busana wayang orang di Tutup Ngisor juga mengacu pada busana wayang orang yang sudah menjadi acuan normatif seperti wayang orang pada umumnya, seperti irah-irahan (mahkota), sumping (hiasan daun telinga), sampur (selendang), dan lainnya. Penggunaan busana tiap tokoh dalam wayang orang disesuaikan dengan perwatakan dalam seni tari. Busana dengan dominan warna merah sebagai simbol sifat pemberani, suka marah, sombong, dan jahat, seperti Rahwana dan Baladewa. Warna putih untuk simbol kesucian diperuntukkan tokoh brahmana. Sedangkan warna hitam melambangkan simbol kebijaksanaan dan kematangan, seperti tokoh Rama, Arjuna, dan Yudistira.


Ruang Hidup Seni Tradisi


Wayang orang yang di dalamnya memuat kandungan nilai tontonan dan tuntunan hidup itu kiranya perlu diberi ruang hidup agar eksistensinya dan perkembangannya bisa lebih optimal. Untuk itu kiranya di Kabupaten Magelang, perlu dihidupkan kembali seni pertunjukan tersebut. Selain di Tutup Ngisor, kantong-kantong budaya lainnya seperti sanggar-sanggar seni perlu juga melirik wayang orang sebagai pemantik proses kreatif.


Bila menengok ke belakang, Kabupaten Magelang pernah menggelar karya spektakuler wayang orang. Difasilitasi Dewan Kesenian Kabupaten Magelang, berbagai pagelaran wayang orang pernah dipentaskan. Sebagai contoh, Cerita Wahyu Cakraningrat dipentaskan di Pendapa Rumah Dinas Bupati (2001), Gatutkaca Winisudha (2002) di Kantor Kecamatan Muntilan. Pada waktu itu, seniman-seniman se-Kabupaten Magelang dapat berkumpul bersama mendukung kegiatan tersebut.


Mengacu pada aksi nyata kepedulian pemerintah Kabupaten Magelang pada pada waktu itu, kiranya sekarang wayang orang perlu dibangkitkan kembal dengan kerjasama berbagai pihak. Ekspetasinya, agar nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal tersebut dapat tetap solid dan tidak tergerus dinamika zaman di era digital ini.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar