Eksistensi Seni Tradisi di Era Teknologi

Dilihat 663 kali
Upacara Ritual Bakti Usadha dalam rangkaian Ruwat Rawat Borobudur tahun 2023, selalu menyertakan seni tradisi sebagai satu rangkaian kegiatan. Ruwat Rawat Borobudur ini juga mengoptimalkan berbagai media teknologi untuk memperluas jaringan kerjanya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dunia dewasa ini banyak disebabkan oleh kemajuan teknologi. Dunia sekarang ini menjadi semakin sempit. Informasi dapat diakses dari mana saja. Terlebih di era digitalisasi ini, perangkat-perangkat kecil seperti gawai, dapat menjadi perangkat akses yang paling mudah untuk dapat mengakses informasi dari segala penjuru dunia.

Perangkat multimedia, komputer, dan jaringan internet merupakan perangkat teknologi yang memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan informasi dan menciptakan komunikasi sedemikian cepat. Itulah sebabnya media ini sering disebut jalur informasi super cepat (information super highway). Namun perlu disadari perangkat-perangkat super canggih tersebut, hanya bermanfaat bagi mereka yang mampu mengakses dan membeli. Sedangkan komunitas menengah ke bawah, dengan segala keterbatasannya belum tentu bisa membeli atau mengkses teknologi tersebut.

Demikian juga dengan bidang kebudayaan, perangkat-perangkat tersebut sangat mendukung dalam mengakses informasi. Akan tetapi, pada aspek seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di komunitas menengah ke bawah, juga tidak dapat menjamin dapat mengakses komunikasi tersebut. Tentunya fenomena ini dapat menjadi bahan pemikiran bersama untuk dicarikan jalan keluar terbaik (Fred Wibowo, 2000).

 

Seni Kolektif

Sebagaimana diketahui, seni tradisi adalah seni kolektif yang hidup di masyarakat. Pada umumnya lahir dari dorongan spiritual masyarakat dan ritus-ritus lokal yang secara rohani dan material sangat signifikan bagi kehidupan sosial suatu lingkungan masyarakat atau desa.

Seni tradisi juga memiliki korelasi erat antara kehidupan masyarakat di suatu lingkungan dengan seluruh kondisi alam di lingkungan tersebut. Sebut saja di Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Dukun, Kabupaten Magelang. Setiap bulan Sura, di padepokan tersebut, selalu melalukan pementasan seni tradisi wayang orang dengan cerita Lumbung Emas, sebagai penghormatan kepada Dewi Sri sebagai simbol kesuburan sejati.

Selain di Kecamatan Dukun, ada juga upacara Ruwat Rawat Borobudur yang sudah menapaki usia lebih dari dua dasawarsa. Ruwat Rawat Borobudur yang diinisiasi Brayat Panangkaran tersebut, melontarkan gagagasan bahwa Candi Borobudur seharusnya perlu dimaknai secara lebih mendalam, bukan hanya sekadar sosok visual dari kemegahannya yang spektakuler, namun di balik kemegahannya terkandung nilai-nilai spiritual sebagai spirit terbangunnya bangunan yang didirikan oleh Dinasti Syailendra tersebut. Dalam rangkaian acara Ruwat Rawat Borobudur tersebut, pasti diikuti oleh berbagai seni tradisi sebagai penyemarak acara atau juga sebagai pendukung upacara ritual.

Tentunya di wilayah Kabupaten Magelang dan sekitarnya banyak kegiatan-kegiatan nilai tradisi berbasis spiritual, karena seni tradisi sudah mengakar kuat dan berkelindan dengan kehidupan komunitasnya. Seni tradisi dan kehidupan masyarakat layaknya sekeping mata uang, yang sudah melekat dan mungkin terpisahkan.

Dinamika zaman yang terus berubah tidak menggoyahkan komunitas lokal untuk tetap menggeluti seni tradisi. Mereka meyakini dengan menggeluti dan ikut terlibat, sudah merupakan kontribusi yang tidak ternilai harganya, karena sudah dapat mewarisi seni tradisi agar tidak tergerus dinamika zaman.

Rupanya seni tradisi juga berbagai upacara adat yang menjadi kesatuan budaya lingkungan tersebut di samping merupakan ekspresi spiritualitas, di dalamnya terkandung nilai-nilai kultural dalam rangka mengarahkan masyarakat pada kepedulian, pemeliharaan, dan pelestarian lingkungan alam.

Tata cara atau sistem normatif dalam nilai seni tradisi tersebut merupakan kesatuan sosial yang memberi dorongan perilaku manusia dalam menyikapi kehidupan dan lingkungannya. Di samping itu sistem normatif tersebut sudah tersampaikan lewat tradisi lisan turun-temurun yang diwariskan lintas generasi.

Dalam hal ini, seni tradisi terasa lebih bermakna karena mampu mendorong semangat kecintaan kepada kehidupan manusia dan alam semesta. Sementara itu teknologi dengan segala kecanggihannya, sepenuhnya dikontrol oleh otoritas pemodal kuat, yang tentunya tidak dimiliki oleh komunitas kebanyakan. Apabila komunitas seniman seni tradisi tidak segera mengambil sikap, tentunya akan semakin terpinggirkan di tengah gegap gempitanya era teknologi saat ini.


Saling Melengkapi

Di tengah gencarnya teknologi yang merambah era digitalisasi saat ini, tentunya semua pihak harus bisa menyikapi dengan arif. Dinamika zaman ini tidak bisa dibendung. Adapun yang paling prinsip bagaimana semua pihak dapat memanfaatkan dan saling melengkapi satu sama lain.

Pada saat badai Covid-19 melanda Indonesia, semua aktivitas bisa dikatakan lumpuh, tidak luput juga aspek kesenain. Untuk mengantisipasi agar tetap dapat berkarya, para seniman melakukan proses kreatif melalui jalur yang bukan seperti biasanya, melainkan melalui proses virtual, dengn menggunakan perangkat teknologi digital.

Mereka melakukan proses berkesenian melalui channel youtube, instagram, facebook, twitter, whatsapp, dan bahkan ada yang melakukaan workshop melalui zoom meeting. Proses kreatif seperti itu jelas merupakan media baru yang harus dipelajari dan dipraktikkan. Seniman tradisi apalagi yang sudah usia lanjut, tentunya mengikuti dengan tertatih-tatih. Namun dengan berbagai usaha yang pantang menyerah, mereka dapat mengaplikasikan dengan dibantu dengan seniman-seniman junior.

Dengan demikian dapat ditarik suatu tautan benang merah, bahwa para seniman pun di era teknologi ini perlu juga mengenal teknologi untuk menunjang karya yang dihasilkan. Simbiosis mutual ini perlu dibangun, agar satu sama lain bisa saling menunjang dan dapat terbantu untuk memudahkan proses yang berkelanjutan. Semu pihak juga perlu memahami, bahwa konsep seni tradisi itu tidak stagnan. Seni tradisi senantiasa akan berkembang selaras dengan tanda-tanda zaman yang senantiasa akan berubah dalam pusaran waktu.

Adapun yang sekarang butuh pemikiran lebih lanjut, program dana desa dari pemeritah kiranya dapat dialokasikan untuk menunjang seni tradisi yang ada di wilayah pedesaan dengan memberikan fasilitasi perangkat teknologi digitalisasi untuk kelompok kesenian, agar mereka juga dapat terbantu dalam mengakses berbagai informasi dan referensi terkini.


Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar