Kelenteng Hok An Kiong Muntilan, Miliki Hio-Lo Terbesar di Asia Tenggara

Dilihat 3981 kali
Bangunan Utama Kelenteng 'Hok An Kiong' Muntilan.

Kelenteng Hok An Kiong memiliki Hio-lo (tempat untuk menancapkan hio/dupa) yang paling besar di Asia Tenggara. Hio-lo dari bahan perunggu ini buatan negara Cina, dengan ukuran panjang 158 cm, diameter 188 cm dan berat 3,8 ton, yang dibuat pada tahun 2002. Hio-lo ini merupakan sumbangan dari seseorang yang sering melaksanakan ibadah atau pemujaan di kelenteng ini.


Gapura masuk ke kompleks kelenteng ini dibangun pada 2005. Bentuk gapura ini mempunyai atap susun tiga yang ditopang tiang beton empat buah. Diameter tiang 50 cm dengan umpak beton berbentuk oval (seperti gentong). Di setiap tingkat atap bagian sudut sebelah bawah ada hiasan berupa burung, sedangkan di sebelah atas atap ada hiasan berupa suluran. Di bagian atas atap tingkat pertama ada hiasan berwujud ikan. Di bagian paling atas terdapat hiasan dua naga yang berhadapan dan di tengahnya ada perwujudan dewa yang menyangga mustika. Di setiap tingkat atap bagian sudut sebelah bawah ada hiasan berwujud burung, dan di sisi atas atap terdapat hiasan suluran. Di bagian sisi atas atap tingkat pertama ada hiasan berwujud ikan.


Kelenteng Hok An Kiong di Jl. Pemuda Nomor 100 Muntilan, berada di tengah kota. Nama Hok An Kiong berasal dari kata-kata hok, an dan kiong. Hok artinya rejeki, An berarti selamat dan Kiong artinya istana atau keraton. Hok An Kiong bermakna istana yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. 


Batas-batas yang mengelilingi Kelenteng Hok An Kiong yaitu, sisi selatan Jalan Pemuda, sisi barat Kompleks Pertokoan dan SD Negeri Muntilan 1, sebelah utara SD Negeri Muntilan 2 dan batas sisi timur Jalan Veteran (Sayangan).


Kompleks Kelenteng Hok An Kiong ini berada di atas tanah seluas 3.120 meter persegi. Bangunan utama dikelilingi bangunan-bangunan di sisi barat, timur dan utara. Bangunan lainnya yaitu gedung kantor Pengurus Kelenteng Hok An Kiong, aula/ruang pertemuan, perpustakaan dan ruang tamu. Halamannya luas, diperkeras dengan tatanan konblok yang dipagari tembok dan teralis besi.


Bangunan utama sebagai tempat peribadatan, luasnya 299, 25 meter persegi dengan panjang 28,5 m, lebar 10,5 m. Bangunan utama berupa bangunan tembok dan kerangka kayu. Bangunan utama dibagi menjadi tiga pelataran kecil yang dibatasi pagar. Ruang utama sebagai tempat ritual upacara dan sembahyang. Di bagian ini ada arca dewa, piranti upacara dan sesaji. Di sisi timur dan barat pagar ada pagoda kecil sebagai tempat untuk membakar toa kim yang digunakan setelah sembahyang. Toa kim yaitu uang emas atau kertas sembahyang yang merupakan salah satu sarana dalam melaksanakan ibadah.


Pembangunan Kelenteng Hok An Kiong tidak lepas dari perkembangan kota Muntilan sebagai pusat perdagangan di daerah Kabupaten Magelang. Pada jaman penjajahan Belanda kota ini tumbuh dan berkembang menjadi pusat perekonomian daerah, sehingga banyak orang Tiong Hoa yang datang ke sini untuk membuka usaha perdagangan. Selaras dengan berkembangnya usaha mereka, Komunitas Tiong Hoa di Muntilan juga membutuhkan tempat untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaan tradisional yang dianutnya.


Pada awalnya, kelenteng dibangun di sebelah selatan Jl. Pemuda, tidak jauh dari lokasi kelenteng sekarang. Kala itu bangunannya masih sangat sederhana berdinding anyaman bambu (gedhek). Kelenteng Muntilan pertama kali berdiri pada tahun 1878. Pada tahun 1906 bangunan Kelenteng Muntilan dipindahkan ke sebelah utara Jl. Pemuda di lokasi sekarang ini. 


Pada tahun 1929 wujud bangunannya disempurnakan, ditandai dengan adanya prasasti yang kini dipasang di tembok pagar dekat pintu masuk bangunan utama, dengan tulisan ANNO 11-5-1929.


Selaras dengan perkembangan zaman, kelenteng ini terus disempurnakan sehingga menjadi tempat pemujaan yang representatif. Di lokasi yang kini menjadi halaman luas di depan kelenteng ini, dulu ada bangunan gedung bioskop Kartika. Tidak jauh dari tempat ini dulu ada gudang garam. Di dekat kelenteng ini dulu juga ada Sekolah Tiong Hoa.

 

Kelenteng Hok An Kiong sebagai Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) menjadi tempat pemujaan atau tempat ibadah yang melindungi para penganut ajaran Kong Hu Cu, pemeluk agama Buddha dan penganut Taoisme. Kelenteng ini juga mengayomi para penganut adat tradisi kepercayaan rakyat (folk religion) dan tempat pemujaan terkait dengan hal-hal gaib (perdukunan). 


Sedangkan yang datang untuk melaksanakan pemujaan di kelenteng ini tidak saja dari kota Muntilan, namun juga dari kota-kota lainnya yang singgah atau sengaja datang ke kelenteng ini untuk melaksanakan ibadah. 


Dari catatan prasasti yang dipasang di dinding kelenteng ini, pada perayaan Cap Go Meh 2559, hari Kamis, tanggal 21 Februari 2008 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Jero Wacik menghadirinya. Dan pada 1 Desember 2008, Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok, Mrs. Zhang Qi Yue mengunjungi kelenteng ini.


Adat tradisi kepercayaan Tiong Hoa adalah memuja Dewa (Roh) Bumi dan Dewa (Roh) Langit. Dewa Langit dan Dewa Bumi sebagai lambang kekuasaan dan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dewa-dewa tersebut diwujudkan arca-arca sebagai sarana untuk memusatkan konsentrasi dalam melaksanakan pemujaan. 


Di kelenteng Hok An Kiong, Dewa Bumi diwujudkan sebagai laki-laki. Dalam kepercayaan tradisi Tiong Hoa, di samping Roh Langit dan Roh Bumi, juga ada Roh-roh lainnya yang membantu Tuhan Yang Maha Kuasa, seperti Roh Alam, Roh Angin, Roh Matahari, Roh Rembulan, Roh Kasih Sayang dan Roh Kejahatan yang tugasnya menggoda umat manusia.


Pada setiap perayaan Tahun Baru Imlek di kelenteng ini dilaksanakan sembahyangan atau pemujaan. Sembahyangan malam Sin Cia (Tahun Baru Imlek) 2573 dimulai pukul 00.00 WIB pada 1 Februari 2022, tanpa meninggalkan protokol kesehatan. 


Bagi masyarakat Tiong Hoa, Tahun Baru Imlek juga merupakan perayaan awal Musim Semi di negara Tiongkok sana. Sebab, sebagian besar rakyat Tiongkok adalah petani, dalam melaksanakan sembahyangan dan pemujaan merayakan Tahun Baru Imlek mereka memanjatkan doa agar hasil pertaniannya dapat melimpah. 


(Oleh: Amat Sukandar, Pemerhati Sejarah dan Budaya Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar