Mendidik Anak Dengan Pendekatan Umpan Balik Positif

Dilihat 1186 kali

Oleh: P. Budi Winarto, S.Pd*)


HARI Anak Nasional (HAN) ke-39 Tahun 2023 diselenggarakan di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Perayaan Hari Anak Nasional yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan sejumlah Menteri ini mengambil tema: Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk mewujudkan tema tersebut? Tentu pola asuh dan pendidikan yang baik dari orang tua lah yang bisa mewujudkan tema besar tersebut. Sebab setiap orang tua tentunya mencintai anak-anaknya. Dalam mencintai anak-anaknya, bermacam-macam cara, metode dan pendekatan yang digunakan oleh orang tua dalam mengasuh dan mendidik buah hati mereka. Ada orang tua yang lebih cenderung ke arah cinta keras, jadilah mereka orang tua yang otoriter dan mengatur dengan ketat. Mereka beranggapan bahwa memberi keringanan kepada anak sama dengan memanjakan anak. Pendekatan cinta keras membuat anak lebih memiliki rasa takut ketimbang rasa tanggung jawab atas kesadaran sendiri (kooperatif).

Ada pula pendekatan ke arah cinta lembut membuat orang tua tidak memiliki wibawa atau pengaruh lagi dalam mengarahkan pengasuhan anak mereka. Dengan bersikap lemah dan selalu menuruti kehendak anak, orang tua secara tak langsung menyerahkan kekuasaan kewenangan pada diri anak.

John Gray, seorang ahli psikologi anak mengungkapkan bahwa anak telah dilahirkan dengan sikap kooperatif bawaan sehingga tak perlu dipukul, dicubit, atau dihukum untuk menciptakan sikap kooperatif (sikap kerjasama).

Akan tidak sehat bagi anak-anak jika mereka dipaksakan mengikuti kemauan orang tua tanpa berpikir dan tanpa perasaan. Anak-anak penurut hanya mengikuti perintah, tidak berpikir, merasa atau berpartisipasi dalam proses. Mereka tidak melibatkan diri sepenuhnya sehingga kelak perkembangan emosi mereka kurang baik.

Anak-anak berasal dari surga, begitu kata John Gray, dalam bukunya Children Are From Heaven. Sebagai orang tua kita mestinya memiliki keyakinan bahwa anak-anak pada dasarnya adalah baik. Mereka adalah malaikat-malaikat kecil yang siap diarahkan ke arah yang baik atau ke arah yang buruk. Adanya sikap menentang atau memberontak dalam diri anak bukanlah sifat alami mereka. Jika hal itu terjadi, ada baiknya perlu kita pikirkan dahulu mengapa mereka bersikap demikian. Seringkali anak-anak menuntut sesuatu bukan karena keinginan dari suatu penuntutan itu sendiri melainkan mereka tidak mendapatkan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

Banyak orang tua yang begitu sadar akan buruknya bersikap terlampau keras. Tetapi saat benar-benar dihadapkan pada kenakalan anak mereka pun menjadi begitu khawatir dan bingung. Mereka justru tambah merasa bersalah jika membiarkan kenakalan itu di depan mata. Mau tidak mau mereka pun tetap bersikap keras juga kepada anak dengan menjewer telinga, mencubit atau memukul pantat.

Ketika orang tua berhasil menghentikan kenakalan seorang anak dengan memukul pantatnya, orang tua pun beranggapan bahwa memukul pantat dapat menghasilkan perilaku yang baik seperti sebutir permen atau sebatang coklat untuk meredam amukan atau tangisan anak.

Pola seperti itulah yang banyak menjebak orang tua. Memukul pantat hanya akan menjadi pemecahan sesaat yang jika anak berbuat kenakalan yang sama dipukul lagi dan terus berulang lagi. Hal ini karena memukul pantat anak tidak mendorong anak untuk membuat keputusan-keputusan yang bertanggung jawab. Memukul pantat juga tidak meningkatkan pembuatan keputusan internal. Lebih dari itu, anak yang terlampau sering dipukul pantatnya dapat membuat mereka merasa tidak aman dan memiliki harga diri yang buruk. Apalagi jika kegiatan memukul pantat itu disertai kata-kata makian. Anak akan semakin tidak mempercayai bahwa mereka anak yang baik.

Anak yang sering dipukul pantatnya kemungkinan besar akan menarik dirinya dari pergaulan. Anak yang demikian menjadi terlalu mudah bergairah, terlalu aktif dan ganas. Anak-anak yang sering mendapatkan pukulan/kekerasan secara impulsif, mempercayai bahwa memukul atau berbuat kekerasan memang bagian normal kehidupan. Mereka pun akan belajar memukul kala orang lain berbuat salah dan kala sedang marah. Pemukulan pantas sekalipun dilakukan secara terencana dalam kondisi sadar dan tidak marah masih menciptakan perilaku negatif bagi anak.

Maka sudah saatnya orang tua menghilangkan kebiasaan terlampau sering menghabiskan waktu untuk memberi perhatian kepada hal-hal yang negatif saja pada diri anak. Sikap-sikap baik pada diri anak menjadi tertutupi karena orang tua yang selalu memfokuskan perhatian pada kenakalan anak. Saat orang tua terlalu memberikan perhatian negatif dan mengabaikan hal yang positif dalam diri anak, secara tidak langsung mereka telah mengajarkan kepada anak untuk berbuat negatif. Anak akan selalu berbuat nakal saat mereka ingin mendapatkan perhatian.

Karena itu sudah saatnya kita mengganti kebiasaan-kebiasaan negatif dengan memberikan umpan balik positif. Dengan pendekatan umpan balik positif seperti ini orang tua diharapkan jangan selalu berpikir bahwa kebaikan yang dilakukan oleh anak memang sudah semestinya dilakukan. Hargailah dengan sikap dan kata-kata positif. Ini akan menciptakan kepercayaan diri dan perasaan mampu, juga menambah semangat anak untuk berbuat lebih baik lagi di masa yang akan datang. 

Seorang anak juga paling tidak suka dilarang apalagi disalahkan atas sesuatu yang telah dilakukannya. Melarang anak melakukan sesuatu hanya akan menambah keinginan mereka untuk melakukan perbuatan yang sama. Berusahalah untuk mengalihkan perhatian anak pada hal yang mungkin lebih diminati anak dari pada perhatian buruk yang akan dilakukannya. Jika memang kenakalan itu telah terjadi, berpura-puralah kita tidak tahu atau paling tidak beri kesan bahwa kita tidak senang dan tak setuju. Jangan sekali-sekali menertawakan kenakalan anak, karena itu membuat anak lebih termotivasi untuk terus berbuat nakal.

Fokuskanlah perhatian anak untuk melakukan tindakan apa yang mesti dilakukannya jika memang dia telah berbuat salah. Saat dia telah membuat teman bermainnya terluka, ajaklah dia meminta maaf dan mengobati luka temannya. Begitu juga saat anak telah memecahkan vas bunga kesayangan kita, ajaklah dia ikut membereskan pecahan vas bunga tersebut. Semua ini mengajarkan kepada mereka bahwa kesalahan dalam hidup bukanlah akhir dari segala-galanya.

Yang penting adalah bagaimana tindakan kita untuk belajar dari kesalahan itu dan bagaimana berbuat lebih baik lagi. Bukankah banyak orang dewasa sekarang terhambat sukses hidup mereka hanya karena terlalu sibuk menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Mudah-mudahan kesuksesan hidup anak kita kelak tidak akan terhambat hanya karena kenangan buruk bahwa orang tua mereka dahulu adalah si pemukul pantat. Semoga.

*)Penulis adalah Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar