Mengembangkan Sayap Seni Tari

Dilihat 2031 kali
Tari Kridha Warastra yang dipentaskan dalam rangka Perayaan Petrus Kanisius di Seminari Menengah Mertoyudan Magelang tanggal 27 April 2023. Di Lembaga Pendidikan Calon Imam ini, selama 35 tahun ekstrakurikuler seni tari dan karawitan menjadi mata pelajaran wajib bagi para seminaris di Kelas Persiapan Pertama yang bertujuan mengasah ranah imajinasi, etika, estetika, serta nilai humaniora.

Pada tahun ini, ruang-ruang budaya sebagai tempat berekspresi sudah mulai dibuka. Berbagai agenda budaya, termasuk seni tari sudah dapat melakukan pementasan baik dalam skala mikro maupun makro. Di berbagai daerah, mulai kota besar sampai desa yang paling pelosok, seni pertunjukan tari sudah mulai menggeliat dalam menunjukkan hasil dari proses kreatifnya melalui berbagai kegiatan yang sangat variatif.


Di tahun ini juga, Hari Tari Sedunia yang dilaksanakan setiap tanggal 29 April, momentumnya juga sangat tepat, karena bertepatan dengan pasca perayaan Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Pada umumnya, para seniman dari berbagai daerah bertemu di satu tempat untuk memeriahkan hari tari tersebut sambil menyajikan berbagai karya tari, baik itu personal atau kelompok. Dengan bertemunya para seniman tersebut, sekaligus dapat menjadi ajang silaturahmi dan lebih menguatkan ikatan emosional antar seniman, pelaku, atau pencinta seni tari.


Ikatan Solidaritas


Apabila ditelisik, perayaan Hari Tari Sedunia yang selalu diperingati tiap tahunnya memiliki makna yang mendalam, bahwa seni tari pada dasarnya bukan hanya sekadar suatu bentuk sajian estetis atau teknis saja, melainkan dapat memberikan pencerahan dan menjadi bingkai kohesi sosial. Adapun kohesi sosial dapat dimaknai sebagai suatu ikatan solidaritas yang dapat menyatukan semua komunitas.


Hal tersebut dapat diamati, ketika pementasan seni tari berlangsung. Para pendukung melakukan proses berlatih sampai pementasan. Tentunya kalau ikatan solidaritas mereka tidak terbangun pementasan tidak mungkin bisa berlangsung. Di Kabupaten Magelang dengan ribuan kelompok kesenian, merupakan asset yang potensial untuk merajut ikatan solidaritas tersebut.  


Momentum Hari Tari Sedunia tersebut selalu diperingati tak lain untuk mengenang kelahiran Jean-Georges Noverre (1727-1810), seorang pencipta tari balet modern berkebangsaan Perancis yang reputasinya sudah mendunia. Lettres sur la danse et les ballets merupakan karya monumental Jean-Georges Noverre yang diterbitkan pada 1760.


Dalam perhelatan yang cukup spektakuler dan megah, peringatan Hari Tari Sedunia tersebut, pertama kali diperkenalkan pada 1982 oleh Komite Tari Internasional dari Institut Teater Internasional (ITI) sebaga LSM mitra Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan UNESCO (https://www.kompasiana.com).


Dalam dinamika proses perjalanan waktu, peringatan Hari Tari Sedunia tersebut selalu diisi dengan aktivitas menari selama 24 jam. Aktivitas ini tidak sekadar memberi ruang berekspresi kepada seniman, namun lebih mengaksentuasikan dalam menjalin relasi persaudaraan di antara berbagai perbedaan. Berbagai komunitas sampai lembaga pendidikan seni di berbagai daerah, seperti Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Padang, dan beberapa daerah lain, hampir tidak pernah putus melakukan kegiatan berekspresi pada saat memperingati momentum bersejarah tersebut.


Perlu juga diketahui, sebagai bentuk seni pertunjukan, eksistensi seni tari di tengah-tengah komunitas yang majemuk tidak bersifat independen. Di dalamnya bisa diamati dari  perspektif tekstual maupun kontekstual. Secara tekstual, aspek seni tari dapat dipahami dari bentuk dan teknik berkorelasi dengan komposisinya. Adapun secara kontekstual, akan bersinggungan dengan berbagai disiplin ilmu baik sosiologi maupun antropologi yang merupakan bagian integral dengan dinamika sosio-kultural masyarakat yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Sal Murgiyanto, 2018).


Ruang Diskusi


Harapan lebih jauh, dari Hari Tari Sedunia ini, dapat juga menjadi ruang diskusi yang tujuannya adalah mengelaborasikan seni tari dalam ranah yang lebih luas. Pada umumnya publik menilai seni tari hanya sebatas sebagai santapan estetis saja. Padahal dalam seni tari terdapat berbagai makna yang dapat dilihat secara multiperspektif. Dari perspektif teknis, penari perlu memiliki kepekaan dan pendalaman karakter dari tari yang dibawakan. Dari aspek manajeman pertunjukan, perlu perencanaan dan pengelolaan matang, mulai dari proses produksi sampai pementasan. Termasuk di dalamnya publikasi pertunjukan yang perlu pemikiran akuratif. Di samping itu, masih banyak aspek-aspek lainnya yang dapat menjadikan seni tari dapat merambah perspektif global.


Untuk itu, diskusi merupakan hal yang sangat prinsip untuk dapat menjadikan seni tari lebih berkembang. Dari diskusi tersebut, dapat memunculkan oase baru, ide-ide inspiratif, maupun pencerahan yang akan membawa seni tari dalam dimensi baru yang kekinian. Ekepetasinya, tentu tidak hanya diskusi di ruang hampa. Namun perlu dilanjutkan di tataran praksis. Hasil diskusi dapat dibawa ke kelompok kesenian masing-masing untuk ditindaklanjuti.


Ruang diskusi, tidak harus dilakukan oleh lembaga-lembaga seni papan atas. Komunitas budaya yang paling kecil di tingkat desa atau kampung pun bisa melakukan. Justru kekuatan basis kesenian di paling bawah ini dapat menjadi fondasi dasar kesenian akan tetap tangguh, karena faktor penyangganya adalah komunitas yang benar-benar tulus melakukan kegiatan berkesenian.


Oleh karena itu, konsistensi dalam merayakan Hari Tari Sedunia, harapan prospektifnya akan terealisasi ikatan solidaritas yang kuat antar seniman maupun pencinta seni tari. Solidaritas nantinya akan mewujud pada kekuatan jejaring di antara mereka, sehingga ikatan emosionalnya untuk merajut komunikasi semakin membumi serta kepakan sayap seni tari dapat memberikan pencerahan ke ranah publik.

 

Selamat Hari Tari Sedunia Tahun 2023.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan  Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar