Merajut Kebersamaan Melalui Wayang Potehi

Dilihat 289 kali
Wayang potehi merupakan aset budaya nusantara yang tinggi nilainya. Selain berfungsi sebagai seni pertunjukan juga mampu merekatkan kebersamaan dalam wujud toleransi yang mengeliminasi sekat-sekat sosial.

Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 10 Februari 2024 ditandai dengan adanya zodiak Tionghoa berupa hewan-hewan sebagai simbolisasinya. Adapun Tahun Baru Imlek tahun 2024 menjadi sangat spesial, karena bagi warga Tionghoa, tahun ini masuk Tahun Naga Kayu yang dipercaya sebagai tahun yang penuh keberuntungan, mampu mendorong pertumbuhan, kemajuan, dan kesejahteraan.


Tahun Baru Imlek yang diperingati setiap tahun, tidak bisa dilepaskan dari agenda pendukung lainnya. Di beberapa rumah ibadah yang dikenal dengan kelenteng, banyak dipentaskan beberapa acara kesenian yang erat korelasinya dengan perayaan tersebut. Salah satunya adalah wayang potehi sebagai branding dari agenda seni pertunjukan yang sering ditampilkan bersamaan dengan rangkaian acara Tahun Baru Imlek.


Sebagaimana diketahui, sejak masa orde baru dengan terbitnya Inpres No. 14/1967 yang isinya mengatur larangan pada agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia, maka aspek budaya termasuk seni pertunjukannya terkena imbasnya, seperti wayang potehi. Semua gerakan kebudayaan yang di dalamnya berisi media ekspresi para seniman, ruang geraknya sangat dibatasi.


Baru pada masa reformasi, ketika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres tersebut, mulailah ada angin segar. Wayang potehi mulai menggeliat bangkit kembali. Wayang potehi yang mirip pertunjukan boneka Si Unyil tersebut selama orde baru harus mengalami mati suri karena belenggu kekuasaan yang sangat represif akibat  tragedi pertarungan kuasa dan politik negara (Antonius Suparno, 2017).

 

Pasang Surut


Apabila ditelisik lebih mendalam, seni boneka kaum Tionghoa di Indonesia ini jauh melampaui usia lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seni asal kaum migran dari Cina Selatan ini telah ada di wilayah Jawa pada masa Jawa masih terdiri dari beberapa kerajaan kecil, seiring maraknya kontak ataupun kehidupan budaya ekonomi dan religi yang dilakukan kaum migran di Jawa. 


Di balik usianya yang sudah tergolong renta, wayang potehi mengalami pasang surut seiring dengan dinamika zaman kaum perantauan Tionghoa di Indonesia. Kini potehi ikut menyertai menggeliatnya kembali ekspresi budaya kaum peranakan. Meski, pamornya tidak sepopuler barongsai, liong, atau seni bela diri wushu yang kini mulai marak.


Tradisi wayang potehi ini sudah dikenal di daratan Cina sejak masa Dinasti Siong Theng (3000 SM). Lebih jauh lagi kalau dirunut dari etimologinya potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung), dan hie (wayang). Wayang yang berbentuk boneka ini terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangannya ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya jenis wayang lain.


Seiring dengan migrasi warga Hokkian ke Laut Selatan, wayang ini turut serta berimigrasi. Wayang potehi mula-mula berkembang di Batavia sebagai gerbang masuknya orang-orang Tionghoa di Jawa, baru kemudian tersebar ke daerah-daerah lain. Seperti di Semarang, pertama kali wayang potehi dimainkan pada tahun 1772 dalam rangka pemindahan patung Dewi Welas Asih (Koan Im) di daerah Gang Lombok. Wayang potehi sengaja diundang dari Batavia untuk mengisi keramaian selama dua bulan (David Kwa, 2005).


Sumber Cerita 


Beberapa lakon yang dipakai sebagai sumber cerita berasal dari khazanah sastra Tiongkok klasik, utamanya kisah pahlawan rakyat, roman sejarah yang sudah populer di kalangan rakyat. Di beberapa tempat di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, pertunjukan ini tidak asing lagi dengan cerita-cerita yang sudah merakyat seperti, Sam Kok, San Pek Eng Tai, Li Si Bin, Shi Jin Kwi, Koan Kong, dan sebagainya.


Di masa hiburan televisi belum marak seperti sekarang, pertunjukan wayang potehi sangat ditunggu-tunggu. Terlebih dengan munculnya para tokoh-tokoh idola sebagai pahlawan kesayangan rakyat yang menjadi parameter baik dan buruk etika masa itu. Sebagian komunitas pencinta wayang potehi sangat mengenal tokoh-tokoh tersebut dan hafal ceritanya, baik melalui pertunjukannya maupun melalui beberapa buku bacaan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Seperti halnya dengan wayang purwa Jawa yang berperangai licik seperti tokoh Patih Sangkuni, di wayang potehi juga dikenal dengan tokoh yang berkarakter sama, seperti tokoh Tjo Tjho.


Pemain wayang potehi tidak hanya satu, melainkan dua orang atau lebih. Satu orang sebagai dalang sebagai penyampai kisah atau ceritanya. Satu orang atau lebih sebagai jiju (pembantu dalang). Tugasnya, menyiapkan dan menata peralatan pentas seperti boneka, busana, senjata, dan peralatan panggung yang lain. Jika kedua orang ini main, masing-masing dapat memainkan dua buah boneka.


Alat musik sebagai pengiring seni pertunjukan ini terdiri dari tong ko (sejenis tambur), piak ko (bilah kayu), ua lo dan sio lo (gembreng besar dan kecil), tua jwee (trompet logam); hian na (rebab); dan gwee khim (mandolin). Adapun pertunjukan diadaakan di halaman kelenteng dengan panggung permanen atau bongkar pasang.


Luas panggung sekitar 9 meter persegi. Panggung ini memiliki dua pintu di sisi kiri dan kanan. Ruang pertunjukan boneka berada di bagian tengah. Sedang di bagian belakang adalah ruang bagi dalang, pembantu dalang, pemain musik dan peralatan pertunjukan lainnya. Durasi pertunjukan berkisar dua jam yang sangat berbeda dengan wayang kulit Jawa yang disajikan hampir semalam suntuk.


Pertunjukan biasanya diawali dengan musik pembukaan yang tujuannya untuk memanggil penonton agar berkumpul, karena pertunjukan akan segera dimulai. Dilanjutkan dengan memperkenalkan diri dalam bahasa Melayu dari beberapa tokoh penting dalam lakon.


Inkulturasi


Dalam elaborasi selanjutnya, meskipun wayang potehi ini berasal dari kaum migran Tionghoa, mereka justru dapat mengintegrasikan potehi dengan citra rasa kultur lokal. Misalnya lakon potehi sendiri banyak dipinjam dalam lakon kethoprak Jawa, seperti tokoh Lie Sie Bien menjadi Prabu Lisan Pura, Sie Jin Kwie menjadi Joko Sudira, Kerajaan Thai Toy Tong menjadi Kerajaan Tanjunganom, dan lainnya.


Keterpadauan dengan budaya lokal yang sering dikenal dengan inkulturasi ini, semakin merekatkan kebersamaan di antara warga Tionghoa dan Jawa yang kini dikenal dengan pembauran. Bahkan pemain potehi yang ada di Semarang dan Surabaya tidak terbatas dari warga keturunan Tinghoa, orang Jawa pun banyak yang berprofesi sebagai dalang potehi.


Pihak kelenteng dan umatnya merasa sangat diuntungkan dengan partisipasi warga non keturunan ini, di samping dapat mengatasi kelangkaan pemain potehi, dalam ritual mereka kebersamaan untuk bisa menerima kelompok lain dapat memperkuat kaul ritualnya.


Di sinilah kolaborasi paralel dapat diwujudkan yang mengeliminasi sekat-sekat yang menjadi jarak. Inilah saat di mana dua entitas latar kultur yang berbeda dapat dileburkan ke dalam satu bahasa pertunjukan wayang potehi. Sebagai seni pertunjukan, tidak bisa dipungkiri wayang potehi dapat merekatkan toleransi tanpa memandang sekat-sekat ikatan sosial.

Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2024.


Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar