Nilai Edukasi Dolanan Tradisional

Dilihat 797 kali
Dolanan tradisional congklak atau dakon mengandung nilai edukasi dan penguatan karakter untuk selalu jujur, wajib memberi, serta menerima dalam menjalani dinamika hidup.

Dalam dinamika kehidupan saat ini, anak-anak sudah menjadi objek sasaran perkembangan teknologi yang berkembang pesat bagaikan menembus batasan ruang dan waktu. Apalagi di lingkungan komunitas urban. Dampak dari kemajuan teknologi tersebut sudah dirasakan anak-anak. Pembiasaan mereka saat ini tak lain adalah kesehariannya suntuk mengaplikasikan elaborasi teknologi tersebut.

Permainan mereka pada berbagai perangkat teknologi seperti gadget, play station, dan game online sudah tak terbendung lagi. Orang tua ada yang beranggapan, dengan menguasai perangkat teknologi pertumbuhan dan kecerdasan anak-anaknya akan bertumbuh pesat dan berjalan paralel.

Namun sebenarnya, bila ditelisik lebih jauh, masa anak-anak tak lain adalah masa dimana semua neuron di otaknya mulai berkembang dengan pesat, dan tubuhnya pun mengalami pertumbuhan yang amat pesat pula. Keingintahuan mereka sangat tinggi. Oleh sebab itu, lebih baik jika anak-anak dikenalkan dengan jenis-jenis permainan atau dolanan tradisional yang di dalamnya sarat akan berbagai aspek tuntunan moral.

Pada prinsipnya, dolanan tradisional adalah permainan yang bagus dan efektif untuk merangsang pertumbuhan kecerdasan anak. Selain itu juga dalam permainan tradisional juga terdapat unsur bermain secara tim. Permainan ini akan melatih anak sejak dini untuk belajar bekerja sama dengan orang lain, saling membantu, dan menjaga kekompakan.


Fungsi Dolanan Tradisional

Secara sederhana dolanan tradisional memiliki fungsi baik fungsi umum (rekreasi) maupun fungsi khusus (edukasi). Fungsi rekreasi lebih condong pada upaya agar hatinya tetap riang gembira sembari memiliki upaya untuk terus melakukan aktivitas dengan total tanpa beban dan berusaha untuk bisa menguasai permainan tersebut.

Adapun dalam fungsi edukasi lebih menekankan pada upaya untuk mempelajari hal-hal baru berkaitan dengan bentuk, warna, ukuran, dan tekstur benda. Apabila minat anak-anak semakin besar dalam upaya untuk mengembangkan keterampilan baru dalam permainan, maka kesempatan tersebut banyak membantu dalam pengembangan dirinya yang tidak bisa mereka peroleh melalui pembelajaran di sekolah atau lewat buku.

Bermain dengan teman sebaya membuat anak dapat belajar membangun suatu relasi sosial dengan anak-anak lain yang belum dikenalnya. Di samping itu, mereka juga ditantang untuk mampu mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh relasi tersebut. Melalui permainan kooperatif, misalnya anak belajar untuk memberi dan menerima.

Seperti dalam dolanan anak tembang jamuran. Di dalamnya mengandung makna yang bersifat mendidik, karena lirik dan permainannya memberi tuntunan dan nasihat kepada anak-anak untuk selalu membina relasi baik dengan teman sebayanya ataupun lingkungan alam sekitarnya.

Fungsi dolanan tradisional atau dolanan anak tersebut, apabila dipandang dari perspektif psikologi dapat menumbuhkan perkembangan jiwa dan penalaran anak-anak. Fungsi folklor (cerita rakyat) dari dolanan tradisional atau dolanan anak, khususnya di Jawa merupakan revitalisasi unsur budaya yang dikenal dengan akrab dan dipandang sebagai hal yang sangat substansial.

Dolanan atau permainan tradisional pada prinsipnya merupakan salah satu kultur yang masih bisa ditumbuhkembangkan dengan berbagai macam semiotika yang mampu menampilkan identitas. Bukti yang tak terbantahkan, berbagai macam dolanan atau permainan tradisional umumnya dalam mengomunikasikan kepada publik banyak menggunakan media bahasa daerah, sehingga unsur budaya lokal secara ekplisit masih kelihatan menonjol (Enis Niken H., 2015).


Menstimulasi Perkembangan

Tidak dapat dipungkiri, berbagai macam permainan tradisional yang sudah melintasi berbagai generasi tersebut dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan psikologis anak-anak di antaranya, pertama aspek motorik. Pada aspek ini ditekankan untuk melatih kekuatan, daya lentur, serta kekuatan pada sensor motorik yang meliputi meliputi pergerakan tubuh manusia, penglihatan, daya tangkap, indra perasa, serta sentuhan ataupun peraba.

Kedua, aspek kognitif. Aspek ini lebih mengarah pada perspektif untuk mengembangkan imajinasi, pengenalan alam, memantik kreativitas, solutif, stategi antisipasi, dan pemahaman kontekstual. Dengan melakukan permainan tradisional, imajinasi anak akan muncul secara alami dan kapabilitas mengatur strategi dalam satu tim akan terbangun. Kekuatan dalam satu tim menjadi komponen yang sangat signifikan di manapun mereka berada.

Ketiga, aspek sosial. Pada aspek sosial lebih mengarah pada upaya menjalin relasi, kerja sama, melatih kematangan sosial dengan teman sebaya dan meletakkan pondasi untuk melatih keterampilan sosialisasi berlatih peran dengan orang yang lebih dewasa atau masyarakat.

Keempat, aspek ekologis. Dengan melakukan permainan tradisional, ekspetasi yang menjadi tujuan utamanya tak lain agar anak-anak dapat memanfaatkan alam sekitar secara bijaksana. Permainan tradisional yang pada umumnya dilakukan di tempat terbuka tersebut, hendaknya dapat menjadi bagian dari kehidupan anak-anak untuk lebih mengenal alam sekitarnya, namun juga sembari menjaga agar alam sekitarnya tidak mengalami kerusakan.

Dengan demikian dapat ditarik suatu tautan benang merah, bahwa permainan atau dolanan tradisional tersebut walaupun dibalut dalam nuansa kearifan lokal, namun secara substansial memiliki kandungan nilai edukasi universal yang memuat kandungan tuntunan moral atau humaniora. Tentunya saat ini tindakan praksis yang harus dilakukan di antaranya adalah menanamkan nilai-nilai luhur tersebut kepada anak-anak.

Implemenasinya bisa dilakukan dengan beberapa alternatif, di antaranya pemerintah bekerja sama dengan semua komponen masyarakat, mengadakan program kegiatan rutin seperti festival dolanan anak yang dilakukan secara berjenjang mulai tingkat desa sampai nasional. Hasil lomba dapat dibuat dokumentasi, seperti buku, video, laporan penelitian untuk didesiminasikan di seluruh warga masyarakat, agar mereka termotivasi dan memilki kepedulian untuk tetap memberikan ruang hidup pada permainan tradisional tersebut.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar