ADA sebelas tembang Jawa dalam Macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia, dari mana berasal dan ke mana pada akhir kehidupannya. Tembang-tembang "Sekar Alit" itu bermakna perlambang perjalanan hidup manusia dari dan menuju Tuhan-nya. Ini merupakan bagian dari pengetahuan "Sangkan Paraning Dumadi", hulu dan muara seluruh wujud alam semesta. Ini sebagai sebuah kearifan dan kesadaran spiritual masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupannya.
Tembang Maskumambang menggambarkan fase atau tahapan kehidupan manusia ketika berada dalam kandungan ibu. Kata "maskumambang" terdiri dari dua kata, yaitu "emas" dan "kumambang" berarti emas terapung. Tembang ini menceritakan tahap pertama dalam perjalanan hidup seorang manusia yang melambangkan anak sebelum dilahirkan, masih di dalam kandungan. Tembang ini banyak berisi nasihat kepada seorang anak, supaya nantinya selalu berbakti kepada orang tuanya ketika dia sudah lahir.
Tembang Mijil yang berarti "kelahiran manusia", merupakan bagian dari kehidupan alam semesta. Mijil berarti keluar. Tembang Mijil ini bermakna ketika anak lahir ke dunia. Tembang Mijil memberi ajaran dan nasihat kepada manusia supaya selalu kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan ke masa depannya.
Kehidupan manusia di masa kanak-kanak digambarkan dalam tembang Sinom. Kata "sinom" artinya daun yang masih muda. Tembang Sinom juga bisa diartikan "isih enom" (masih muda). Tembang ini melukiskan masa muda yang indah dan masa yang penuh dengan harapan dan angan-angan. Tembang Sinom berisi tentang nasihat, rasa persahabatan dan keramahtamahan.
Kemudian tembang Kinanthi berasal dari kata "kanthi" yang berarti tuntun. Setiap manusia membutuhkan bimbingan atau tuntunan. Tembang ini mengisahkan kehidupan seorang anak yang masih membutuhkan tuntunan agar bisa menuju jalan kehidupan yang benar.
Tembang Asmarandana berasal dari kata "asmara" dan "dahana". Artinya, "api asmara" atau cinta kasih. Tembang ini menceritakan perjalanan hidup manusia dalam tahap memadu cinta-kasih dengan pasangan hidupnya. Tembang Asmarandana juga menggambarkan perasaan hati yang bahagia sekaligus pilu dan sedih karena dilanda asmara.
Tembang Gambuh berarti "cocok" atau jodoh. Tembang ini menggambarkan seseorang yang telah berhasil menemukan pasangan hidupnya. Tembang ini digunakan untuk menyampaikan cerita dan nasihat dalam kehidupan seperti kebersamaan, rasa persaudaraan dan toleransi.
Tembang Dhandhanggula berasal dari kata "dhangdhang" atau berharap. Namun, ada juga yang menganggapnya berasal dari kata "gegadhangan" yang artinya harapan, angan-angan atau cita-cita. Sedangkan kata "gula" berati manis, bahagia atau indah. Tembang ini bermakna berharap sesuatu yang indah atau yang manis. Tembang ini digunakan sebagai pembuka untuk menjabarkan berbagai ajaran kebaikan, ungkapan rasa cinta dan kebahagiaan.
Tembang Durma menggambarkan sifat-sifat berontak, amarah dan nafsu berperang. Tembang ini menunjukkan watak manusia yang angkuh, sombong, serakah, mudah emosi, suka mengumbar hawa nafsu dan berbuat semena-mena terhadap sesama. Dalam istilah Jawa, keadaan seperti itu disebut dengan "munduring tata karma (durma)" yang berarti hilangnya atau berkurangnya tata krama. Tembang ini berisi nasihat supaya berhati-hati dalam meniti kehidupan.
Tembang Pangkur dari kata "mungkur" yang berarti undur diri. Tembang ini menggambarkan manusia yang sudah tua dan telah mulai mengalami banyak kemunduran fisik. Badannya sudah mulai lemah, tidak sekuat ketika usia muda. Tembang ini digunakan untuk memberi nasihat yang disampaikan dengan rasa kasih sayang.
Untuk tembang Megatruh dari kata "megat" yang artinya pisah dan "ruh" yang berarti nyawa. Megatruh bisa diartikan sebagai berpisahnya ruh dari tubuh manusia. Makna yang terkandung dalam tembang ini, ketika manusia mengalami kematian. Tembang ini berisi nasihat agar setiap orang mempersiapkan diri menuju akhirat yang kekal abadi. Biasanya tembang ini digunakan untuk menggambarkan duka-cita, rasa penyesalan atau kesedihan.
Tembang Pucung atau Pocong sering dimaknai sebagai orang meninggal yang ada di alam kubur. Tembang ini diibaratkan tahapan terakhir perjalanan hidup manusia, yaitu berada di dalam alam baka. Tembang ini menceritakan hal-hal yang lucu untuk menghibur hati. Walaupun sifatnya jenaka, isi dari tembang Pucung mengandung nasihat yang bijak untuk menyelaraskan kehidupan antara manusia, lingkungan, alam dan dengan Sang Pencipta.
Tahapan-tahapan kehidupan yang melambangkan perjalanan hidup manusia itu, diekspresikan oleh Sanggar Tari Avadana dalam sebuah pagelaran drama tari kontemporer dan teatrikal dengan tajuk "Sangkan Paraning Dumadi, hulu sekaligus muara segalanya", dengan tema "Ngerti saka ing endi asale, eling ing endi baline".
Pagelaran ini diselenggarakan oleh komunitas peduli lingkungan dan kebudayaan Lembaga Swadaya Masyarakat "Eksotika Desa" sebagai mitra teknis untuk mendukung kegiatan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Dirjen Kebudayaan Kemendikbud di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngargogondo Kecamatan Borobudur, pada hari Jumat, 22 Desember 2023 kemarin.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, SH.,MM., sangat mengapresiasi ragam budaya spiritual yang ada di wilayah Borobudur yang digelar melalui "happening art" ritual daur hidup ini. "Dengan menyimak ritual pagelaran seni ini, kita dapat mengintrospeksi diri masing-masing, perjalanan hidup nanti tujuannya ke mana," kesannya.
Ini sebuah karya adiluhung dengan kemasan dan ekspresi yang tidak lepas dari akar budaya yang ada, dalam rangka melestarikan kearifan lokal.
Camat Borobudur, Subiyanto, SH.,MM menjelaskan, di wilayah Kecamatan Borobudur masih banyak potensi budaya yang bisa digali untuk digarap dan dikembangkan menjadi obyek wisata budaya yang menarik. Pagelaran ritual Sangkan Paraning Dumadi ini merupakan sebuah karya seni adiluhung dari sanggar tari Avadana dari dusun Ngentak desa Wanurejo.
0 Komentar