Pusaka Kultural Tari Klasik

Dilihat 1814 kali
Tari klasik Sancaya Kusumawicitra yang dibawakan oleh Rachel Harrison sebagai Kusumawicitra dari Sanggar Seni Joglo Pete Borobudur berkolaborasi dengan Dwi Anugrah darI Sanggar Seni Ganggadata Mertoyudan Magelang yang berperan sebagai Sancaya.

Ketika front curtain (layar depan) panggung wayang orang dibuka, sosok penari halus tampil mengawali suatu adegan. Gerakannya mengalir tanpa tekanan diiringi dengan gamelan dengan pola gendhing ketawang. Gerak ketubuhan yang dilakukan selaras dengan karakter tari yang dibawakan. Karakter tari yang dibawakan walaupun dalam bentuk tari halus, namun tetap bertenaga yang menunjukkan kedalaman sikap kesatriaannya.


Lain halnya, ketika adegan budhalan atau berangkatnya pasukan dari suatu kerajaan ke medan laga. Gerak rampak dalam format tari gagah tervisualisasikan dalam karakterisasi tokoh-tokohnya. Sikap dan gerak dari para penarinya menguatkan energi posisif yang dapat memantik semangat nasionalisme sebagai wujud bela negara. Terlebih lagi dengan iringan gendhing lancaran wrahatbala atau sigrak jurit menambah eksotika dari tari yang dibawakan.


Ilustrasi di atas menandakan bahwa, seni pertunjukan wayang orang yang di  dalamnya terdapat berbagai aspek seni, terutama seni tari klasik, sampai saat ini masih melegenda dan menjadi seni pertunjukan yang sebenarnya diidamkan publik. Di tengah gencarnya arus globalisasi maupun digitalisasi, dalam proses tahapan waktu, seni pertunjukan tradisional yang di dalamnya mengandung tuntunan moral tersebut diyakini akan kembali menjadi seni pertunjukan dambaan masyarakat.


Standarisasi Koreografi


Apabila ditelisik lebih mendalam tari klasik merupakan jenis tari yang mencapai kristalisasi estetika tinggi. Eksistensinya dimulai sejak zaman feodal. Tari ini dipelihara di istana para raja dan bangsawan dengan perhatian dan fasilitas baik sekali. Bahkan sampai terjadi adanya standarisasi dalam koreografi atau penggarapan seni tarinya. Oleh karena tari tersebut embrionya berasal di lingkungan bangsawan, maka tari klasik juga sering mendapat sebutan tari kebangsawanan (Robby Hidayat, 2018).


Tari klasik sebagai bentuk seni istana pada prinsipnya merupakan ungkapan ekspresi  dari segala macam ide-ide ke dalam bentuk-bentuk faktual yang mempunyai prinsip-prinsip mengenai bentuk dan strukturnya untuk menyampaikan pesan melalui penjiwaan maupun perasaan.


Kandungan ide-ide atau pesan-pesan dalam tari istana yang kemudian dijadikan prinsip-prinsip bentuk dan struktur tariannya adalah nilai-nilai pembentukan watak dan jiwa luhur yang dimanifestasikan ke dalam gerakan tarinya berupa norma atau pedoman baku yang harus diperhatikan pada saat membawakan tari tersebut agar tercipta suatu keindahan yang diharapkan. Dalam pandangan komunitas tradisi, aturan-aturan, norma, atau pedoman baku tersebut merupakan jiwa yang melahirkan identitas tari istana sebagai pusaka kultural yang diluhurkan.


Dengan demikian kiranya perlu dipahami bahwa tari istana merupakan bentuk tari yang lebih memiliki karakteristik. Pertama, ekpresi jiwa tari istana mencerminkan ekspresi jiwa komunal. Dalam hal ini tari istana merupakan jenis tari yang sudah diyakini komunitas pendukungnya sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.


Kedua, teknis gerakan dalam tari istana merefleksikan kehidupan orang Jawa yang selalu mengedepankan nilai-nilai keutamaan yang berbudi luhur diharmonikan dengan karakter peran yang dibawakan. Oleh karena itu, tari klasik pada umumnya memuat narasi yang tercermin dalam kisah-kisah spektakuler, seperti epos Mahabharata, Ramayana, atau cerita Panji.


Ketiga, tari istana sebagai ekspresi budaya di lingkungan aristokrat, tidak bisa lepas dari pranata adat. Untuk itu, tari istana pasti memiliki nilai-nilai ajaran keutamaan hidup selaras dengan dinamika kehidupan yang selalu berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, tari putri atau putra halus gerakannya selalu mengalun dan jangkauan geraknya lebih tertutup yang mencerminkan nilai-nilai etika atau norma-norma kesopanan.


Di Kasunanan Surakarta, tari klasik memiliki beberapa norma estetis yang merupakan sikap normatif yang dinamakan patrap beksa (aturan menari), diantarnya kukila tumiling (burung menggelengkan kepala), digunakan untuk tari halus berkarakter dinamis. Karakter dalam pola tari halus ini diaplikaikan dalam tokoh wayang, seperti Adipati Karna, Gunawan Wibisana, Sri Kresna, dan sebagainya.


Ada lagi patrap beksa pucang kanginan (nyiur tertiup angin). Dalam sikap laku tari ini lebih dominan diaplikasikan untuk tari putri dengan gerak lembut, mengalir atau dikenal dengan mbanyu mili (air mengalir). Adapun tokoh wayang yang melakukan patrap beksa ini antara lain Dersanala, Kunthi, Supraba, Sekartaji, dan sebagainya.


Sedangkan di Kasultanan Yogyakarta juga memiliki pedoman baku dalam seni tari yang dinamakan Joged Mataram. Adapun makna filosofisnya diantaranya adalah sawiji (konsentrasi penuh tetapi tetap mampu mengendalikan diri), greged (energi dinamis tetapi tidak meniru atau menduplikat gerak orang lain), sengguh (percaya diri tapi tidak arogan dan tetap rendah hati), ora mingkuh (pantang mundur atau pantang menyerah dalam menghadapi segala kemungkinan).


Pedoman-pedoman baku tersebut tetap menjadi parameter dalam membawakan maupun mengajar seni tari. Di Kasunanan Surakarta perkembangan keluar istana seni tari sangat pesat yang dirintis oleh beberapa empu tari, seperti KRT Kusumokesawa, KRT Candrapangrawit, KRT Tandhakusuma.


Sedangkan di Kasultanan Yogyakarta, perkembangan tari Klasik keluar tembok istana diprakarsai oleh beberapa lembaga, seperti Kridha Beksa Wirama dan Siswa Among Beksa. Beberapa lembaga atau empu tari istana yang mendesiminasikan seni tari keluar tembok istana tetap kosisten menerapkan pedoman baku tari istana sebagaimana komitmen mereka ketika mendapat mandat dari istana untuk menyebarluaskan ke seluruh lapisan komunitas.

                                                                                                                      

Konsisten Mengolah Karakter


Sebagai bentuk seni pertunjukan, jenis seni tari klasik memiliki norma-norma yang harus dipedomani oleh siapa saja yang mau belajar. Norma-norma tersebut pada dasarnya tidak  hanya terkait dengan visual saja, melainkan juga yang non visusal seperti pengolahan kejiwaan sebagai parameter utama.


Untuk itu, konsistensi dalam mengolah karakter sangat dibutuhkan bagi penari yang akan mempelajari tari istana ini. Tidak bisa dipungkiri, menari sesungguhnya merupakan usaha mempelajari berbagai macam intuisi atau rasa gerak yang terbingkai dalam berbagai karakter yang ada dalam berbagai sumber cerita baik itu epos Mahabharata, Ramayana, cerita Panji, cerita rakyat dan sebagainya, dengan tujuan untuk untuk mendapatkan jati diri tari yang dibawakan luluh dengan karakterisasinya.


Semuanya tersebut butuh latihan yang tidak hanya instan namun membutuhkan proses terus-menerus. Mulai dari sikap atas sampai bawah maupun gerak perlu dilatih agar menjadi pembiasaan. Apabila pembiasaan berdasarkan pedoman tersebut sudah dilakukan terus menerus tanpa bosan, akhirnya pola yang diharapkan akan dapat dikuasai dan luluh dalam dirinya.


Untuk itu, tari klasik yang merupakan pusaka kultural tersebut perlu ditularkan dan dipelajari antar generasi, agar nilai keluhuran yang terkandung dalam tari tersebut dapat menjadi landasan berpikir maupun bertindak selaras dengan nilai-nilai estetika dan keutamaan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan  Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar