Transformasi Seni Dalam Media Teknologi

Dilihat 28791 kali
Foto : fimela.com

Pembatasan sosial karena pandemi  Covid-19 bukan berarti krisis kreativitas bagi seniman.  Dalam proses perjalalan waktu selama pandemi ini, mereka sudah mulai menggeliat, baik itu seniman seni pertunjukan, seni rupa, atau seni media rekam. Fenomena tersebut menunjukkan sinyal positif pada tingkat awal bagi para pekerja seni dan juga masyarakat luas bahwa ekosistem seni  dapat tetap produktif di tengah sekat pandemi saat ini.

Permasalahan yang mendasar, siapkah  semua seniman seluruh Nusantara menyikapi fenomena tersebut untuk   mengoptimalkan proses kreatif dalam bentuk karya dari rumah dengan mentransformasikan karya seninya melalui media teknologi. Tentunya hal ini membutuhkan pemikiran lebih jauh.

 

Peran Teknologi

Perkembangan teknologi yang  semakin pesat dengan  berbagai bidang kehidupan  lainnya seolah dipaksa untuk ikut lari bersamanya. Tidak hanya cabang ilmu  filsafat  yang merespons,   cabang disiplin ilmu  seni, juga dipaksa memikirkan dan mengimbangi kemajuan teknologi

Bagi para seniman peran teknologi sangat membantu dan sebagai pemantik ekspresi seninya yang dikenal dengan New Media Art (NMA)   atau seni media baru. Implikasi NMA adalah merujuk pada seni yang berorientasi pada teknologi, audio, maupun visual. Audio menunjuk pada sound (tekonologi), suara yang dihasilkan. Sedangkan  visual menunjuk pada monitor, layar (screen), dan sebagainya. 

Secara sederhana, kriteria semacam itu bisa ditemui dalam kehidupan keseharian, misalnya pada seni tradisional bisa ditunjukkan pada seni pertunjukan wayang kulit. Ada narasi, layar, lukisan (sungging),  yang memunculkan rupa visual lewat bayang-bayang boneka wayang akibat nyala lampu minyak (blencong).

Sebenarnya  sejak dulu media-media alternatif berbasis teknologi sudah dieksplorasi oleh banyak seniman, di antaranya pemanfaatan video dalam kaitannya dengan  revolusi teknologi visual. Video inilah yang kemudian disusul  dengan revolusi oleh citraan seperti fotografi digital, audio, komputer, internet teknologi printing menjadi  idiom baru citraan visual.  

Di ranah seni pertunjukan, euforia penggunaan teknologi canggih juga telah dilakukan oleh para seniman sebagai bentuk proses kreatifnya. Karya-karya Sardono W. Kusuma, misalnya, sudah membuka terhadap ruang teknologi, walaupun tidak meninggalkan basic kelokalannya. Karya  fenomenal Sardono bertajuk 'Opera Diponegoro' hanya mengajak penonton cukup menyaksikan lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Diponegoro. Obyek dalam lukisan raksasa tersebut lambat laun mengalir dan bergerak menjadi realitas pemanggungan (Majalah Gong, Edisi 113/X/2009). 

Dalam seni pertunjukan sendratari, wayang orang, atau teater juga sudah memanfaatkan media tekonologi untuk menambah menariknya tata teknis pentas. Seperti adegan perang,  latar belakang panggung banyak yang sudah memanfaatkan video grafik guna memperjelas adegan perang secara realis.

 

Karakter  seniman

Pada prinsipnya media teknologi sudah digunakan seniman sebagai pemantik akan proses kreatifnya baik terkait dengan ide maupun pengembangannya. Namun perlu juga diketahui tidak semua seniman tanggap akan akselerasi teknologi yang berkembang saat ini. 

Pada umumnya  seniman  pinggiran dalam aspek organisasi seni masih menitikberatkan pada aspek artistik. Sedangkan aspek manajemen kurang mendapat perhatian. Hal ini seringkali nampak pada ketidakjelasan rencana kerja dan job description yang berimbas pada cara kerja. Sehingga kesannya pekerjaannya sangat semrawut. Ada kegiatan yang lupa dilakukan, juga pekerjaan yang dilakukan terburu-buru dan seadanya alias waton mlaku (asal jalan). Tak jarang juga muncul pembengkakan anggaran, jadwal kegiatan molor, kualitas dan hasil kerja tidak kapabel. 

Permasalahan lain yang sangat krusial, banyak organisasi seni yang melakukan aktivitasnya kalau ada proyek. Memang sebaiknya, di luar proyek ada  kegiatan lain sebagai penunjang, misalnya diskusi, pelatihan, penggalian naskah, penulisan, sehingga  ada kegiatan rutin sebagai media aktualisasi yang mengindikasikan organisasi itu survive. Dengan demikian nantinya diharapkan kegiatan itu merupakan pengembangan kompetensi, baik penulisan seni, pelatihan, penggalian naskah, akting,  artistik,  perbaikan organisasi, dan lain-lain. 

Adapun karakter yang membutuhkan perhatian, mereka kadang terlalu puas dengan yang mereka capai, sehingga lupa untuk mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. Misalnya belajar pada pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Mereka kadang tidak mau berusaha untuk segera bisa. Mereka lebih suntuk pada proses kreatifnya yang dilakukan manual. 

Dengan demikian, sekarang ini sudah saatnya semua seniman untuk belajar mengoptimalkan perangkat teknologi. Dengan ketekunan dalam mempelajari tentunya mereka akan bisa memetik hasilnya. Tiada kata terlambat untuk belajar. Apabila media teknologi sudah dikuasai, ekspetasinya ruang monetisasi akan dapat lebih terbuka dalam mempromosikan karya kreatifnya. 

 

Drs Ch. Dwi  Anugrah, M.Pd.

Guru  Seni  Budaya 

SMK Wiyasa Magelang 

Alumnus Magister Pendidikan 

Universtas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar