BERITAMAGELANG.ID - Dengan sabar, Imroatul Wachidah membantu mengarahkan Siti menempatkan balok-balok huruf pada tempatnya. Metode belajar adaptif diterapkan pada pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Siti, salah seorang peserta didik program pendidikan inklusif SD Jogonayan, Ngablak, Kabupaten Magelang. Dia menderita down syndrom yang menyebabkan disabilitas intelektual.
Bersama 12 anak lainnya, setiap Sabtu dan Minggu, Siti menerima pelajaran dari para relawan guru program pendidikan inklusif SD Jogonayan.
"Siti masih dalam masa orientasi. Tidak bisa langsung dibebani pelajaran. Super pelan-pelan karena beda ya. Kurikulumnya sendiri kami sesuaikan secara personal," kata Kepala Sekolah SD Jogonayan, Didik Muhamad Akbar, Senin (10/3/2025).
Metode belajar anak berkebutuhan khusus tidak bisa diterapkan secara klasikal seperti sekolah pada umumnya. Cara mengajar tiap anak bisa berbeda sesuai kondisinya masing-masing.
Kebanyakan materi belajar berupa permainan yang melatih fokus dan kemandirian.
"Buat anak-anak ini, bisa mengancingkan baju sendiri saja sudah pencapaian luar biasa. Bagi orang tua itu sudah membahagiakan sekali," ungkap Akbar.
Akbar butuh waktu empat bulan untuk menyusun kurikulum sekolah sesuai standar pemerintah. Setelah metode belajar selesai disusun, kemudian disesuaikan dengan kondisi anak.
Anak berkebutuhan khusus harus melalui masa orinetasi sebelum menerima materi belajar. Pada masa orientasi, guru mengamati perilaku dan minat belajar anak.
Bagaimana anak bersosialisasi dengan teman sekelas juga menjadi catatan penting. Hasil orientasi kemudian dipadukan dengan catatan kesehatan yang didapat dari keterangan orang tua.
"Misal ada siswa epilepsi, kita minta orang tua menyediakan pelindung kepala. Kita juga edukasi bapak-ibu guru bagaimana penanganan jika anak terserang kejang," jelasnya.
Anak Belajar Mandiri
Okta Dwi Safikri (7), salah seorang siswa sekolah inklusif SD Jogonayan penderita epilepsi. Selama belajar di kelas, Okta mengenakan bantalan serupa helm yang melindungi kepala.
Menurut Suriah (41), saat berusia satu tahun, anaknya sempat menjalani terapi epilepsi di Rumah Sakit Soerojo, Magelang. Namun perawatan terhenti akibat pandemi Covid.
Hingga puncaknya tahun lalu, Okta terserang kejang parah hingga koma selama empat hari. Sejak saat itu serangan kejang semakin sering datang yang menyebabkannya bisa terjatuh tiba-tiba.
Beberapa waktu lalu Okta jatuh akibat kejang yang menyebabkan kepalanya terluka.
"Sampai sekarang masih sering kejang-kejang. Sering jatuh sendiri. Kemarin sampai bocor kepalanya dirawat enam jahitan," terangnya.
Okta sudah 4 bulan menjadi peserta didik program inklusif SD Jogonayan. Di kelas ini dia diajari berbicara dan menulis.
"Sekarang sudah mulai keluar suaranya. Sebelumnya sama sekali nggak ada suaranya. Alhamdulillah saya terbantu sekali oleh sekolah sini. Saya ingin anak saya bisa bicara, sama seperti teman-temannya," harap Suriah.
Stigma Anak Disabilitas
Pelaksanaan program pendidikan inklusif SD Jogonayan sementara menempati bangunan bekas SD Negeri Sumberejo 2. Sekolah ini kosong setelah muridnya dipindahkan karena re-grouping.
Menurut Kepala SD Jogonayan, Didik Muhamad Akbar, tempat program pendidikan inklusif seharusnya tidak terpisah dari lokasi sekolah definitif. Namun beberapa wali murid Jogonayan keberatan jika anak-anak mereka belajar bersama siswa berkebutuhan khusus.
"Ada beberapa masukan dari masyarakat, mereka takut nanti kalau dicampur anak-anaknya ketularan. Padahal kan tidak ada hubungannya. Tapi kami menghormati, sambil tetap edukasi pelan-pelan. Tidak kami paksakan," lanjut Akbar.
Sambil memberi edukasi pada orang tua bahwa kondisi anak berkebutuhan khusus bukan karena penyakit menular, Akbar berencana secara bertahap mengajak siswa program inklusif belajar di SD Jogonayan.
Pasal 40 UU Nomor 8 tahun 2016, mengatur tentang hak penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan di semua jenjang. Fasilitasi belajar untuk disabilitas dilakukan melalui pendidikan inklusif dan khusus.
Hak pendidikan bagi penyandang disabilitas juga dijamin oleh Peraturan Daerah (Perda) Magelang Nomor 1 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Dalam Perda itu disebutkan: Penyelenggaraan fasilitas pendidikan untuk penyandang disabilitas dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif.
Dalam pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas, pemerintah daerah mengutamakan anak penyandang disabilitas bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Seluruh sekolah negeri tidak boleh menolak murid anak berkebutuhan khusus. Sekolah menyediakan tenaga pengajar dan menyiapkan sarana belajar inklusif.
"Sementara realitanya, di kecamatan ini (Ngablak) belum ada (program pendidikan inklusif di sekolah). Dulu pernah ada, tapi hanya sebentar atau bagaimana begitu," ujar Akbar.
Padahal kata Akbar, Kecamatan Ngablak termasuk daerah pinggiran, dimana jumlah anak stunting dan anak putus sekolah termasuk tinggi.
"Anak tidak sekolah dan putus sekolah di jenjang sekolah dasar yang terkait disabilitas atau berkebutuhan khusus, ternyata ada. Data awal yang saya minta ke Dinas Pendidikan, di Kecamatan Ngablak ada 38 anak (berkebutuhan khusus yang tidak sekolah)," jelas Akbar.
Keluarga Tidak Mampu
Tidak ada SLB terdekat dari Ngablak. Pilihan sekolah luar biasa hanya ada di Kecamatan Secang atau menyebrang ke kabupaten tetangga, Salatiga. Hanya orang tua dari keluarga mampu yang sanggup menyekolahkan anak mereka ke SLB.
Setelah diangkat menjadi Kepala SDN Jogonayan, Akbar berinisiatif membuka program insklusif untuk anak berkebutuhan khusus. Sasarannya anak berkebutuhan khusus dari keluarga tidak mampu.
"Anak yang latar belakang finansialnya kurang, biasanya anak (dibiarkan) di rumah saja. Itu yang jadi perhatian kami. Kami coba edukasi, ternyata sambutan orang tua bagus," imbuhnya.
Saat ini program inklusif anak berkebutuhan khusus SD Jogonayan memiliki 13 siswa. Sekolah terpaksa membatasi jumlah murid karena belum mampu menyediakan jumlah ideal tenaga pengajar.
Rasio ideal untuk program pendidikan inklusif, satu guru menangani tiga anak berkebutuhan khusus. Saat ini baru ada tiga guru yang membantu Akbar mengajar program inklusif.
"Kami masih sangat kekurangan guru. Jadi satu guru mengajar empat sampai lima anak. Belum kalau nanti ada guru yang izin, berarti beban mengajar tambah lagi. Kami takut anaknya telantar. Sementara kami batasi 13 murid," terangnya.
Biaya Sendiri
Sekolah kesulitan mencari pengajar karena belum sanggup membayar honor guru. Biaya operasional ditanggung Akbar, dibantu para guru yang bekerja secara sukarela.
Jika kebetulan diundang menjadi pemateri seminar pendidikan, Akbar memakai honornya untuk mengganti ongkos transport para guru.
"Bukan gaji. Karena gaji nggak mungkin ya. Hanya bantuan untuk transport. Ya kita cari-carikan. Saya sering mengisi acara di luar sekolah. Bimtek atau apalah, honornya untuk teman teman. Benar-benar biaya untuk transport ditanggung sendiri," terangnya.
Akbar saat ini berupaya meminta bantuan biaya operasional program pendidikan inklusif kepada Paguyuban Kepala Desa dan Pemerintah Kecamatan Ngablak.
Dia juga berencana membuka kerja sama dengan pengusaha pariwisata setempat. Sehingga para pemilik villa, resto atau kafe yang banyak terdapat di Ngablak, bisa menyisihkan sebagian keuntungan untuk keberlangsungan program ini.
Sebab kata Akbar program pendidikan inklusif tidak hanya membantu para anak agar dapat hidup mandiri. Tapi juga memberi harapan bagi para orang tua anak berkebutuhan khusus.
"Tujuan kami juga menumbuhkan harapan untuk orang tua. Kasihan mereka. Kami mengerti perasaan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Rasanya seperti dunia sudah kiamat," kata dia.
0 Komentar