Seni pertunjukan dalam khazanah seni di Indonesia telah berkembang dengan pesat. Berbagai ragam seni pertunjukann di Nusantara sejak awal kemunculannnya sampai sekarang telah mengalami dinamika elabaorasi sesuai dengan tanda-tanda zaman. Salah satunya adalah seni pertunjukan wayang.
Sebagai suatu produk kebudayaan yang sudah diwariskan turun temurun, wayang sampai saat ini masih tetap mendapat tempat di berbagai kalangan komunitas. Hal itu karena, dalam cerita wayang tidak hanya bertujuan menyampaikan nilai-nilai pesan sekadar tontonan saja. Di balik seni pertunjuknnya, termuat nilai tuntutuan kehidupaan yang sarat akan nilai-nilai humaniora.
Dari berbagai jenis wayang yang ada di seluruh penjuru Nusatara, sampai saat ini jenis pertunjukan yang cukup unik di antaranya wayang topeng. Jenis pertunjukan ini di Kabupaten Magelang hanya ditemui di Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun yang telah dirintis sejak tahun sejak tahun 1937 oleh Yasa Sudarmo perintis sekaligus pendiri padepokan.
Menjadi suatu kebanggan tersendiri, untuk jenis seni pertunjukan wayang topeng ini, UNESCO sudah melirik untuk memberikan pengakuan sebagai jenis-jenis warisan budaya tak benda. Baru saja Sanggar Seni Sumunar Bantul Yogyakarta yang telah menggeluti wayang topeng sudah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya tak benda (Kedaulatan Rakyat, 30/9/2023).
Pengakuan dari UNESCO tersebut kiranya menjadi pemantik sanggar-sanggar di Kabupaten Magelang untuk menggeluti wayang topeng dengan standarisasi pola manajemen seni pertunjukan profesional. Mengingat seni pertunjukan wayang topeng ini, sebenarnya sudah menapaki jejak waktu yang cukup lama dengan berbagai dinamika yang ada di dalamnya.
Drama Tari Berdialog
Pada prinsipnya seni pertunjukan wayang topeng merupakan seni pertunjukan tradisional dalam bentuk drama tari berdialog yang di dalamnya terdapat perpaduan yang serasi antara dialog, seni tari, dan tata panggung. Seni pertunjukan ini hampir sama dengan penyajian wayang orang. Perbedaan penyajiannya, hanya para pemainnya memakai topeng selaras dengan visualisasi karakternya.
Di Jawa Tengah khususnya, seni pertunjukan tradisional tersebut sering mendapat sebutan wayang topeng. Untuk di daerah lain, istilah topeng menyertai lokus tempat asalnya, seperti topeng dheleng di Madura, topeng dhalang di Jawa Barat, atau topeng malangan di Malang, Jawa Timur. Adapun sumber cerita dari wayang topeng tersebut diambil dari yaitu cerita panji, yang mengisahkan Raden Panji Inu Kertapati dari kerajaan Jenggala dalam pengembaraannya untuk mendapatkan cinta sejati kekasihnya, Dewi Candrakirana, putri dari Kerajaan Kediri.
Di Jawa, fungsi topeng sebagai seni pertunjukan sudah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit atau Wilwatika dengan istilah raket. Menurut catatan dari Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, Raja Hayam Wuruk sebagai penguasa tertinggi kerajaan Majapahit ikut menjadi penari topeng yang cukup piawai. Peristiwa kultural yang spektakuler, seorang raja ternama dan besar di seluruh dwipantara ikut menari dalam suatu pertunjukan istana.
Keterlibatan langsung seorang penguasa terlibat sebagai penari, pada umumnya berdampak pada posisi seni pertunjukan di tengah kehidupan dan perkembangan seni budaya di lingkungan istana yang mengindikasikan bahwa seni pertunjukan tersebut merupakan suatu mahakarya atau karya monumental dari seni istana.
Mpu Prapanca sebagai pujangga besar Kerajaan Majapahit juga menyebutkan dalam wayang topeng dijumpai karakter shori (karakter pria), tekes (wanita), dan gitada (penyanyi) yang dapat diidentikkan dengan tokoh Panji, Candrakirana, dan beberapa tokoh pembantu lainnya yang ikut menyemarakkan seni pertunjukan topeng tersebut (Soedarsono, 1999).
Perkembangan wayang topeng berlanjut sampai kerajaan Demak, sebagai perintis kerajaan Islam di Jawa. Masa Kerajaan Demak dikenal sebagai tradisi Sunan Kalijaga yang sering mendapat sebutan sebagai Pangeran Pedhalangan Tradisi, karena di samping piawai dalam seni pertunjukan wayang Sunan Kalijaga juga sebagai wali penyebar agama Islam. Dalam penyajiannya, walaupun alur ceritanya hampir sama dengan tradisi ketika masa kerajaan Majapahit, di dalamnya diinterpolasikan dengan ajaran agama Islam, seperti filosofis dalam rukun Islam.
Karakterisasi tokoh dalam wayang topeng masih berpijak pada karakter pada wayang kulit atau wayang orang, seperti tokoh Panji identik dengan Rama, Candrakirana identik dengan Sinta, Klana Sewandana hampir sama dengan Rahwana, dan sebagainya. Sedangkan atau antawacana masing-masing tokohnya hampir sama dengan wayang kulit atau wayang orang.
Adapaun gerak dalam wayang topeng perlu menyelaraskan dengan karakter topeng yang dikenakan. Seperti Prabu Klana Dasawasesa sebagai figur tokoh antogonis dengan warna topeng merah, geraknya akan gagah dan patah-patah sebagaimana karakter yang dibawakan. Lain lagi dengan Panji Inukertapati dengan topeng protagonis, gerak tarinya tentu mengalir dan halus selaras dengan jiwa kastriannya sebagai tokoh protagonis.
Alur cerita atau plot dalam wayang topeng pada dasarnya identik dengan pertunjukan wayang kulit. Seperti adegan awal istana (jejeran), adegan luar istana (paseban njawi), perang kembang (perang antara tokoh protagonis dan antagonis), perang brubuh (perang habis-habisan sampai musnahnya angkara murka), serta tancep kayon (adegan penutup). Masing-masing adegan terpola pada struktur penyajian yang merupakan pedoman baku dalam penyajian wayang sebagai suatu seni pertunjukan. Adapun latar Kerajaan yang dieksplanasikan berkisar di Jenggala, Ngurawan, Daha atau Kediri, Singasari, dan Bantarangin.
Hidup Berkelanjutan
Bila ditelisik lebih jauh sampai tingkat kedalamannya, ternyata seni pertunjukan wayang topeng jejak perjalanannya sudah cukup lama dengan segala dinamika dan keunikannya. Untuk itu kiranya perlu mendapat perhatian bersama, agar kesenian tersebut tetap terjaga kelestariannya, namun juga dapat dinamis unutk hidup secara berkesinambungan.
Dengan difasilitasi oleh pemerintah dan beberapa komponen lainnya, Padepokan Seni Tjipta Boedaja Tutup Ngisor dapat mengimbaskan pengetahuannya tentang wayang topeng kepada kelompok-kelompok seni lainnya di seluruh Kabupaten Magelang. Apabila agenda tersebut dapat diimplementasikan, tentunya seni pertunjukan wayang topeng akan dapat berkembang secara masif di Kabupaten Magelang.
Harapan lebih jauh, Kabupaten Magelang dengan segala keberagaman akan potensi seni yang dimiliki, dapat menjadi perhatian UNESCO seperti daerah-daerah lain. Tentunya obsesi tersebut perlu dilakukan dengan kerja cerdas dan kerja nyata serta mendapat dukungan semua komponen.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar