Inovasi Seni Pertunjukan Wayang

Dilihat 2811 kali
Seni pertunjukan wayang diperlukan langkah inovasi dari berbagai aspek penyajiannya agar lebih diminati publik

Wayang merupakan salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya. Pewarisannya sudah turun temurun. Sebagai hasil kebudayaan, wayang memilki nilai hiburan yang mengandung cerita pokok dan juga berfungsi sebagai media komunikasi. Penyampaian dalam narasinya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehudupan, sehingga memiliki nilai pendidikan.


Variasinya dapat meliputi segi kepribadian, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan kearifan.


Pertunjukan wayang dapat dimaknai sebagai pertunjukan tentang bayang-bayang atau refleksi manusia. UNESCO lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan Mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity)  pada 7 November 2003.


Sedangkan penetapan Hari Wayang Nasional telah terbit payung hukumnya melalui Keppres 30 Tahun 2018. Dalam dinamika dan proses perjalanan waktu, wayang telah tumbuh dan berkembang menjadi aset nasional yang memiliki nilai sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa.


Tuntunan Hidup


Pada dasarnya, wayang tidak sekadar tontonan. Karakter dan sifat tokoh-tokoh wayang merupakan cermin kehidupan manusia sebagai tuntunan hidup. Dalam wayang terdapat tokoh suci, jujur, baik hati, bijaksana, lembut, namun ada pula yang kasar, curang, dan jahat. Setiap lakon dalam wayang diisi dengan ungkapan yang mengandung pitutur atau nasihat hidup serta kekayaan falsafah Jawa. Pitutur tersebut biasa diucapkan oleh tokoh para dewa, raja, resi, pendeta, para sepuh, atau oleh dalangnya sendiri.


Di balik sosok wong cilik dalam wayang yang diwakili oleh Punakawan, diceritakan memiliki kesaktian setara bahkan melebihi para satria yang diasuhnya. Singkat kata, dengan mengenal wayang dapat dipelajari pesan moral tentang perilaku baik dan buruk.


Seni wayang menyimpan kearifan lokal yang bermanfaat untuk membangun karakter dan jati diri bangsa Indonesia yang tergambarkan melalui watak tokoh dalam wayang. Makna yang terkandung dalam cerita lakon wayang ini seharusnya mampu menjadikan panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena di dalamnya terdapat kearifan lokal yang tergali dari nilai-nilai, tradisi, dan budaya bangsa. 


Selain kisahnya yang inspiratif, para tokoh wayang purwa juga memiliki karakter tokoh yang patut sebagai kaca benggala bagi penikmatnya. Sifat dan karakter wayang sangat beraneka ragam sebagai simbol gambaran sifat manusia. Sebagai misal tokoh Abimanyu memiliki karakter berterus terang dan bertanggung jawab. Barata, ksatria yang tak silau jabatan. Yudhistira memiliki watak halus, sopan, bijak, rendah hati, jujur, serta suka memaafkan  (Nur Fajrie, 2013).


Dari eksplanasi tersebut manandakan, wayang memiliki filosofis tinggi yang sangat berguna sebagai media penanaman nilai karakter. Namun sampai saat ini, generasi milenial sepenuhnya belum tertarik pada seni pertunjukan yang sarat akan pesan-pesan nilai humaniora tersebut. Tentunya perlu dicarikan akar permasalahan untuk dapat dicarikan solusi yang paling efektif.


Pemadatan Waktu


Pada umumnya seni pertunjukan wayang, terutama wayang kulit alokasi waktunya sangat lama. Bahkan durasinya masih ada yang sampai pagi. Kiranya durasi pertunjukannya perlu dipertimbangkan agar tidak terlalu lama, namun substansi dan tujuan yang diharapkan dapat tercapai.


Sebagai alternatif bisa dilakukan dengan teknis pakeliran padat. Para dalang yang kreatif sudah lama menerapkan teknis tersebut agar durasi pertunjukan bisa diperpendek. Pakeliran padat merupkan konsep penyajian wayang yang dilakukan dengan pemadatan di beberapa bagian yang sehingga waktunya bisa diperpendek. Misalnya adegan jejer, atau penyajian awal, dalang bisa memperpendek uraian ceritanya ke bagian yang substansial. Juga adegan-adegan lain, yang kiranya tidak begitu substansial dihilangkan, dan diganti alternatif yang lebih menggugah perhatian penonton untuk terus mengikuti penyajiannya.


Pakeliran padat bukan menggeser kedudukan pakeliran semalam suntuk, melainkan untuk memperkaya kehidupan budaya. Dalam pakeliran padat, unsur-unsur tadi harus digarap secara kolaboratif. Maksudnya, hal yang ditampilkan itu ada tujuan yang jelas.


Dalang itu tidak sekadar memainkan wayang, tetapi juga harus menjadi sutradara, pemain, penyusun musiknya, penata gerak, dan lain-lain. Dalam hal ini peran dalang dibutuhkan kemandirian yang penuh yang dapat mengolah penyajiannya agar memikat perhatian penonton.


Di samping itu, dalam pakeliran padat tersebut, dalang dapat melakukan langkah-langkah inovasi dalam penyajiannya. Misalkan adegan fenomena alam, baik itu gunung meletus, pandemi, atau angin puyuh, yang biasanya digambarkan dengan wayang gunungan, bisa diganti alternatif lain, misalnya inovasi wayang yang menggambarkan fenomena alam itu.


Terlebih di era digital sekarang ini. Penyajian akan lebih menarik bila disinergikan dengan berbagai visualisasi yang diambil dari platform digital. Pemanfaatan media digital di era sekarang ini merupakan suatu tuntutan semua jenis seni pertunjukan agar penyajiannya nampak lebih hidup dan dikenal publik di era sekarang.


Langkah-langkah pertama itu perlu dilakukan walaupun sederhana.Dalam proses perjalanan waktu generasi milenial  akan lebih mengenal wayang yang sarat akan nilai humaniaora tersebut karena kreativitas penyajian wayang yang disaksikan langsung.


Mereka akan dapat mengenal tokoh-tokoh hero dalam wayang seperti Gatotkaca, Sumantri, Adipati Karna, dan tokoh lainnya. Tidak hanya mengenal tokoh Superman, Batman, Godam, dan lain-lain. Untuk itu ranah imajinasi mereka perlu diarahkan pada tokoh hero dalam wayang yang tak kalah kedalaman nilai karakternya.


Tentunya agar tujuan tersebut dapat tercapai, diperlukan langkah inovasi agar seni pertunjukan wayang dapat lebih dikenal oleh generasi milenial secara intensif.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar