DALAM kisah wayang tokoh Bima ini memang mempunyai kedudukan khusus. Tokoh yang banyak mendapat perhatian dan menjurus pada kultus. Hal itu disebabkan ia merupakan sosok yang sempurna, baik lahir maupun batin. Ia sering disebut sebagai seorang kesatria-pendeta (satria pinandita). Artinya seorang kesatria yang mempunyai tingkatan jiwa seorang brahmana. Karena ialah satu-satunya tokoh wayang yang dapat bersatu dengan hidupnya.
Selama hidupnya belum pernah mengendarai kendaraan apapun. Seorang yang bertopang pada kemandirian sejati dan selalu mensyukuri atas kodratnya. Kemana saja pergi kesatria ini selalu berjalan kaki. Lambang seseorang yang tak sudi mengambil jasa sesama hidup. Bila sedang berjalan, bumi seakan-akan tergoncang oleh derap langkahnya. Gerakan tangan dan kakinya diikuti angin dan badai yang mampu merobohkan pepohonan. Manakala terhalang jurang yang lebar, dengan cekatan ia melompatinya. Bila sungai menghadang jalannya diseberanginya dengan gagah perkasa.
Ia putra Raja Pandu dari Hastina dengan Dewi Kuntitalibrata. Kedua orang tuanya memberikan nama Arya Bima artinya si keras hati yang enerjik. Sebab kalau mempunyai tujuan, hatinya sekeras baja.Tak dapat dibelokkan, ditawar-tawar atau dikendorkan semangatnya. Ia hebat, kuat, tegas tapi juga adil dan teguh pendiriannya. Bila berbicara apa adanya dan tidak direkayasa. Tidak mengenal takut dan memperlakukan sama kepada siapapun tanpa memandang tinggi rendahnya derajat. Dalam berkomunikasi ia menggunakan bahasa kasar dan tidak pernah menyembah, kecuali kepada gurunya dengan cara merendahkan badannya. Sedang kepada orang yang lebih tua, cukup badannya ditegakkan seperti seorang prajurit memberi hormat kepada komandannya.
Tubuhnya yang jangkung dan besar bagaikan bunga besar yang wangi luar dalamnya menandakan hatinya yang bersih, ilmunya tinggi, tapi jauh dari kesan jumawa. Mudah tersinggung tapi cepat berbaik kembali. Bilamana perlu, mau mengalah asal untuk kedamaian dan keselamatan. Dalam menerapkan prinsip keadilan tidak pandang bulu, walau sanak saudaranya sendiri jika bersalah harus dihukum dan tabu berbohong.
Keistimewaan lain Bima adalah lambang kejujuran dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya. Resi Durna di mata Bima adalah guru utama bermartabat baik dan berilmu tinggi. Karena itu kejujuran dan loyalitas pada sang guru dibuktikan ketika Bima diperintahkan mencari air hidup (tirta amerta) ke Samudra Selatan. Suatu lokasi yang amat terpencil dan mengerikan dengan gelombangnya yang ganas dan bergulung-gulung setinggi gunung hingga tak seorang pun yang berani menjamah tempat itu.
Sebaliknya bagi Bima sedikit pun tak ada rasa gentar. Diterjangnya gelombang dasyat itu hingga mencapai tengah samudra. Di saat itulah Bima dihadang seekor naga besar bernama Nembur Nawa. Pertempuran hebatpun terjadi yang berakhir dengan terbunuhnya sang penjaga samudra itu. Keberhasilan menyingkirkan ular naga itu, melambangkan bahwa Bima berhasil membunuh hawa nafsu duniawinya yang menghambat tujuan untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Akibat perkelahian yang dasyat itu, Bima pun mengalami kelelahan fisik yang amat fatal. Tanpa ampun tubuhnya timbul tenggelam tak berdaya di tengah samudra yang luas tiada bertepi. Peristiwa tersebut melambangkan bahwa betapapun hebatnya manusia, namun ibaratnya sebutir beras di dalam karung menunjukkan betapa kecilnya manusia bila dibandingkan dengan kebesaran Tuhan. Semua yang dimiliki manusia, baik itu kekuatan, kebesaran, keperkasaan, kepandaian ilmu pengetahuan yang dibanggakan untuk memenuhi hasratnya, namun masih belum seujung kukupun apabila disejajarkan dengan kekuatan Sang Penguasa Alam.
Di saat Bima hampir mati tenggelam di dasar samudra, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang mirip dengan dirinya. Ia tak lain adalah Dewa Ruci, sosok jati diri Bima. Dalam wejangannya, Dewa Ruci mengatakan, bahwa siapa yang mengenal dirinya secara sempurna nantinya akan mengenal pula Tuhan yang membimbingnya. Tetapi dalam hal mengenal Tuhan, tidak hanya dilihat secara wantah saja. Mengenal Tuhan hanya dengan kepercayaan dan bukti karya nyata.
Sedangkan alam semesta termasuk manusia yang eksistensinya di dunia ini diciptakan Tuhan, maka sifatnya jelas tidak bisa sempurna. Karena itu manusia tidak dapat melihat Tuhan dengan sempurna. Mulai saat itulah Bima bisa mengenal dirinya sebagai guru sejati. Sebagai seorang kesatria, putra Pandu itu berupaya untuk bersatu dan mengenal dengan hidupnya.
Dialog antara Bima dan Dewa Ruci berlanjut. Bima dengan tak segan-segan menanyakan tentang makna air kehidupan yang sedang dicari. Dewa Ruci menjelaskan bahwa air itu hidup dan akan selalu tetap hidup karena merupakan sifat dari Sang Pencipta. Dialah yang memberi hidup semua makhluk yang ada di mayapada ini. Untuk mengetahui rahasianya, Bima dipersilahkan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lobang telinganya yang kiri, tetapi tidak boleh hanya suksmanya, melainkan harus dengan badan jasmaninya secara utuh.
Dengan penuh keheranan, Bima menanyakan mengapa harus masuk ke telinga kiri. Apa bedanya antara telinga kiri dan kanan? Dewa Ruci menjelaskan, bahwa dalam jiwa manusia melekat noda-noda kotor nafsu angkara. Sedang Bima akan masuk ke suatu alam yang teramat suci dan tak ada titik noda sedikitpun. Karena itu ia disarankan masuk ke telinga yang fungsinya membersihkan noda-noda kotoran tersebut.
Sebenarnya walaupun Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci, tetapi sesungguhnya ia masuk ke alam gaib yang suwung (kosong). Tiada suatu apapun di sekitarnya. Di alam itulah Bima menyaksikan dan mendapat penerangan mengenai sapta alam mulai dari alam gaib sampai alam sempurna.
Ketika Bima mendapatkan pencerahan dari Dewa Ruci, ia menerimanya dalam bentuk lambang atau metafora. Esensi peristiwa tersebut merefleksikan bahwa ilmu diharapkan dapat memberi arti sendiri terhadap perjalanan panjang yang baru ditempuh. Ia sendiri harus memberi tafsir dan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya harmoni dengan kebutuhan dalam konteks ruang dan waktu berbeda.
Perjalanan hidup Bima dalam cerita Dewa Ruci merefleksikan kepada kita, bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia perlu melalui beberapa tahapan, yaitu syariat (sembah raga), tarikat (sembah kalbu), hakikat (sembah jiwa), dan ma'rifat (sembah rasa). Walaupun Bima telah dapat mengenal Dewa Ruci yang nota bene dapat mengenal jati dirinya sampai tingkat ma'rifat, namun ia tetap menghayati hidupnya secara wajar dan konkrit. Ia tetap bekerja dengan tidak arogan dan menunaikan tugas kewajiban sebagai seorang kesatria untuk memayu hayuning bawana (menjaga keselamatan dunia).
(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang, Alumnus Magister Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta)
0 Komentar