Memaknai Bulan Sura Melalui Dimensi Seni

Dilihat 843 kali
Wayang orang sakral dari Padepokan Seni Tjipta Boedaja Tutup Ngisor Dukun Kabupaten Magelang yang dipentaskan setiap bulan Sura mengandung makna bahwa manusia dalam mengarungi hidupnya perlu senantiasa untuk selalu mawas diri.

Tidak bisa dipungkiri dinamika perubahan zaman terus bergulir bagaikan lingkaran yang berputar pada porosnya. Walaupun sekarang sudah memasuki era digital, berbagai nilai tradisi yang ada dan tumbuh di kalangan komunitas sampai saat itu tetap hidup dan bertumbuh. Salah satu tradisi budaya yang sampai saat ini tetap solid dan eksis yaitu tradisi bulan Sura atau yang dikenal dengan tradisi  Suran.


Untuk menyongsong pergantian tahun baru Jawa ini, di beberapa daerah banyak menyelenggarakan berbagai kegiatan ritul dibalut dalam estetika seni pertunjukan, seperti wayang topeng, wayang orang, wayang kulit, jathilan, dan sebagainya. Bagi komunitas Jawa estetika seni pertunjukan tersebut memiliki makna bukan hanya sekadar estetika seni, namun juga mengandung makna spiritual mendalam.


Dalam tradisi patrimonial budaya Jawa, bulan yang paling tepat untuk media introspeksi diri dari segala perbuatan yang telah dilakukan waktu-waktu sebelumnya tak lain adalah bulan Sura. Di samping itu bulan Sura diyakini sebagai perwujudan perubahan waktu yang akan berdampak bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut pandangan hidup orang Jawa saat-saat terjadinya perubahan tahun tersebut diperlukan suatu laku ritual melalui berbagai cara dan media.


Adaptasi kepercayaan


Sebagaimana dipaparkan Hersapandi dalam penelitiannya bertajuk Sejarah Perkembangan Tahun Baru Jawa dan Perilaku Sosial Budaya Orang Jawa (2005) menegaskan ketika Kerajaan Majapahit sebagai bentuk kerajaan Hindu terakhir dikalahkan oleh Raden Patah yang kemudian  mendirikan kerajaan Islam di Jawa dengan nama Kerajaan Demak, bukan berarti kepercayaan Hindu ditingggalkan begitu saja.


Oleh penguasa Kerajaan Demak itu, kepercayaan yang bernafaskan Hindu tetap diadaptasi yang pada gilirannya malah dapat membentuk jati diri komunitas tersebut sampai tingkat akar rumput. Dalam konteks elaborasi kultural masyarakat Jawa, tampaknya keraton merupakan pusat kehidupan politik dan kultural di Jawa. Keraton sebagai pusat kebudayaan merupakan parameter bagi kehidupan berbudaya.


Politik kebudayaan Demak itu diteruskan secara berkesinambungan oleh keturunan Raden Patah yaitu penguasa dinasti Mataram yang kesohor yakni Sultan Agung Hanyakrakusuma. Langkah-langkah kultural yang dilakukan di antaranya mengubah sistem kalender Saka (perpaduan Jawa asli dengan Hindu) menjadi kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah (Islam).


Menurut pandangan orang Jawa, tahun baru Sura merupakan bulan yang dianggap sakral atau keramat. Mereka berkeyakinan bulan Sura merupakan putaran dimensi waktu yang kurang tepat untuk melakukan suatu aktivitas. Oleh karena itu, orang Jawa cenderung menghindari bulan Sura ketika akan melakukan pekerjaan terutama dalam hajatan perkawinan atau khitanan. Dalam bulan Sura tersebut dianjurkan untuk melakukan laku prihatin sebagai media refleksi diri.


Laku prihatin tersebut bertujuan agar semua orang untuk selalu mawas diri dan tidak takabur. Laku mawas diri tersebut banyak dilakukan dengan melakukan pentas seni yang berfungsi sebagai sarana ritual. Pentas seni pertunjukan wayang, di antaranya dapat menjadi salah satu media yang berperan sangat signifikan karena bagi mereka wayang diyakini sebagai seni pertunjukan yang memiliki nilai hiburan dan tuntunan hidup.


Moralitas tersebut dapat ditelisik dari makna cerita yang ada di dalamnya. Cerita wayang merupakan gambaran dari kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Seperti halnya cerita Ciptaning yang menggambarkan Arjuna, Ksatria Pandawa dalam mencari hakikat kehidupan dengan bertapa di Gunung Indrakila. Meskipun harus mengalami banyak rintangan, akhirnya Arjuna mendapatkan makna kesejatian hidup, yaitu mampu menyatukan dirinya yang harus luluh dengan kehendak Sang Pencipta. Nilai-nilai perjuangan hidup untuk tidak mudah menyerah dalam seni pertunjukan wayang dapat menjadi pencerahan spiritual semua pihak.


Dinamika perilaku


Menelisik orientasi komunitas Jawa mementaskan pertunjukan wayang orang di bulan Sura ini tak lain untuk memberikan gambaran dinamika perilaku sehari-hari yang dilakukan. Seperti diketahui, dalam wayang memiliki kandungan nilai humaniora yang bersifat universal dan bisa berfungsi sebagai tuntunan hidup manusia walaupun zaman sudah silih berganti. 


Di Kabupaten Magelang, tepatnya di Padepokan Seni Tjipta Boedaja Tutup Ngisor Desa Sumber Kecamatan Dukun, setiap bulan Sura selalu rutin mementaskan wayang orang sakral dengan cerita Sri Kembang. Dewi Sri adalah sosok bidadari kesuburan dalam dunia kedewataan. Harapan dari pementasan ini, tak lain agar manusia dalam meniti dinamika kehidupannya selalu mendapat berkah berlimpah dan perlu senantiasa mawas diri. 


Seni pertunjukan, termasuk di dalamnya wayang orang sampai saat ini masih diyakini menjadi media efektif untuk penyampai pesan lewat pemaknaan kandungan cerita maupuan penokohannya yang dapat menjadi panutan semua pihak untuk selalu melakukan refleksi diri. 


Refleksi tersebut juga dapat meneguhkan diri, bahwa hidup manusia di dunia ibaratnya hanya mampir ngombe (menumpang minum) yang tidak akan bisa langgeng terus di dunia. Untuk itu manusia kiranya perlu menanam kebaikan kepada sesama agar nantinya dapat hidup nyaman di alam abadi bila sewaktu-waktu dipanggil oleh Sang Pemberi Hidup.


Nilai-nilai dan kandungan tuntunan moral dalam bulan Sura melaui media seni tersebut dapat menjadi suatu bentuk aksi nyata yang hidup dan terus eksis di tengah-tengah komunitas. Ke depannya agenda ritual tersebut perlu terus dihidupkan dan patut menjadi perhatian semua pihak untuk terus peduli dalam aksi nyata.  


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar