Mengembalikan Roh Spiritual Candi Borobudur

Dilihat 2035 kali
Candi Borobudur sampai saat ini menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering dari berbagai disiplin ilmu

Candi Borobudur sebagai sebuah mahakarya putra Nusantara yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh bagai menancap ke dasar bumi. Gaung dan reputasinya sudah dikenal secara kosmopolitan. Semua orang apabila mendengar kata Borobudur, imajinasinya jelas akan terkoneksi dengan bangunan historis yang berada di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah.


Candi Borobudur sebagai puncak peradaban Nusantara itu berdiri kokoh di dataran yang didukung eksotikanya oleh tujuh gunung yang mengelilingi yakni, Merapi, Merbabu, Telomoyo, Andong, Sindoro, Sumbing, dan seakan ditopang langsung oleh perbukitan Menoreh. Perbukitan yang membujur memanjang bagaikan barisan pasukan yang panjangnya tiada bertepi.


Tak bisa dipungkiri, peningggalan Dinasti Syailendra tersebut, adalah sebuah karya agung atau mahakarya budaya yang telah diakui dunia, sebagaimana rekognisi dari UNESCO. Bila melihat tata letaknya, tentu lokasinya didirikannya dipilih berdasarkan konsiderasi tertentu yang tidak asal memilih lokasi.


Secara semiotika, letak Borobudur berdekatan  dengan pertemuan dua sungai, yaitu Sungai Elo dan Sungai Progo. Bila dirunut dari makna simbolisnya, seolah berorientasi kedua sungai suci di India, yaitu Sungai Gangga dan Yamuna. Di pertemuan kedua sungai tersebut, didirikan bangunan-bangunan sebagai tempat peribadatan. Selain itu, secara faktual, sungai-sungai besar mengandung batu-batu besar sebagai bahan baku pembuatan candi (Timbul Haryono, dkk., 2011).


Dari banyaknya relief yang terdapat di Candi Borobudur, mulai dari relief Karmawibanga sampai Gandavyuha yang jumlahnya sampai 1.460 panel relief berbentuk naratif (cerita),  tentunya merupakan sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk dapat dijadikan penggalian ide berkarya seni baik seni pertunjukan, seni rupa, maupun seni sastra.


Maka tidak mengherankan, sampai saat ini Candi Borobudur menjadi sumber belajar yang tidak pernah kering untuk menjadi bahan dialektika. Berbagai aspek bisa digali dari Candi Borobudur,mulai dari seni budaya, flora, fauna, filosofis kehidupan, dan sebagainya. Pemaknaan mendalam yang bermanfaat untuk komunitas dan lingkungan ditangkap oleh Brayat Panangkaran yang telah melakukan kegiatan Ruwat Rawat Borobudur (RRB) selama kurun waktu 20 tahun.


Komunitas Basis


Kegiatan RRB yang pertama kali kelahirannya diinisiasi oleh budayawan Sucoro dari Warung Info Jagad Cleguk tersebut, bertujuan untuk melestarikan budaya lokal, merajut pergaulan jaringan budaya, sekaligus menguatkan kawasan Borobudur sebagai salah satu destinasi wisata dunia, namun tidak meninggalkan kelestarian Borobudur sebagai pusaka budaya dunia serta warisan budaya agung yang harus tetap dihormati dan dilestarikan.


Menariknya dalam kegiatan budaya RRB tersebut mampu melakukan kegiatan secara berkelanjutan dan melibatkan jaringan kerja budaya dari beberapa daerah baik di Magelang maupun luar Magelang secara mandiri. 


Kegiatan rutin tahunan RRB atau kegiatan dari berbagai kelompok lain di Kabupaten Magelang, tidak pernah berangkat dari visi dan misi yang terlalu muluk. Kegiatan yang dilandasi oleh kerja nyata karena bertemunya antar manusia, komunitas satu dengan lainnya, menjadi ajang kegiatan fleksibel yang tidak dibatasi dalam ruang dan waktu.


Seperti tahun-tahun sebelumnya agenda RRB tahun ini dimulai tanggal 9 Februari sampai 11 April 2022 dengan serangkaian agenda diantaranya, sarasehan budaya, festival kesenian rakyat, acara tradisi, sanja sedulur, dan sebagainya. Agenda yang sudah berjalan 20 tahun tersebut, bisa eksis karena melakukan langkah strategis dengan memperkuat komunitas basis. Masyarakat sudah merasa memiliki acara tradisi tersebut, sehingga kontak emosional dapat terajut dan membumi untuk terus mendukung kegiatan tersebut sampai kapanpun.


Branding Candi Borobudur


Kegiatan RRB diawali dengan sarasehan Budaya yang dihadiri banyak narasumber dari berbagai disiplin ilmu yang pada prinsipnya bermuara pada mengembalikan roh spiritual Candi Borobudur diharmonikan dengan tujuan pendirian bangunan monumental tersebut.


Candi Borobudur perlu menjadi pancaran spritualitas kemanusiaan yang selaras dengan tanda-tanda zaman. Pengunjung yang datang ke Candi Borobudur perlu diberi sajian seni budaya sebagai wujud dari kearifan lokal di kawasan Borobudur. Tentunya penyajian seni budaya harus berorientasi pada branding Candi Borobudur.


Sebagaimana seni pertunjukan yang disajikan perlu bersinggungan dengan brandingnya. Hal itu bisa dilakukan, salah satunya dengan mengambil dari relief, atau latar belakang historis berdirinya Candi Borobudur sebagai sumber inspirasi dalam proses kreatifnya. Dengan demikian sajiannya berkorelasi erat dengan destinasi yang dikunjungi. Demikian juga untuk seni rupa. Berbagai benda kerajinan atau lukisan dapat menghasilkan produk yang menunjukkan branding dari Candi Borobudur.


Di samping itu, Borobudur sudah menjadi destinasi budaya super prioritas. Konsekuensinya semua potensinya perlu digali baik dari aspek kebudayaan maupun pariwisata secara berimbang. Sebagaimana diketahui pemerintah telah menerbitkan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang di dalamnya termuat upaya menginventarisir dan melestarikan warisan budaya bangsa yang sangat relevan dengan upaya semua komponen masyarakat maupun pemerintah untuk bersama-sama dalam merealisasikan. Termasuk di dalamnya inventarisasi dan pelestarian Borobudur dengan multi ragam nilai spiritualisme dan peradaban yang menyertai.


Harapan ke depannya, agenda RRB tersebut dapat menjadi magnet revitalisasi seni budaya di Borobudur yang menyentuh berbagai aspek baik itu sosial, budaya, maupun ekonomi yang pada gilirannya dapat menjadi parameter pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar