Mengoptimalkan Pendidikan Moral

Dilihat 979 kali
Pendidikan Moral di sekolah dapat berjalan optimal apabila disertai dengan tindakan praksis dari guru sebagai pendamping

BELAKANGAN ini kita sering mendengar dan menyaksikan baik melalui media cetak ataupun elektronik betapa mudahnya anggota masyarakat saat ini dengan tanpa merasa menyesal  melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kaidah moral, seperti melakukan penganiayaan terhadap anak sendiri, membunuh orang lain, melakukan teror, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi perilaku-perilaku amoral lainnya yang sangat tidak manusiawi.

Keadaan itu  tentu sangat ironis, manakala kita melihat berbagai sumber nilai moralitas yang dalam tataran formal telah disepakati menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti Pancasila dan UUD 1945 dan berbagai peraturan perungang-undangan lainnya yang seharusnya menjadi sumber pengendali segala nilai-nilai bermoral, bermasyarakat, dan bernegara.

Dengan demikian, melihat berbagai fenomena sosial yang muncul di tengah-tengah komunitas, tentunya akan timbul pertanyaan kritis, bisakah pendidikan digunakan sebagai instrumen bagi upaya penegakan moralitas masyarakat dalam berbangsa dan bernegara? Tentu saja secara teoritis, praktis, maupun filosofisnya jawabnya bisa. Pendidikan yang salah satu aktivitasnya terletak pada persekolahan jangka panjang, tentu dapat dimanfaatkan sebagai  instrumen untuk menegakkan moralitas bangsa.

Hanya saja untuk merealisasikan pendidikan yang mengarah pada penegakan moralitas anak-anak bangsa ini, sangat dibutuhkan kiat-kiat komprehensif sebagai cerminan adanya kesamaan visi dan kesatuan misi, baik pada tingkatan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Sumber Acuan

Dalam gradasi peradaban dan kultural manapun  implikasi moralitas sudah dipastikan telah membudaya dan melekat di masing-masing pribadi sebagai warga masyarakat. Bahkan moralitas menjadi sumber aturan perilaku yang telah tertulis dan dipegang teguh karena ia memiliki nilai-nilai kebaikan sesuai ukuran-ukuran nilai yang berkembang di masyarakat. Jadi sebenarnya moralitas suatu kelompok/masyarakat memiliki dinamika dan friksi karena adanya interpretasi dan pemahaman yang berkembang dari waktu ke waktu.

Meskipun demikian, moralitas dimanapun selalu digunakan sebagai acuan untuk menilai tindakan atau perilaku. Hal itu dikarenakan, moralitas mengacu paca kriteria nilai (values) yang memiliki implikasi takaran kualitatif seperti, baik buruk, benar salah, pantas tidak pantas, dan sebagainya.

Oleh karena itu, moralitas akan menggejala pada seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung sudah dapat dipastikan memiliki akibat pada orang lain. Jika seseorang suka menumpuk harta dengan cara korupsi, tentu hal itu dapat mempengaruhi kehidupan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tentu saja perbuatannya itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral.

Sebaliknya jika seseorang dengan ketulusan dan kejujurannya bisa membangun tempat peribadatan, rumah singgah bagi anak-anak jalanan, atau dengan iklasnya menyumbangkan sebagaian hartanya untuk membiayai peendidikan anak-anak miskin, tentu perbuatan itu memiliki pengaruh juga pada orang lain, baik langsung maupun tidak langsung.

Pada dasarnya moralitas dalam diri seseorang dapat berkembang secara kognitif dari tingkat yang rendah sampai ke tingkatan yang tinggi, seiring dengan kedewasaan berpikirnya. Bila ditinjau dari perspektif sosial, tingkatan moralitas tersebut meliputi pertama, tingkatan preconventional  yang menunjukkan perspektif sosial seseorang merupakan individu kongkrit. Oleh karena itu perilaku resiprokal sangat penting bagi orang yang berada dalam tingkat moralitas ini. Tidak bisa dinafikan dalam ranah moralias ini sering dijumpai perilaku seseorang dengan penalarannya menunjukkan perspektif sosial seperti, karena dia disakiti, maka dia ganti menyakiti, karena orang-orang tertentu melakukan korupsi, mengapa kita tidak boleh korupsi, karena dia dapat menyontek, kita pun bisa nyontek, dan sebagainya. Pola berpikir moral seperti ini tentu bisa dilakukan secara kolektif yang tentunya dapat mencerminkan moralitas bangsa secara holistik.

Kedua, pada tingkatan konventional, perspektif sosial yang menonjol yakni pentingnya seseorang menjadi anggota masyarakat yang baik. Oleh karena itu, kalkulasi moral pada tingkatan ini dapat dijelaskan kurang lebih sebagai berikut, orang tidak boleh melakukan korupsi, karena perbuatan itu melanggar hukum, merugikan masyarakat, dan juga merugikan orang lain.

Akhirnya pada tingkatan ketiga yakni post konventional merupakan tingkat penalaran moral tertinggi yang dapat dicapai ketika seseorang paling tidak usia 24 tahun. Tingkatan ini lebih mementingkan nilai-nilai moral yang bersifat universal. Dalam tingkatan ini orang mulai mempertanyakan mengapa sesuatu dianggap benar atau salah atas dasar prinsip nilai moral universal yang kadang-kadang juga bisa kontradiksi dengan kepentingan komunitas secara umum. Jika seseorang  merasa dengan peraturan tidak bisa sejahtera dalam hidupnya, maka orang-orang yang berada pada tingkatan ini mulai mempertanyakan mengapa peraturan itu tidak diubah saja (Suyanto, 2008).

Mendorong Arah Positif

Dalam tiga tingkatan moralitas di atas dalam konteks pendidikan dapat digunakan oleh para pendidik untuk mendorong kognisi peserta didik ke arah yang lebih positif pada tingkatan post konventional. Untuk mendorong peserta didik agar berhasil melewati berbagai tingkatan moralitas di atas, dunia pendidikan hendaknya mampu memberikan kontribusi empiris yang bermakna sesuai dengan penalaran peserta didik sendiri.

Peserta didik hendaknya dibiasakan melakukan dialog dengan membahas fenomena moral yang relevan dengan elaborasi daya nalar mereka terutama pada lingkup kehidupan keluarga dan masyarakat. Di samping itu untuk merealisasikan visi pendidikan moral di sekolah, kiranya perlu juga mempertimbangkan berbagai aspek moralitas yang sedang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini, hendaknya bisa mengkaji berbagai paradigma perilaku yang merefleksikan moralitas seseorang di masyarakat sejak dari perilaku tokoh sampai orang biasa sebagai ikon simulasi dilema moral yang memiliki peran urgen bagai proses pembelajaran moral di sekolah.

Dengan melakukan kiat-kiat tersebut peserta didik akan memiliki justifikasi dan refleksi diri terhadap perkembangan kognisi mereka untuk dapat mengambil berbagai keputusan pelik dari aspek moral yang bersifat universal. Harapannya ke depan pendidikan moral atau pendidikan karakter dapat lebih optimal sehingga tujuan pendidikan untuk membentuk pribadi mereka menjadi pribadi utuh dapat terwujud.


(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang) 

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar