Tajuk rencana Kompas (20/5-2020) menguraikan perlunya gerakan membaca atau literasi baca perlu digelorakan kembali. Hal tersebut didasarkan keprihatinan atas riset âWorldâs Most Literate Nations Rankedâ pada 2016 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60, dari 61 negara, dalam hal minat baca. Menurut data tersebut, minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu yang rajin membaca.
Sesungguhnya, berbagai upaya menumbuhkan minat baca sudah banyak dilakukan, seperti pendirian sejumlah perpustakaan komunitas. Tak hanya itu, pada 2018, juga sudah digelar Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku (Gernas Baku) bagi anak-anaknya, dengan ekspetasi kebiasaan membaca tumbuh sejak dini. Namun, gerakan tersebut tak banyak bergaung di komunitas.
Menyikapi kasus di atas kiranya dapat menjadi refleksi bersama, bahwa gerakan membaca akan efektif apabila peran keluarga sebagai penyemai pertama lebih dioptimalkan. Terlebih lagi dengan merebaknya Covid-19, yang diikuti dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB): bekerja, belajar, beribadah dari rumah, sebernarnya dapat sebagai pemantik untuk memunculkan asa tumbuhnya minat membaca.
Habituasi
Kita semua tentu sepakat bahwa kecintaan terhadap literasi baca atau pustaka bukan semata warisan genetik. Kemampuan literasi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan melalui proses habituasi atau pembiasaan yang sarat akan spirit. Karena itu, usaha menggiatkan daya literasi baca anak-anak seyogianya dimulai sejak dini dari lingkungan keluarga.
Orang tua memegang peran sentral dalam menumbukan rasa cinta anak terhadap buku. Upaya ini dapat diawali dengan melibatkan buku dalam berbagai aktivitas anak. Salah satunya adalah dengan membiasakan diri mendongeng lewat buku atau membacakan buku untuk anak.
Asumsi yang menganggap, bahwa membacakan cerita dapat mematikan inisiatif anak untuk dapat membaca sendiri adalah keliru. Justru sebaliknya, anak akan terstimulan untuk dapat membaca lebih cepat karena sudah familier dengan aksara-aksara dalam pustaka.
Dengan demikian, impresi perdana anak dan buku dapat menimbulkan kesan positif. Di dalam memori anak akan terpahat persepsi bahwa buku merupakan sumber kesenangan, wahana hiburan, hulu pengetahuan, dan perigi wawasan. Jika kecintaan terhadap pustaka telah terpatri, kedigdayaan literasi niscaya dapat tumbuh secara alami.
Tentunya gerakan literasi membaca juga menulis ini perlu didukung oleh suasana rumah yang kondusif. Implikasinya, rumah perlu memiliki ruang berkumpul keluarga, ruang ibadah, juga perpustakaan, walaupun hanya sederhana. Ketiganya menjadi titik sentral persemaian literasi bagi anak-anak.
Secara aplikatif, literasi juga dapat diaktualisasikan melalui musyawarah keluarga, yang kadang orang tua tidak ada waktu untuk melakukan. Sebaiknya musyawarah keluarga dengan melibatkan anak perlu dioptimalkan kembali, agar wawasan mereka lebih lebih terbuka dan kritis dalam membaca persoalan kehidupan.
Perlu dipahami, gerakan literasi dalam keluarga ini bisa berlaku komprehensif. Ia juga hadir dalam bentuk keteladanan yang dilakukan orang tua. Misalnya, ketika anak melihat orang tuanya menyantuni anak yatim piatu atau menjalin tali silaturahmi dengan tetangga, kebiasaan orang tua membaca buku atau koran, memberi hadiah berupa buku, secara praksis anak akan mengamati perilaku tersebut. Dari sini anak sudah melakukan pembacaan, interpretasi, dan peniruan terhadap perilaku orang tua untuk diterapkan dalam kehidupan kesehariannya (Rahmat Hidayat, 2019).
Selain itu, dalam konteks revolusi industri 4.0 dan society 5.0 digital parenting penting untuk diaktualisasikan sebagai bagian dari literasi. Orang tua perlu mengenalkan fungsi dan cara menggunakan perangkat digital kepada anak. Mereka perlu mendampingi anak dalam bermain gawai dan mengarahkannya kepada konten-konten yang mencerdaskan agar teselamatkan dari ancaman cyber crime.
Kolaborasi Sinergis
Gerakan literasi keluarga akan bisa berjalan dengan pesat apabila ada kolaborasi sinergis berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat, maupun sekolah. Pemerintah dan pihak swasta bisa melakukan aksi nyata dalam membantu mendirikan perpustakaan atau taman bacaan masyarakat atau komunitas peduli literasi mulai tingkat RT/RW.
Di lingkungan sekolah, gerakan membaca dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kembali fungsi perpustakaan di tiap sekolah sejak tingkat Pra Sekolah (TK) hingga Sekolah Menengah. Letakkan posisi perpustakaan pada tempat strategis di lingkungan sekolah yang mudah dilihat, terjangkau, dan menyenangkan. Selama ini posisi perpustakaan di setiap sekolah nampaknya lebih banyak di tempat-tempat yang tersembunyi, sehingga jarang dikunjungi peserta didik
Untuk mendorong menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis bagi guru, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk memberikan kemudahan bagi guru dalam memperoleh dan mengakses buku-buku. Berikan diskon harga khusus bagi guru-guru dalam membeli buku, dan berikan insentif untuk membantu mendorong penerbitan buku-buku yang ditulis oleh guru.
Para guru hendaknya menjadi role model bagi peserta didik dengan banyak menghasilkan karya berupa artikel ilmiah, populer, maupun buku-buku. Selain itu, para kepala sekolah dan pengawas memberikan contoh dan teladan bagi para guru dengan banyak berkarya dan menghasilkan berbagai artikel tulisan dan buku-buku. Hal ini menjadi motivasi dan inspirasi yang penting bagi para guru.
Kembali dengan penguatan gerakan literasi membaca dari keluarga akan bisa membangkitkan kekuatan literasi dan investasi masa depan bangsa kita, guna menumbuhkan karakter bagi jiwa-jiwa muda sebagai generasi melek intelektual namun berjiwa humanis.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
0 Komentar