NAMA Bondowoso sering diakitkan dengan pusaran lompatan atau trabas tanpa melalui proses gradual dan sekuensial sebagaimana cerita Bandung Bodowoso. Bandung Bondowoso dikisahkan membangun Candi Prambanan selesai dalam satu malam, dianggap tidak taat proses, tidak gradual dan sekuensial, atau main labas dan terabas melalui dunia bawah.
Budaya trabas, pernah sangat viral pasalnya, pada tahun 1975 terbit buku karangan Prof. Koentjoroningrat (baca Kuncoroningrat), berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Buku ini menguraikan ciri-ciri mental yang mendukung pembangunan dan yang menghambat pembangunan.
Salah satu mentalitas penghambat Pembangunan adalah mental menerabas. Dijelaskan dalam laman https://analisadaily.com/ mental menerabas ialah "nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak berusaha secara bertahap dari awal hingga akhir." Sikap mental ini diikuti pula oleh sifat-sifat buruk lainnya, seperti tidak berdisiplin, suka mengabaikan tugas yang diberikan dan meremehkan kualitas.
Bagi pemerintah yang menumpahkan segala energinya untuk Pembangunan, memandang buku ini sangat penting, sehingga menjadi agenda edukasi baik di kalangan pemerintah maupun non-pemerintah.
Beda dengan Bandung Bondowoso, Pemkab Bondowoso taat proses, bertindak secara gradual dan sekuensial, antara lain dalam Pembangunan sub-sektor perkebunan, khususnya pada komoditas kopi. Pengembangan Kopi, dimulai 14 tahun yang lalu, melalui penyusunan road map atau peta jalan. Lantas apa yang bisa kita ambil hikmah dari ketaatan proses yang dilakukan Pemkab Bondowoso.
Sebagaiman testimoni Sukamsi, ST, MIP., peneliti di Bappeda Kabupaten Magelang, bahwa "Dalam pengembangan komoditas kopi Kabupaten Bondowoso dimulai dengan penyusunan road map (perencanaan) yang baik. Peta jalan ini mencakup tiga tahap inisiasi, penumbuhan dan pemantapan. Peta jalan ini dikuatkan secara regulasi, baik melalui peraturan daerah maupun peraturan bupati."
Sukamsi yang mendapat gelar master dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, beberapa waktu yang lalu mengunjungi Kabupaten Bondowoso, menyimpulkan dengan satu prasa: lebih maju.
Lebih maju, karena sejak 2013 sudah ada dukungan regulasi, sementara di Kabupaten Magelang baru pada tahun 2023 diterbitkan Perda dan Perbup klaster kopi. Mengikuti logika mas Kamsi, mari kita bandingkan Bonowoso dengan Magelang.
Dalam hal ekonomi kopi, angka berbicara. Fakta numerik, Kabupaten Magelang harus belajar dari Bondowoso. Bahkan dari kestersediaan data daring yang mudah diakses, soal kopi Magelang hanya ada di BPS Jateng, dan hanya ada dalam dua tahun, 2021 dan 2022.
Namun, data juga dapat bercerita. Secara sektor pertanian (termasuk perkebunan, perikanan dan peternakan), kinerja Magelang lebih baik. Pada tahun 2022 sektor pertanian mampu mendulang produksi sebesar 7,4 trilyun, sementara Bondowoso hanya 6,4 trilyun. Dari pertumbuhan sektoral, pertanian Magelang mencatatkan plus 1,04 sementara Bondowoso minus (-1,61).
Secara total ekonomi Magelang 2022 mampu menghasilkan 37,45 trilyun, sementara Bondowoso hanya 22,90 trilyun. Dari pertumbuhan secara total, Magelang mencatatkan plus 5,26 sementara Bondowoso hanya 3,52. Perbandingan tiga sektor dengan pertumbuhan tertinggi, sebagai berikut.
Magelang Bondowoso
Dampak Pembangunan
Setelah membandingkan kinerja pembangunan ekonomi tiba gilirannya untuk melihat dampak Pembangunan kepada masyarakat. Dampak kemasyarakatan dapat dilihat dari tiga indikator: IPM, Angka Kemiskinan dan Rasio Gini.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Dari indicator IPM Magelang lebih baik, pada tahun 2021 mencapai 70,12 sementara Bondowoso 66,59.
Dari komponen IPM, Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH) yang merepresentasikan dimensi umur panjang dan hidup sehat terus meningkat dari tahun ke tahun, Magelang lebih tinggi, pada tahun 2021 mencapai 70,12 tahun sementara Bondowoso 66,89 tahun.
Dimensi pengetahuan pada IPM dibentuk oleh dua indikator, yaitu Harapan Lama Sekolah (HLS) penduduk usia 7 tahun ke atas dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia 25 tahun ke atas. RLS data nyata (riil) pada saat ini, sementara HLS peluang. Peluang pada HLS dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur pendidikan dan prospek sosial ekonomi Masyarakat.
Untuk RLS Magelang lebih tinggi yaitu 7,79 atau setara putus ekolah di kelas VII atau SMP kelas 2. Sementara Bondowoso hanya 5,94 atau setara dengan putus ekolah di kelas VII SD.
Pada indicator Harapan Lama Sekolah (HLS) Magelang lebih rendah, pada tahun 2021 mencapai 12,55. Artinya, anak-anak Magelang saat ini memiliki peluang untuk sekolah hingga jenjang perguruan tinggi, walaupun akan putus sekolah pada semester 2.
Sementara HLS Bondowoso mencapai 13,29. Artinya, anak-anak Bondowoso saat ini memiliki peluang untuk sekolah hingga jenjang perguruan tinggi, walaupun akan putus sekolah pada semester 3.
Dimensi terakhir yang mewakili kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak yang direpresentasikan oleh pengeluaran per kapita (atas dasar harga konstan 2012) yang disesuaikan. Pada dimensi standar hidup layak Bondowoso lebih tinggi, pada tahun 2021 mencapai 10,690 juta rupiah, sementara Magelang hanya 9,994 juta rupiah perkapita pertahun.
Dalam pengentasan kemiskinan Kabupaten Magelang lebih baik, dimana pada tahun 2023 penduduk miskin tinggal 10,96 persen, sementara di Bondowoso penduduk mikin masih sebesar 13,34 persen. Selengkapnya, sebagai berikut.
Magelang Bondowoso
Salah satu ukuran ketimpangan pendapatan atau pengeluaran antar penduduk yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0-1. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketidakmerataan yang semakin tinggi. Pada indicator gini rasio Magelang lebih baik, karena pada tahun 2022 rsionya hanya 0,318 Sementara gini rasio Bondowoso mencapai 0,365.
Dalam pengelolaan komoditas kopi Kabupaten Bondowoso beberapa Langkah lebih maju, namun pada indicator ekonomi makro sectoral dan dampak pembangunan kepada masyarakat Kabupaten Magelang lebih baik.
*)Penulis : Budiono, menempuh S2 di EPN IPB University.
0 Komentar