Cupu Manik Astagina Di Zaman Milenial

Dilihat 9128 kali

DUNIA dalam genggaman. Ungkapan yang sering kita dengar, semenjak adanya sebentuk alat bernama gawai atau gadget atau smartphone. Penggunanya tenggelam dalam keasyikan, menikmati perjalanan menjelajah dunia maya, untuk melihat dan mendapatkan berbagai informasi serta berkomunikasi tanpa batas. Keadaan yang dulu merupakan kemustahilan, kini terwujud menjadi kenyataan.

Tak peduli bagaimana cara kerja segenggam alat ajaib tersebut, yang bisa menghubungkan manusia-manusia dari berbagai negara di penjuru dunia. Mereka bisa saling mengenal, bertatap muka melalui sebentuk media, seakan menghilangkan jarak ribuan hingga jutaan kilometer yang memisahkannya. Entah bagaimana segenggam alat itu bekerja, sehingga begitu melimpah informasi berupa tulisan, gambar dan tayangan yang termuat di dalamnya, seakan tak akan pernah penuh benda tersebut menampungnya.

Cupu Manik Astagina

Kalau kita muncur kebelakang berapa abad lalu, ada cerita dalam kisah pewayangan Ramayana, yang salah satu penggalan kisahnya, menceritakan adanya perebutan benda ajaib bernama Cupu manik astagina. Sebuah benda berukuran segenggaman tangan, yang konon merupakan benda ajaib yang teramat sakti, karena sang empunya benda tersebut, jika membukanya dapat melihat seisi dunia, serta apa yang menjadi keinginannya bisa terpenuhi.

Alkisah disebutkan bahwa benda ajaib ini (Cupu MAnik Astagina) sempat menjadi rebutan 3 (tiga) bersaudara; Anjani, Subali dan Sugriwa, anak-anak dari Resi Gutama dan Dewi Indradi. Anjani yang memeroleh benda tersebut dari sang ibu, lalai menjaga rahasia dan terjadilah perebutan bersama kedua adiknya. Berhubung benda ajaib itu harus dijaga kerahasiaan asal-usulnya, Dewi Indradi hanya tutup mulut ketika suaminya menanyakan dari mana benda tersebut berasal. Resi Gutama murka dan mengutuk istrinya menjadi tugu, yang kemudian dilemparkan jauh hingga jatuh di negeri Alengka.

Sementara, cupu manik astagina sendiri dilemparkan oleh Resi Gutama, jauh ke tengah hutan. Resi Gutama mengatakan, agar ketiga anaknya berlomba mengejar benda itu dan siapapun yang berhasil mendapatkannya, dialah pemiliknya. Segera Anjani, Subali dan Sugriwa berlari demi memerebutkan benda itu. Tak ketinggalan, paman mereka, Jembawan, turut serta mengadu untung.

Cupu manik astagina ternyata berubah menjadi telaga di tengah belantara. Mereka berempat mengira benda itu jatuh ke dalamnya. Segera mereka menceburkan diri, mencari cupu tersebut. Sementara Anjani hanya membasuh muka dan tubuhnya di tepi telaga.

Betapa terkejutnya, ketika usai membasuh, seluruh tubuh dan wajahnya berbulu lebat. Demikian juga dengan Subali,Sugriwa dan Jembawan. Mereka ternyata, berubah wujud menjadi kera. Tak disangka, perebutan benda ajaib itu justru menimbulkan malapetaka.

Penggunaan yang Tepat Agar Bermanfaat

Benda ajaib Cupu manik astagina, dalam epos Ramayana ternyata kini benar-benar terwujud menjadi nyata. Betapa jauhnya pemikiran pujangga pada waktu itu, yang berani menciptakan imajinasi, berpikir melampaui kelaziman yang ada pada zamannya. Namun, imajinasi yang kala itu hanya menjadi sebatas keajaiban dalam cerita, kini telah terwujud menjadi kenyataan. Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini mampu mewujudkan sesuatu yang semula mustahil, yang hanya menjadi khayalan dalam cerita, menjadi benda riil yang kini bahkan menjadi kebutuhan setiap orang di zaman milenial ini.

Gawai, kini dimiliki hampir setiap kepala. Tak bisa orang zaman sekarang lepas dari benda ini. Kini benda ini menjadi kebutuhan mutlak setiap orang. Semua orang membutuhkannya, untuk sekedar saling berkabar, dan lebih jauh lagi untuk mencari informasi, belajar, mendapatkan hiburan, serta mendukung pekerjaan berbagai macam profesi.

Lebih jauh lagi, gawai juga bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan pemiliknya. Informasi apapun, dapat tersedia dengan membuka benda ini. Bahkan, kita bisa membeli berbagai barang tanpa harus pergi meninggalkan rumah. Dan lagi-lagi ini menjadi perwujudan keajaiban cupu manik astagina, yang bisa memenuhi apa yang menjadi keinginan pemiliknya. Hal yang dahulu tidak bisa diterima akal, tak bisa dijangkau dengan nalar, kini menjadi hal yang lazim dan tak lagi mengherankan.

Berbagai manfaat dan keuntungan bisa didapat dengan mengoperasikan benda ini. Kita bisa menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Kita bisa tahu berbagai informasi dari manapun, kapanpun dan di manapun. Kita bisa memilih tayangan apapun yang kita mau, sesuai dengan keinginan kita, serta masih banyak lagi keuntungan lainnya yang bisa diperoleh dengan memanfaatkan benda ini.

Namun seperti halnya cupu manik astagina, yang ternyata juga bisa menimbulkan malapetaka besar, ketika berada di tangan yang salah, begitupun halnya gawai. Kita tak mungkin bisa memfilter informasi dan tayangan yang ada di sana. Perlu seleksi bagi kita untuk memilih dan memilah konten, informasi dan tayangan agar tidak meracuni pikiran, serta tidak menyesatkan dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Akan menjadi berbahaya pula jika digunakan oleh anak di bawah umur, yang belum bisa menjadi selective audience, yang belum mampu memilah-milah tayangan yang baik atau buruk untuk mereka. Mereka hanya tahu, melihat dan meniru.

Memang semua hal akan mengandung kebaikan dan keburukan. Akan ada keuntungan dan kerugian. Akan ada manfaat dan ada pula resiko. Inilah yang menuntut kita untuk selalu belajar menjadi sosok yang selektif, yang tidak begitu saja menelan mentah-mentah  apa yang kita dengar, kita lihat dan kita ketahui jika masih dalam bentuk informasi sepintas. Kebiasaan ini seyogyanya mulai ditanamkan dan dibiasakan pada anak-anak, agar mereka terbiasa menjadi orang-orang yang selektif, dan selalu berpikir sebelum bertindak.

Intinya, kita harus bijak dalam menyikapi dan melakukan sesuatu, termasuk memanfaatkan teknologi. Dan semenjak dini pula, anak-anak perlu diajarkan untuk menjadi manusia-manusia selektif dalam hal apapun, agar mereka terbiasa menjadi sosok-sosok yang selalu bertanggung jawab atas segala yang mereka katakan dan lakukan. Kecanggihan teknologi, yang seharusnya bermanfaat,jangan sampai menjadi malapetaka, hanya karena salah memanfaatkan dan mengelola.

(penulis adalah : Pengolah Informasi pada Dinas Kominfo Kab Magelang)

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar