Karisma Singa dalam Cerita Jataka

Dilihat 1667 kali
Gerbang singa di Pabelan Mungkid Kabupaten Magelang dapat menjadi pemantik wisatawan atau siapa saja untuk mempelajari berbagai kisah Jataka berbasis sastra yang terdapat dalam relief Candi Borobudur sampai tingkat intensitasnya.

Setiap kali melewati pintu masuk gerbang Borobudur, wisatawan akan menikmati gapura besar dengan ornamen eksotik. Salah satunya bila melewati pintu gerbang Palbapang, Mungkid akan didapatkan gerbang dengan ikon singa yang berdiri dengan megahnya. Singa dikenal sebagai raja hutan. Bangsa-bangsa di dunia tentu mengenal singa sebagai sosok hewan yang dibanggakan. Singa tampil sebagai lambang kekuatan dan kekuasaan di berbagai budaya di Eropa, Asia, dan Afrika. Dengan surai di bagian kepalanya laksana mahkota para raja, singa-singa tersebut nampak gagah, berwibawa, heroik, dan penuh tanggung jawab.   

Dalam cerita historis, banyak para petinggi atau golongan aristokrat di Nusantara yang menggunakan nama-nama binatang guna menambah kharismanya sebagai sosok kesatria. Sebut saja di Kerajaan Kediri dikenal dengan tokoh MahisaWalungan sebagai panglima perang Kerajaan. Di Kerajaan Singasari dikenal tokoh Narasingamurti, gelar abhiseka Raja Singhasari, atau di Majapahit ada tokoh Gajah Mada.

Penamaan tokoh-tokoh Nusantara tersebut dengan nama-nama binatang, menandakan bahwa nama-nama binatang yang disematkan merupakan legitimasi, bahwa binatang merupakan sumber kekuatan yang menunjukkan citra pribadi selaras dengan nama binatang yang disematkan. Nama Gajah Mada sebagai mahapatih dari Kerajan Wilwatikta menunjukkan bahwa gajah merupakan simbol dari Airawata yang menjadi tunggangan dari Dewa Indra dalam agama Hindu atau Siwa. Gajah Mada memposisikan dirinya sebagai Airawata yang melayani dan mengabdi kepada rajanya, seperti Tribhuanatunggadewi juga Sri Rajasanagagara. 

Ada juga pada masa sebelumnya. Raja Singhasari Mahisa Campaka menggunakan gelar abhiseka Narasingamurti yang memiliki simbol perwujudan binatang singa dengan makna simbolis sebagai kekuatan, terang, kemenangan, pengayom, penguasa, kewibawaan juga kebijaksanaan dalam menjalankan roda pemerintahannya (Chacuk Tri Sasongko & Ninie Susanti, 2021)

 

Cerita Jataka

Candi Borobudur yang sampai saat ini masih berdiri dengan kokoh merupakan situs UNESCO's World Heritage No. 592 dan tercatat di Guinness World Records sebagai Candi Buddha terbesar di dunia. Dalam monumen raksasa ini terdapat 2.672 bingkai relief batu andesit vulkanik yang teruntai bagaikan panel-panel komik raksasa yang sarat nilai moral, budaya, kemanusiaan, juga spiritual (Handaka Vijjananda, 2018).

Dalam panel-panel berbasis cerita atau naratif tersebut memuat banyak naskah cerita yang dapat menginspirasi siapa saja yang ingin mempelajari Candi Borobudur sampai kedalamannya. Salah satu dari sekian banyak cerita naratif tersebut diantaranya adalah cerita Jataka yang menarasikan kelahiran masa lampau Sang Boddisattwa dalam kiatnya untuk meyempurnakan kebajikan hidup demi mencapai pencerahan abadi. 

Sampai saat ini, narasi dalam cerita Jataka masih konsisten dalam menyajikan dari semua catatan kehidupan yang dialami langsung oleh Boddhisattwa. Dalam dinamika perjalanan hidupnya, Boddhisattwa juga pernah menjadi beragam jenis hewan rendah hati namun bijak, seperti kelinci, ikan, buruh puyuh, gajah, juga singa. Cerita dalam bentuk naratif binatang ini sering dikenal dengan fabel.

Salah satu cerita menarik dari kisah jataka ini diantaranya adalah kisah Sigala-Jataka yang termuat dalam panel 136. Substansi dari cerita tersebut menarasikan singa-singa yang ditipu oleh kelicikan serigala banyak yang terperdaya, karena tindakan mereka yang terburu-buru tanpa memperhitungkan resiko, sehingga korban berjatuhan. Namun singa penjelmaan Bodhisatwa dapat mengatasi situasi. Dengan auman yang keras dapat merobohkan gua kristal tempat pemukiman serigala, sehingga serigala yang licik tersebut dapat dilenyapkan dari muka bumi.

Makna filosofis yang dapat ditarik tautan merah dari cerita tersebut, antara lain siapa yang dengan terburu-buru mengerjakan suatu usaha, tidak memperhitungkan hal-hal apa yang bakal terjadi, seperti seorang yang membakar mulutnya di saat menyantap makanan. Tak urung akan menjadi jatuh sebagai korban dari rencana-rencana yang sudah tersusun dengan rapi. Substansinya tindakan yang akan dilakukan perlu direncanakan dengan matang, termasuk strategi yang harus diterapkan untuk mereduksi risiko-risiko yang tidak diharapkan.

Visualisasi pratima atau arca singa banyak ditemukan pada banyak bangunan suci baik yang bercorak Buddha maupun Hindu. Dari mulai candi hingga kelenteng, terdapat visualisasi singa baik berupa lukisan, relief maupun dalam bentuk pratima. Di Candi Borobudur sebelum masuk ke candi induk, dapat disaksikan pratima singa.

Visualisasi tersebut tentunya sagat beralasan, karena dalam ajaran Buddha, singa di samping sebagai raja hutan yang bijaksana juga merupakan hewan yang disakralkan. Singa melambangkan Bodhisattva sebagai makhluk yang telah mencapai puncak spiritual tingkat tinggi. Mereka juga telah membangkitkan Bodhicitta yaitu menumbuhkan kepedulian hati dan bertekad sepenuhnya untuk memberi manfaat maksimal kepada seluruh makhluk, bersumpah untuk meninggalkan kebahagiaan, mencapai pencerahan tertinggi, serta tetap bekerja di dunia ini sampai semua makhluk terbebas dari penderitaan. 


Pembelajaran Bersama

Dari eksplanasi di atas, kiranya dapat menjadi perenungan juga refleksi bersama, bahwa Candi Borobudur sebagai suatu bukit kebajikan ternyata menyimpan tuntunan luhur kehidupan yang dapat menjadi pijakan dan landasan manusia hidup berbudaya maupun bersosialitas di tengah-tengah komunitas yang majemuk.

Pemerintah tentunya sangat beralasan membangun ikon untuk masuk ke kawasan pariwisata Candi Borobudur, salah satunya dengan gerbang singa di Pabelan. Alasan mendasarnya tak lain, wisatawan sebelum masuk kawawan Candi Borobudur yang sudah ditetapkan menjadi KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) pola pikir dan imajinasinya sudah terbangun dengan mengorelasikan semua visualisasi di Candi Borobudur dengan tematik ceritanya. Di samping itu, komunitas sekitar candi atau sekitarnya, perlu memahami makna filosofis dibalik bangunan megah tersebut.

Namun alangkah ironisnya, ketika anak-anak sekolah sekitar Candi Borobudur, juga masyarakatnya sama sekali tidak memahami tema cerita juga filosofinya. Padahal banyak buku-buku atau sumber-sumber cerita Borobudur berbasis sastra yang sudah tersedia dan dikemas menarik, padat, serta mudah dipahami, seperti buku-buku terbitan Ehipassiko Foundation.

Untuk itu, kiranya pembelajaran bersama sinergis baik di sekolah ataupun di kantong-kantong budaya di masyarakat yang berfokus pada cerita atau sastra di balik kemegahan Candi Borobudur perlu segera dilakukan. Di sekolah guru, baik itu guru mata pelajaran sosial seperti sejarah, sastra, atau seni budaya juga guru kelas dapat memasukkan materi Candi Borobudur sebagai pengayaan peserta didik. Sedangkan di sanggar-sanggar seni, dapat mulai menekankan cerita-cerita Candi Borobudur, sekaligus dapat menjadi penguat dari seni yang akan digeluti di luar pendidikan formal di sekolah.

Dengan kerja sama sinergis yang konsisten dan berkelanjutan tersebut, dapat menjadi pintu masuk agar nilai-nilai sastra di balik kemegahan spektakuler Candi Borobudur tersebut dapat lebih membumi di kalangan generasi milenial dan masyarakat. Karena semua meyakini, di balik dibangunnya candi spektakuler tersebut, tentunya para pendirinya juga berharap bahwa generasi berikutnya dapat tetap menghidupkan bangunan tersebut sebagai sumber-sumber pengetahuan dan kebajikan untuk hidup bersama. 

  

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)

 

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar