Kultur Menorehkan Tulisan di Sekolah

Dilihat 226 kali
Perpustakaan yang memadai dengan kelengkapan referensi akan menjadi pemantik peserta didik juga guru untuk menorehkan ide melalui tulisan.

Tak bisa dipungkiri kebanyakan peserta didik di lembaga pendidikan seperti sekolah merasa gagal dalam menulis ketika guru sebagai pendamping memberikan tugas menulis dalam durasi yang sangat singkat seperti satu kali tatap muka dalam satu minggu. Kegagalan tersebut berimbas pada kurang minatnya peserta didik terhadap pembelajaran menulis di sekolah. Kondisi tersebut bila tidak diperhatikan akan terus berlanjut saat peserta didik memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Padahal sekolah sebagai tempat ladang persemaian tunas-tunas muda ini untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.


Harusnya disadari, bahwa pembelajaran menulis memang tidak bisa diberikan dalam waktu terbatas, apalagi bila hanya dengan mengaplikasikan metode ceramah tentang jenis dan petunjuk teknis menulis. Pembelajaran menulis tidak hanya memerlukan kerangka teoritis, namun diperlukan aplikasi praksis dengan durasi yang lebih panjang. Selain itu salah satu hal yang tak kalah urgennya adalah kejelian guru mengaplikasikan metode pembelajaran yang tepat.


Selama ini kecenderungan guru yang rata-rata mempunyai disiplin ilmu Bahasa Indonesia di sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah masih banyak menggunakan pendekatan konvensional. Pendekatan ini memberikan alokasi waktu yang sangat sempit bagi peserta didik dalam menuangkan gagasan-gagasannya untuk menulis. Hal tersebut sangat bertentangan dengan esensi menulis sendiri, yakni kegiatan yang tidak bersifat instan, melainkan aktivitas yang memerlukan tahapan proses secara gradual.


Peran Guru


Untuk dapat menuangkan ide lewat tulisan, sudah barang tentu harus diimbangi dengan kebiasaan membaca yang kuat. Sebab bagaimana akan dapat mencurahkan isi permasalahan kalau mereka sendiri tidak menguasai secara mendalam substansi permasalahan yang ditulisnya. Sudah barang tentu, seseorang sebelum mulai melakukan aktivitas menulis akan mengawali dengan pembekalan diri melalui kegiatan membaca dengan memanfaatkan media perpustakaan baik itu milik pribadi, sekolah, atau perpustakaan umum yang sampai sekarang sudah semakin eksis di beberapa daerah. Dari sini kebiasaan membaca dan mencari literatur para peserta didik akan dapat terbangun.


Sedangkan kapasitas guru dalam menggali kompetensi peserta didik dalam aktivitas pembelajaran menulis sangatlah signifikan. Terutama kiat-kiat strategisnya untuk menciptakan pembelajaran menulis yang integratif dan komunikatif sehingga peserta didik merasa senang mengikuti pembelajaran tersebut. Salah satu upaya yang dapat ditempuh sebagai alternatif yaitu dengan mengaplikasikan paradigma menulis dalam pendekatan cooperatif learning. Pendekatan ini menitikberatkan pada sistem kerja terstruktur dengan beberapa model antara lain, kerja sama positif antar peserta didik, melatih tanggung jawab personal, melakukan tatap muka, menjalin komunikasi efektif, dan melakukan evaluasi kelompok (M. Thobroni, 2013).


Adapun peran guru dalam implementasi pembelajaran di kelas antara lain: pertama, guru selaku pendamping harus benar-benar memberikan kebebasan peserta didik menulis tanpa dibatasi aturan-aturan yang mengekang kreativitas. Kedua, mendorong peserta didik untuk lebih berani dan tidak takut mengajukan pertanyaan sebagai bekal untuk wawancara. Ketiga, mendorong peserta didik melibatkan diri secara proaktif dalam kelompoknya. Keempat, membantu mengembangkan daftar pertanyaan yang akan disusun. Kelima, membantu mengembangkan informasi yang didapat dari wawancara untuk ditransfer dalam format tulisan melalui diskusi kelompok.


Aplikasi pembelajaran menulis yang integratif dan komunikatif tersebut selain membekali kemampuan menulis juga dapat membekali kemampuan berbicara karena peserta didik dituntut melakukan wawancara untuk menggali informasi yang akan dijadikan obkek tulisan.


Seiring diberlakukanya Kurikulum Merdeka di sekolah, maka pembelajaran menulis yang biasanya dijadikan satu dengan pelajaran Bahasa Indonesia akan bisa lebih efektif dilakukan melalui pendekatan proses yang dapat memberikan peluang lebih besar kepada peserta didik  untuk berpikir dan bertindak kreatif. Peserta didik merasa senang dan tidak terbebani dengan tuntutan menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan dalam waktu singkat.


Keterampilan Proses


Pada prinsipnya menulis merupakan ketrampilan proses yang membutuhkan latihan secara kontinuitas. Ketika rangsang ide atau masalah muncul dan situasi memungkinkan, serta ada kemauan untuk menuangkannya, jadilah tulisan itu. Bila resultan ungkapnya dikirimkan ke media dan memenuhi persyaratan untuk dimuat, maka tulisan itu tidak hanya berguna bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain yang membacanya.


Di samping itu menulis juga dapat menjadi ajang kreativitas peserta didik untuk lebih mendalami pengetahuan jurnalistik. Dengan mendalami kompetensi bidang jurnalistik ini peserta didik akan terlatih untuk berkomunikasi baik secara oral maupun tulisan dalam tataran praksis. Bahkan lebih jauh ke dapannya akan dapat membangun karakter peserta didik menjadi lebih percaya diri berkomunikasi dengan siapapun.


Guna mengoptimalkan budaya menulis di sekolah, kiranya diperlukan infrastruktur yang memadai seperti perpustakaan beserta fasilitasnya. Termasuk koran atau majalah yang dapat dijadikan rujukan peserta didik mengikuti informasi aktual. Namun sampai saat ini di sekolah pada umumnya hanya berlangganan satu koran saja. Itupun sampainya ke perpustakaan sudah kedaluwarsa terpaut tiga sampai empat hari karena harus transit di kepala sekolah, ruang guru, dan terakhir baru ke perpustakaan. Kondisi tersebut berimbas enggannya peserta didik membaca karena merasa informasinya sudah kedaluwarsa. Keengganan membaca itu tentunya akan dapat berdampak juga pada atensinya untuk menulis. Untuk itu kiranya pihak sekolah segera dapat mengantisipasi dengan lebih memprioritaskan media informasi ini sebagai kebutuhan mendesak bagi peserta didik.


Di samping itu sampai saat ini walaupun bukan zamannya, masih ada beberapa pengambil kebijakan yang fobia, kalau peserta didiknya berpikir kritis. Karena tak bisa dinafikan dengan belajar menulis akan melatih sikap kritis peserta didik dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya. Sikap berpikir kritis itu tidak identik dengan sikap oposan.


Cara pandang pemikiran seperti itulah yang kini harus dieliminasi. Bukankah berpikir kritis dengan dilandasi etika dan pertanggungjawaban akan dapat menempa peserta didik semakin terlatih menjadi sosok yang humanis? Rasanya semua pihak perlu mendukung jiwa-jiwa muda yang baru tumbuh ini dengan dorongan moral untuk lebih mengukuhkan jati dirinya dalam lompatan kreativitas yang positif.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar