'Malam Selikuran' dan 'Haul Sunan Geseng' di Desa Tirto Kecamatan Grabag

Dilihat 510 kali
Para peziarah membaca doa di Makam Sunan Geseng, Desa Tirto Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang.

Makam Sunan Geseng merupakan salah satu objek wisata religi (obyek wisata ziarah)  di daerah Kabupaten Magelang. Pada bulan Ramadan tahun ini, digelar acara religius tradisional Malam Selikuran. Di samping ziarah kubur, juga diselenggarakan pengajian akbar dalam rangka Haul Sunan Geseng oleh K.H. Nur Hidayatulloh, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mubarok, Manggisan, Wonosobo. 


Mujahadah Istighotsah dipandu oleh KH. Supar Zainuddin dan KH. Ahmad Mudasir. Maulid Akbar bersama Sayyid Maulana Syahriar dari Semarang, Gus Syarif dari Grabag dan Gus Ali Munaba dari Salatiga. Acara yang diselenggarakan dari tanggal 29-31 Maret 2024 ini dikunjungi ribuan peziarah dari Magelang dan kota-kota lainnya.


Sunan Geseng adalah salah seorang mubaligh kharismatik murid Sunan Kalijaga yang setia. Bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Magelang dan sekitarnya meyakini bahwa makam Sunan Geseng dengan dua nisan kembar berada di puncak sebuah bukit di kaki Gunung Andong wilayah desa Tirto Kecamatan Grabag. Di dalam cungkup ini makam Sunan Geseng ada sepasang. Kini makam ini dikelilingi kayu berukir sehingga makamnya tidak tampak dari luar. Makam mana yang berisi jenazah Sunan Geseng, tak seorangpun tahu, juga juru kuncinya. Makam Kyai Wonotirto, sesepuh desa itu, berada sebelah barat makam Sunan Geseng.


Menurut ceritera dari berbagai sumber, Sunan Geseng adalah seorang mubaligh asal desa Bedhug Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo. Dia adalah murid atau santri yang taat dan setia kepada gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Geseng nama aslinya Ki Cakrajaya, seorang penyadap nira. Karena sangat miskinnya, di desanya dia juga dijuluki Ki Petungmlarat yang rajin nglakoni tirakat dan tapabrata untuk memperdalam ngelmu Kejawen yang dianutnya.


Setiap kali Ki Cakrajaya menyadap nira (nderes), dia memanjat pohon kelapa sambil melantunkan tembang yang sekaligus juga sebagai mantra, "Clonthang clanthung wong nderes buntute bumbung, apa gelem apa ora".


Pada suatu hari, ketika dia memanjat pohon kelapa untuk menyadap nira sambil melantunkan tembang itu. Di  bawah ada seseorang yang menegurnya, "Hai ki sanak, tidak begitu doanya bila mau menyadap nira. Doanya dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Kuasa," orang yang tidak dikenalnya itu berkata kepadanya.


"Bila ki sanak akan melakukan sesuatu pekerjaan awalilah dengan membaca dua kalimat syahadat dan menyebut Asma Allah," lanjutnya.


Orang yang belum dikenalnya itu diajak singgah ke rumah Ki Cakrajaya. Di rumahnya, tamu itu meminta izin untuk ikut mencetak setangkep gula Jawa dengan cetakan tempurung kelapa. Sebelum pamit, tamu itu berpesan: "Jangan sekali-kali cetakan gula ini dibuka sebelum saya pergi meninggalkan rumahmu ini".


Ketika sang tamu telah jauh dari rumahnya, dengan rasa ingin tahu bergegaslah Ki Cakrajaya membuka tempurung cetakan gula jawa itu yang ketika dibuka bukan berisi setangkep gula jawa, tetapi sebongkah emas yang menyilaukan matanya. 


"Tamu itu tentu bukan orang sembarangan," pikir Ki Cakrajaya.


Ki Cakrajaya sangat penasaran. "Siapa sebenarnya orang itu, aku akan mencari sampai ketemu dan berguru kepadanya," begitu tekadnya. Dalam pencariannya, Ki Cakrajaya bertemu dengan orang "sakti" itu di sebuah hutan. Orang yang dicarinya itu tidak lain adalah Sunan Kalijaga, yang tengah berkelana menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa bagian tengah sisi selatan. Ki Cakrajaya berniat dan ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Mendengar niat yang tulus Ki Cakrajaya, Sunan Kalijaga bersedia menerima sebagai muridnya.


Pada suatu hari Sunan Kalijaga akan menunaikan ibadah ke Mekkah. Dia meminta Ki Cakrajaya untuk menunggu di suatu tempat yang ditandai dengan tancapan tongkat bambunya. Ki Cakrajaya mematuhi perintah Sunan Kalijaga. Dengan taat dan setia dia menunggu di tempat itu sampai Sunan Kalijaga pulang kembali.


Ki Cakrajaya ditinggal Sunan Kalijaga selama 17 tahun. Begitu lamanya menunggu, tongkat bambu itu tumbuh dan berkembang menjadi hutan bambu yang lebat, menutupi tempat Ki Cakrajaya duduk menunggu kembalinya sang guru. Ketika Sunan Kalijaga kembali, tempat itu sudah berubah menjadi hutan bambu, Ki Cakrajaya sulit ditemukan. Agar mudah mencari murid setianya itu, Sunan Kalijaga membakar hutan bambu itu dan tampaklah Ki Cakrajaya di tengah abu rumpun bambu. Dia tidak mati tetapi badannya hangus (geseng). Dan sejak saat itu, Sunan Kalijaga memanggil Ki Cakrajaya dengan julukan Geseng.


Ki Cakrajaya mengikuti Sunan Kalijaga sampai ke Demak. Ketika para wali mendirikan masjid Demak, Sunan Kalijaga menyumbangkan sebuah "saka guru" atau tiang utama yang dibuat dari tatal (sisa-sisa kayu). Tiang tatal itu terlalu panjang dan dipotong. Potongan tiang tatal itu diberikan kepada Sunan Geseng untuk dibawa ke kampung halamannya, Bagelen.


Sunan Geseng berpamitan kepada Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di daerah asalnya. Sambil memberikan potongan tiang tatal Sunan Kalijaga berpesan kepada Sunan Geseng: "Janganlah kau berhenti berjalan bila membawa potongan tiang tatal ini. Tetapi bila kamu lelah dan terpaksa berhenti, maka di situlah kamu harus mendirikan masjid dan pesantren".


Dengan memegang teguh pesan sang guru, Sunan Geseng berpamitan untuk pulang ke desa asalnya, Bagelen, Purworejo. Namun, ketika sampai di kaki Gunung Andong desa Kleteran Grabag di wilayah Magelang, karena sangat kelelahan Sunan Geseng berhenti dan meletakkan potongan tiang tatal itu. Dan di desa inilah Sunan Geseng kemudian mendirikan sebuah masjid dan pondok pesantren. Sampai kini masjid dan pesantren itu masih ada dengan nama Pondok Pesantren Sunan Geseng.


Semasa hidupnya, Sunan Geseng lebih sering berada di desa Tirto, tetangga desa Kleteran yang berada di kaki Gunung Andong. Ulama ini oleh sesepuh desa itu, Ki Wonotirto, dianggap sebagai anaknya. Masyarakat desa Tirto juga sangat menghormati Sunan Geseng, sebagai mubaligh kharismatik yang sangat disegani. Ketika Sunan Geseng wafat di desa Kleteran, masyarakat desa Tirto ingin untuk memakamkan di desanya. Tetapi warga Kleteran juga bermaksud sama. Maka terjadilah perebutan jenazah Sunan Geseng karena warga dari dua desa itu sama gigihnya dalam mempertahankan maksudnya.


Dikisahkan, ketika jenazah Sunan Geseng disemayamkan di Kleteran dan dijaga sangat ketat agar tidak diambil orang Tirto, Ki Wonotirto dengan kesaktiannya mengubah dirinya menjadi seekor kucing dan menyelinap masuk ke ruang persemayaman jenazah Sunan Geseng. Jenazah itu oleh Ki Wonotirto dicipta menjadi seekor tikus dan digondolnya. Ketika warga Kleteran mengetahui jenazah itu musnah, mereka yakin jenazah Sunan Geseng diambil warga desa Tirto. Kemudian mereka mengejarnya ke desa Tirto.


Ketika warga Kleteran sampai di desa Tirto, jenazah Sunan Geseng sudah selesai dimakamkan. Pemakamannya disiasati dengan membuat dua makam yang kembar. Ki Wonotirto memperbolehkan orang-orang dari Kleteran untuk menggali makam itu, dengan janji hanya memilih salah satu makam yang boleh digali. Bila dalam penggalian itu mereka tidak menemukan jenazah Sunan Geseng, mereka harus rela Sunan Geseng dimakamkan di desa Tirto. Namun, penggalian salah satu makam yang dipilihnya mereka tidak menemukan jenazah Sunan Geseng. Warga Kleteran mengakui kekalahannya dan rela jenazah Sunan Geseng dimakamkan di desa Tirto, sesuai janji mereka.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar