Mengajarkan Keterbukaan Pikiran Di Sekolah

Dilihat 5552 kali
Foto: smppjsidoarjo.sch.id

Dalam suatu lembaga pendidikan dengan kompleksitas permasalahan dan heterogen peserta didiknya, mengajarkan keterbukaan pikiran merupakan hal penting dalam pembentukan karakter peserta didik. Keterbukan pikiran berarti bahwa individu di lingkungan sekolah memiliki sikap menerima dan memahami orang lain terlebih dahulu  daripada senantiasa menaruh rasa curiga, berpikir negatif, serta keras dalam memberikan kritik dan komentar. 


Apabila semua warga sekolah mengutamakan pola pikir orang lain terlebih dahulu atau mendahulukan versi dan perspektif yang lain dalam setiap persoalan yang muncul, bisa menjadi cara efektif untuk menghilangkan syak dan prasangka, serta membuka keterbukaan pikiran. 


Sikap tertutup atau introvet akan membuat seseorang mudah mengadili dan menilai tanpa  tahu pokok persoalan yang sebenarnya. Bisa juga dikatakan, ia hanya tahu sedikit pokok persoalannya sudah merasa cukup. 


Tanda lingkungan sekolah yang memiliki ketertutupan adalah tidak dibicarakannya persoalan komunitas secara terbuka. Setiap individu memakai perspektif dan pemikirannya sendiri-sendiri untuk melihat persoalan, tanpa mau membicarakan secara serius.


Lingkungan tertutup


Lingkungan yang tertutup seperti ini biasanya akan melahirkan pengelompokan di dalam komunitas. Sedangkan komunitas guru pun akan terpecah antara kelompok yang ingin serius  mengajar dan ada kelompok yang lebih suka  mempergunjingkan kerajinan atau kemajuan orang lain. 


Bila tema gosip untuk orang lain sudah tidak ada, mereka akan selalu menemukan tema-tema  yang bisa dipergunjingkan, seperti kebijakan-kebijakan sekolah atau keputusan-keputusan pimpinan. Meskipun sebenarnya beberapa hal sudah pernah disampaikan dan dikomunikasikan.


Sikap ketertutupan pikiran hanya akan melahirkan individu yang suka bergunjing dan menggosip daripada berdialog. Bila ada kesalahan kecil saja yang dilakukan oleh seorang guru atau pimpinan sekolah, kesalahan ini akan dibahas sampai detail dan dibicarakan berulang-ulang hanya untuk mendiskreditkan orang lain. 


Orang yang tertutup pemikirannya tidak mau menerima pendapat dan masukan dari orang lain. Ia cenderung ingin menangnya sendiri. Bahkan, ia selalu memiliki rasa curiga bila ada pendapat dari orang lain yang berbeda dengan dirinya. 


Sikap seperti ini jelas menunjukkan ketidakdewasaan dalam berkepribadian. Untuk itu para guru perlu belajar agar selalu mengutamakan orang lain dan membuka pikiran pada banyak perspektif, keputusan yang diambil benar dan sungguh memiliki dasar.


Keterbukaan pikiran

 

Keterbukaan pikiran merupakan karakteristik yang melibatkan penerimaan terhadap beragam ide, argumen, dan informasi. Berpikiran terbuka umumnya dianggap sebagai kualitas positif. Ini adalah kemampuan yang diperlukan untuk berpikir kritis dan rasional.


Pemikiran yang terbuka para ahli dapat menyebutnya fleksibilitas kognitif memungkinkan kita untuk memikirkan dan memilih ragam cara menyelesaikan suatu hal. Keterampilan ini memainkan peran penting dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir terbuka/fleksibel membantu orang untuk bergaul dengan orang lain, membantu kelompok menjadi lebih efektif, dan membantu orang memecahkan masalah dan atau mencoba cara-cara baru dalam melakukan sesuatu.


Bayangkan 100 buah kartu permainan. Setiap kartu berwarna merah, biru atau hijau. Masing-masing juga memiliki gambar binatang di atasnya: kelinci, anjing atau burung. Ketika diminta untuk mengurutkan kartu, seorang anak mungkin mengurutkannya berdasarkan warna. Dia mungkin juga mengurutkannya berdasarkan jenis hewan. Dengan kata lain, dia bisa melihat berbagai cara untuk menyelesaikan tugas tersebut. Mampu melihat dan memilih ragam cara mengurutkan kartu menunjukkan pemikiran yang terbuka secara fleksibel.


Ketika terjadi konflik di lingkungan sekolah, hendaknya peserta didik didampingi untuk lebih mengutamakan rasa hormat menghormati satu sama lain, keterbukaan pemikiran, menghargai privasi pribadi, dan penuh pertimbangan sebelum bersikap. Jangan biarkan diskusi melebar pada gosip-gosip atau ketidakhormatan. 


Gosip akan gampang muncul melalui informasi simpang siur tidak jelas yang beredar di sekolah. Apalagi kalau ini terkait dengan anggota komunitas sekolah. Hendaknya informasi yang kurang benar ini tidak diperbincangkan dan menjadi bahan gosip.

Lingkungan pendidikan tidak akan dapat menjadi komunitas yang menumbuhkan nilai-nilai moral bila ada ketertutupan sikap di kalangan para anggotanya. Menjadi terbuka memang tidak mudah, karena harus mengesampingkan ego dan kepentingan kita, serta mengutamakan orang lain. 


Dengan demikian lembaga pendidikan seperti sekolah akan solid apabila masing-masing warga sekolah memiliki kesadaran untuk membukan pemikirannya lebih terbuka demi kemajuan sekolah. Rasa memiliki atau menjadikan sekolah tempat  nyaman untuk beraktivitas sebagaimana rumah kedua akan menjadi motivasi dasar.


Sebuah perubahan, baik dalam diri individu maupun organisasi, hanya bisa terjadi apabila individu atau organisasi tersebut menyadari di dalam dirinya terdapat kekurangan yang menghambat mereka mencapai tujuan yang dicita-citakan.


Mengakui kelemahan dan kekurangan diri berarti merefleksi diri tentang hal-hal negatif yang menghalangi individu merealisasikan tujuan hidupnya. Untuk itu, pendekatan pengambil kebijakan di sekolah dalam mengendalikan organisasi tentunya harus lebih partisipatif. Sebagaimana melakukan rapat rutin, refleksi setiap bulan, atau mangakomodasi ide dan pemikiran warga sekolah. Tentunya semua warga sekolah harus mempunyai komitmen bersama. Dari berbagai dinamika dan perbedaan pendapat orientasinya harus menuju untuk kemajuan sekolah.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar