Candi Borobudur merupakan karya agung putra Nusantara yang sampai saat ini masih tetap tegak berdiri dengan megah. Kemegahan spektakuler tersebut tentunya diawali dari kerja keras dari para pendirinya untuk mewujudkan. Terbukti sampai saat ini bangunan suci yang didirikan oleh Dinasti Syailendra tersebut masih menjadi magnet dari para pengunjung atau para peneliti untuk mengetahui secara lebih mendalam.
Latar belakang berdirinya Candi Borobudur, berdasarkan pengamatan para ahli sejarah, geografi, arkeologi, filologi, dan sebagainya selama ini, hanya mengacu dari berbagai hipotesa atau teori sebagai dasar dalam menjabarkan pendirian bangunan peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Fenomena itu mengemuka dalam Diskusi bertajuk 1.200 Tahun Candi Borobudur Ditinjau dari Prasasti Kayumwungan, Jumat (24/5/2024) di Pendapa Bhumi Atsanti Bumisegoro Borobudur dengan narasumber Dr. Hudaya Kandahjaya, peneliti Candi Borobudur lulusan S3 Graduate Theological Union, Berkeley, California.
Benang Merah
Apabila ditelisik lebih jauh, di antara banyak pendapat para ahli yang mengemukakan teorinya terkait dengan eksistensi Borobudur, sampai saat ini hanya Prasasti Kayumwungan yang memiliki benang merah dengan Candi Borobudur. Prasasti Kayumwungan atau juga dikenal dengan nama Prasasti Karangtengah yang ditemukan di daerah Temanggung merupakan prasasti penting yang pada 1950 diterjemahkan dan diinterpretasikan oleh arkeolog de Casparis.
Prasasti Kayumwungan ditulis dengan aksara Jawa kuno dan menggunakan dua bahasa. Baris 1-24 menggunakan bahasa Sansekerta dan sisinya bahasa Jawa kuno. Dalam bahasa Sansekerta dijelaskan, bahwa Pramodhawardhani, putri Raja Samaratungga yang bertahta di Kerajaan Medang mengukuhkan bangunan suci Jinalaya pada 26 Mei 824. Bangunan Jinalaya merupakan nama lain dari Borobudur.
Dalam bait-bait prasasti Kayumwungan terdeteksi kompilasi informasi adanya pendirian sebuah candi yang mengumpulkan segenap ajaran kebajikan Buddha tertinggi atau himpunan dharma. Ajaran kebenaran tertinggi yang dikenal dengan agra sadharma merupakan terapi mujarab bagi segala penyakit kehidupan di dunia ini. Biara tersebut tak lain adalah Candi Borobudur yang dikenal sampai sekarang.
Hudaya Kandahjaya dalam buku Borobudur Biara Himpunan Kebajikan Sugata (2021) menjelakan, Prasasti Kayumwungan mengeksplanasikan dengan tersirat di balik makna yang tersurat, bahwa bagian puncak Borobudur berdasarkan rancangan putri Pramodhawardhani dibuat menjadi sebuah altar berbentuk roda. Altar ini dipiktoralkan atau digambarkan sebagai tempat kediaman para jina atau Dyani Buddha. Sosok ini merupakan tokoh spiritual yang telah mencapai tingkat kesempurnaan dan sudah bebas dari lingkaran karma juga samsara. Di puncak Borobudur ini ditempatkan pula stupa induk yang secara spiritual menjadi ujung dan pangkal Borobudur.
Banyak hal menarik dalam Prasasti Kayumwungan sebagai sumber informasi baru yang dapat membuka cakrawala pandang semua pihak. Dalam prasasti ini juga mencatat bagian bawah Borobudur oleh Raja Samaratungga diperbesar menjadi berlapis 10. Bila dihitung, dari teras lantai persegi paling bawah sampai teras lantai melingkar atas seluruh lapisannya berjumlah 10. Sedangkan stupa induk berada di lapis paling atas. Berdasarkan lapisan atau tingkatan tersebut melambangkan 10 tingkat Bodhisattva (individu yang tercerahkan) yang dikenal dengan dasabhumi.
Makna filosofis dalam dasabhumi tersebut tak lain adalah agar manusia mampu membina diri menuju puncak hakikat kemanusiaan, yaitu keterbebasan dari ketamakan, kebencian, dan kekeliru-tahuan (loba, dosa, dan moha), yang pada gilirannya mampu memperbarui kehidupan berlandaskan iklhlas dan cinta kasih. Sebagaimana tertulis dalam kitab Avatamsaka Sutra, tingkat paling bawah disebut pramudita, yang berarti sungguh gembira. Pada tingkatan ini mempiktoralkan ketika Bodhisattwa menyadari bahwa ia telah melaksanakan kesempurnaan derma dan juga telah menyadari kekosongan. Sedangkan tingkat kesepuluh dikenal dengan Dharmamegha (awan kebenaran). Makna filosofis pada tingkatan ini yaitu Bodhisattwa mampu mencapai kesempurnaan semadi dan wawasan dalam kehidupannya. Tubuh dharmanya telah mencapai tataran kesempurnan dan juga mampu menunjukkan keajaiban (Bambang Eka Prasetya, 2021).
Apabila diamati secara akuratif, banyak kalimat kunci dalam bait-bait Prasasti Kayumwungan yang menunjukkan benang merah dengan Borobudur. Sebagai misal dalam bait 10 memuat kalimat yang berbunyi demikian: Ia, dikenal sebagai Yang Mulia Prodavarddhan, mencuri kecantikan bulan, lenggok angsa. Dalam kalimat tersebut dapat dimaknai bahwa Pramodhawardhani adalah mustika Kerajaan Medang. Kecantikan visualnya bagaikan bulan purnama penuh, diimbangi pola pikir maupun pola tindakannya menunjukkan tingkat kesempurnan sebagai sosok perempuan ideal.
Sosok Pramodhawardhani ini sudah tidak asing lagi, peran sentralnya dalam membangun Candi Borobudur. Dalam data historis maupun cerita-cerita rakyat, tokoh ini selalu muncul. Peran sentralnya ikut terlibat memberikan kontribusi pemikiran dalam membangun negerinya menunjukkan bahwa kiprah perempuan sejak zaman feodal tidak dapat dipandang sebelah mata.
Dari bagian-bagian yang terurai nampak bahwa Candi Borobudur memang dirancang sebagai sebuah perpaduan yang selaras dengan konstruksi sebagai manifestasi dengan perumpamaan indrajala, yaitu setiap komponen mencerminkan komponen lainnya. Setiap komponen tidak dapat berdiri sendiri, melainkan juga tergantung dengan lainnya. Manakala akan mempelajari makna Candi Borobudur sampai tingkat kedalamannya, perlunya membaca relief searah jarum jam atau melakukan pradaksina, karena makna kehidupan dimulai dari tataran paling bawah sampai tataran paling puncak.
Sumber Inspirasi
Tahun 2024 dihitung dari angka tahun dikeluarkannya Prasasti Kayumwungan, maka usia Candi Borobudur sejak diresmikan oleh Pramodhawardhani pada 26 Mei 824 sudah kurang lebih 12 abad atau 1.200 tahun. Sungguh tahun ini merupakan tahun bersejarah untuk Candi Borobudur, karena sudah menapaki usia melampaui zamannya yang sampai sekarang bangunan fisiknya masih tetap kokoh berdiri. Â
Diskusi yang berlangsung di Pendapa Bhumi Atsanti Bumisegoro Borobudur dengan narasumber Dr. Hudaya Kandahjaya tersebut, dapat menjadi pemantik semua pihak bahwa Candi Borobudur merupakan sumber inspirasi yang tidak kering untuk menjadi bahan dialektika. Borobudur juga menjadi sumber segala ilmu pengetahuan tentang berbagai aspek yang spesifik sampai gradasi universal.
Alangkah idealnya ke depannya, diskusi tersebut dapat melibatkan publik yang lebih luas, termasuk pengelola pariwisata, pramuwisata, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya, agar bebagai hal atau temuan-temuan baru terkait dengan Borobudur dapat cepat untuk direspon dan segera ditindaklanjuti dalam tataran praksis.
Memang juga perlu disadari, dalam dinamika perjalanan waktu ilmu pengetahuan akan terus mengalami elaborasi. Di era sekarang ini, apabila kita tidak dapat mengikuti maupun menyesuaikan dengan dinamika zaman, sudah dipastikan akan ketinggalan kereta dan sulit mengejar. Untuk itu, kita perlu belajar untuk segera berubah.
Penulis: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang
0 Komentar