Penguatan Pendidikan Nilai Bagi Peserta Didik untuk Hidup Lebih Bermartabat

Dilihat 113 kali

Pendidikan adalah sebuah proses yang ditunjukkan untuk mencerdaskan seseorang. Proses pendidikan yang baik harus berdampak pada tiga dimensi yakni: pemanusiaan (humanizing), pemberdayaan (empowering), dan pengadaban (civilizing).


Menurut Driyarkara (1998), pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Artinya manusia yang lahir dari manusia tua bersama segala atribut yang kurang ideal, semisal kebodohan, kemiskinan, sifat rakus, bahkan kebobrokan, diangkat dan dimanusiakan.


Untuk itu, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah mengakui hak dan martabat orang lain sebagai person, kemudian atas dorongan keteladanan sang penuntun, peserta didik atau kaum muda menjadi sadar nilai, menerima, menginternalisasikan patokan-patokan nilai di sekitarnya, kemudian menjadikannya sebagai pedoman hidup yang menjadi sumber identitas dan keyakinan untuk terus bertumbuh memenuhi tugas-tugas insaninya.


Dengan nilai-nilai yang berhasil dianut dan dihayatinya, seorang manusia muda tak akan lagi tercerabut dari akar tradisnya. Martabatnya diangkat ketika ia menjadi simpul hidup dari segala nilai yang dihayati masyarakatnya menurut hukum-hukum kewajaran. Atas dasar itu, anak muda berubah menjadi mutiara yang disepuh, sehingga inti dirinya menjadi kristal yang memendarkan nilai-nilai universal dari lokalitas hidupnya.


Ini baru terjadi, ketika nilai-nilai yang dimaksud tak sekadar menjadi anutan dogmatis, hafalan yang tersimpan acak dalam ruang batin yang masih labil, melainkan nilai-nilai tersebut merupakan kekuatan memberdayakannya (empowering), mengangkatnya dari kondisi nobody (bukan siapa-siapa) menjadi somebody (jadi orang yang diperhitungkan).


Insan berkualitas mutiara ini, tak butuh lagi tepuk sorak dan puja-puji khalayak, karena yang paling berharga baginya adalah apa yang mengalir darinya, seperti sumber air bening yang terus menghidupkan, tanpa mempedulikan, apakah ada yang mengejek atau memuanya.


Maka ketika nilai-nilai adiluhung sudah menyatu dalam kehidupan seseorang, ketika nilai-nilai itu mampu memberdayakan seseorang, maka tak ayal lagi, pada saat itu tibalah orang pada lingkup kemanusiaan yang lebih beradab. Lingkup kemanusiaan yang beradab menjamin mutu kehidupan yang lebih baik bagi setiap orang, dan secara konkret digambarkan sebagai kehidupan ideal yang penuh damai dan sukacita.


Peran Sekolah


Ada tiga permasalahan besar yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia, yakni: masalah kekerasan, masalah korupsi, dan masalah kerusakan lingkungan hidup. Rentetan kisah mengenai kekerasan mulai dari bullying yang dilakukan para murid di sekolah, tawuran antar pelajar, antar warga desa, hingga kekerasan dalam rumah tangga menjadi kisah sehari-hari. Korupsi menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas. Kerusakan lingkungan hidup karena kerakusan yang membabi-buta, benar-benar telah membawa dampak sangat mencemaskan.


Jika pendidikan kita sungguh berniat menjadikan nilai sebagai referensi bagi seluruh kebijakannya dalam rangka meningkatkan martabat manusia, ketiga permasalahan yang gambling itu harus menjadi bagian tanggung jawabnya. Secara konkret ini berarti para pendidik perlu menggugat diri dengan pertanyaan, apa yang bisa saya berikan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan itu? Selama ini pendidikan nilai masih sebatas retorika.


Umumnya para pengelola pendidikan merasa cukup ketika para murid sekolah sudah mendapatkan pendidikan agama, pendidikan moral, sex education, pendidikan lingkungan hidup, dan penyuluhan tentang narkoba (drugs).


Pendidikan nilai tidak bisa dilakukan hanya dengan mencekoki anak dengan fakta dan informasi. Pendidikan nilai adalah adalah suatu kegiatan bimbingan oleh orang dewasa yang tepat, bermutu, dan bisa dipercaya, baik dalam lingkup sekolah, rumah, maupun dalam lingkup kelompok masyarakat dan keagamaan.


Jadi pendidikan nilai adalah kegiatan (activity), dan bukan proses abstrak. Dalam lingkup sekolah, kegiatan ini dapat dilakukan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Di dalam kelas, pendidikan nilai dapat mengambil bentuknya menurut tahap-tahap berikut ini.


Pertama, murid yang hadir diarahkan oleh fasilitator kepada topik tertentu untuk didiskusikan. Arahan ini sebaiknya didilakukan berdasarkan prinsip mutual respect (saling menghargai), honesty (ketulusan), dan caring (kepedulian). Persoalan-persoalan seperti kehamilan remaja, aborsi, penyalahgunaan obat, euthanasia, vandalisme, dan lain-lain, bisa diangkat karena relevan untuk mereka.


Kedua, mendorong semua siswa untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi. Dalam suasana diskusi tak boleh ada peristiwa saling mengejek, saling menghina, atau saling meneriaki.


Ketiga, pendapat fasilitator bukanlah referensi. Nilai pendapatnya setara dengan peserta lain dalam kelompok diskusi. Dan karena itu rentan terhadap kritik dan perubahan.


Keempat, konsesus terhadap soal benar atau salah, baik atau buruk mungkin terjadi, namun tetap dalam arus yang mengalir tanpa paksaan. Bagaimana pun pada saat tertentu, orang tak bisa melepaskan diri dari sikap menilai sebelum mengambil keputusan.


Melalui proses ini, sasaran yang ingin dicapai bukan sekadar menegaskan nilai yang dianut, melainkan mengubah persepsi dan pemahaman terlebih dahulu kemudian menyelaraskannya dengan contoh hidup. Di atas semua itu, pendidikan nilai tak bisa dilakukan secara parsial. Tema ini harus diposisikan dalam sebuah kerangka pembinaan berkelanjutan dengan memperhatikan seluruh siklus hidup seorang individu yang meliputi aspek diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Semoga.


P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar