Menengok Jembatan Gantung Duwet, Dibangun Belanda pada 1930

Dilihat 908 kali
Aktivitas warga saat melewati jembatan gantung yang dibangun Belanda pada 1930-an, yang menghubungkan dua provinsi (Jawa Tengah – DI Yogyakarta) yang dipisahkan oleh Sungai Progo.

BERITAMAGELANG.ID - Jembatan gantung yang dibangun Belanda pada 1930-an, menghubungkan warga antar provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang dipisahkan oleh Sungai Progo. Jembatan tua beralas kayu tersebut, masih berfungsi dan dimanfaatkan sebagai arus lalu lintas dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, pariwisata, perdagangan dan peternakan warga. 


Adalah Jembatan Duwet  yang biasa disebut Kretek Gantung (Jembatan Gantung), letaknya di perbatasan dua provinsi, yakni Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.


“Meski usianya tua, jembatan gantung ini masih kokoh berdiri untuk aktivitas warga. Bahkan saya nglaju setiap hari melintasi jembatan peninggalan Belanda ini,” ujar Adi, warga Yogyakarta yang bekerja sebagai ASN di DPRD Kabupaten Magelang, Jumat (13/12/2024).


Baginya, melewati jalan alternatif dari Yogyakarta menuju tempat kerja di Kota Mungkid, Sawitan, Kabupaten Magelang, selain perjalanan lebih nyaman karena melewati Selokan Mataran dengan air yang mengalir jernih, ditambah areal pertanian yang sejuk dan hijau, membuat berjalanan lebih cepat dan lancar.


“Yang jelas, tidak ada kemacetan, apalagi kesemrawutan arus lalu lintas oleh kendaraan roda empat, terlebih truk-truk pengangkut pasir. Bahkan sering kali saya menjumpai atau barengan dengan turis asing yang naik sepeda motor dari Jogja ke Borobudur melintas jembatan gantung ini,” tambahnya.


Senada dikatakan Budiono (50), warga Kalibawang, Kulon Progo, hampir setiap hari melintasi jembatan gantung karena mencari rumput untuk pakan ternak di wilayah Desa Bligo, Kabupaten Magelang. Selain mencari rumput, nampak juga warga Bligo yang melintasi jembatan membawa dagangan sayuran dijual ke Kalibawang.


“Kalau pas musim buah durian, areal jembatan gantung ramai didatangi para wisatawan yang rombongan naik sepeda untuk singgah istirahat sambal menikmati buah durian, dan mereka berfoto di atas jembatan yang saat dilewati sedikit ada ayunan,” ujarnya.


Diketahui, pada musim hujan tahun ini, jembatan gantung sebagai penghubung wilayah antara Jawa Tengah (Bligo, Ngluwar, Magelang) dengan Kalibawang, Kulon Progo, mengalami longsor di area barat (Kalibangan) yang berakibat fondasi ambrol. Untuk mencegah oleh air hujan, tanah ditutup menggunakan terpal.


Jembatan gantung Duwet, terdapat utas kabel besar melengkung di atas dan selasar jembatan bergantungan kepada dua kabel tersebut melalui kawat-kawat yang lebih kecil. Di kiri-kanan selasar terdapat pagar besi dengan konstruksi sederhana, dinding jembatan menggunakan kawat kasa di sisi luar. 


Aliran air Sungai Progo yang deras karena berhulu dari Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, dan melewati wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, air pada musim penghujan yang mengalir deras berwarna keruh di antara dinding-dinding batuan sungai bawah jembatan yang diapit oleh tebing dalam dan curam.


Lewat jembatan Gantung Duwet, direkomendasikan pada sore hari, ketika senja bertengger di atas deretan bukit Menoreh, sembari menikmati sawah hijau di wilayah Desa Bligo (sisi timur Sungai Progo), sambil menelusuri Selokan Mataram yang membentang dari Sungai Progo di bendung Ancol, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.


Sumber Sejarah


Sumber sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyebutkan, jembatan Gantung Duwet, masuk bangunan cagar budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda. Jembatan Duwet juga memiliki nilai historis tersendiri, karena menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.  


Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota, sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya diantaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III).


Sedangkan Belanda mengatur strategi dengan mengadakan aksi gerakan pembersihan di desa-desa yang dianggap sebagai kubu-kubu pertahanan gerilyawan. Aksi tersebut dilancarkan terus-menerus, sehingga membuat rakyat merasa tidak aman dan nyaman. Gerakan Belanda yang bergerak dari arah timur, memaksa rakyat mengungsi ke arah barat dan membaur dengan para pejuang lainnya.


Kala itu, rakyat yang memutuskan mengungsi ke arah barat kemudian segera melakukan pergerakan melintasi Sungai Progo, dan menyebar ke berbagai daerah di sebelah barat Sungai Progo. Kemudian  melakukan sabotase terhadap Jembatan Duwet, dengan cara memotong tali jembatan agar belanda tidak bisa melintas.





Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar