Biogas dari Kotoran Sapi, Warga Desa Banyuroto Bebas Pusing Elpiji Langka

Dilihat 734 kali
Pranti (47 tahun) menyalakan kompor berbahan bakar biogas dari kotoran sapi di rumahnya di Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan.

BERITAMAGELANG.ID - Warga Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan menggunakan biogas dari kotoran sapi untuk kebutuhan rumah tangga. Bahan bakar alternatif yang tidak bergantung pada energi fosil.


Pranti, salah satu dari sedikit orang yang tidak ikut pusing mencari gas, saat elpiji langka beberapa waktu kemarin. Kebutuhan masak di rumahnya 100 persen menggunakan biogas dari kotoran sapi.


Memiliki digester berkapasitas enam kubik, produksi biogas mampu memenuhi kebutuhan memasak dua keluarga setiap hari.


"Cukup untuk masak dari pagi sampai sekitar ashar. Untuk masak nasi, masak sayur, menggoreng lauk, juga masak air. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari," kata Pranti.


Dulu, sebelum memiliki digester biogas, setiap bulan Pranti sedikitnya tiga kali mengisi ulang elpiji untuk kebutuhan memasak. 


"Sekarang gratis pakai biogas. Perawatannya juga gampang," lanjutnya.


Keamanan juga menjadi alasan Pranti mau menerima bantuan pembuatan digester biogas yang ditawarkan pemerintah Desa Banyuroto. 


"Aman kok. Umpama terjadi kebocoran pipa atau kompor, paling hanya bau. Tidak ada api menyambar," terangnya.


Biogas Bebas Limbah


Selain itu, penggunaan biogas menghemat tenaga pembersihan kandang sapi. Sebelum memiliki digester biogas, peternak setiap pagi harus mengangkut kotoran sapi keluar kandang.


Kotoran ditumpuk sebelum dibawa ke ladang untuk digunakan menjadi pupuk. Sekarang, secara berkala pagi dan sore, kotoran sapi cukup disorong masuk ke lubang input digester untuk diproses menjadi biogas.  


Proses pembusukan kotoran sapi dalam digester akan memisahkan air limbah dengan biogas. Biogas dialirkan ke kompor, sedangkan limbahnya dibuang ke tangki output.


Limbah di tangki output bisa diambil untuk pupuk cair. Pupuk cair dari proses biogas lebih bagus dibanding kotoran sapi yang disebar begitu saja di ladang.


"Biogas untuk pupuk kocor membuat pertumbuhan sayuran lebih cepat terutama untuk seledri dan cabai. Kalau sering diambil, bentuk limbahnya tidak padat. Satu gayung (limbah) ditambah beberapa liter air sudah bisa dipakai," jelasnya


Pemerintah Desa Banyuroto memulai program pembuatan digester biogas untuk warga sekitar 2008. Saat itu mereka menerima bantuan dana dan teknis dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah.


Program biogas untuk warga sempat macet karena terkendala biaya pembuatan digester yang mahal. Untuk membuat digester ukuran delapan kubik dibutuhkan biaya sebesar Rp15 juta.


Terobosan Alokasi Dana Desa


Pemerintah Desa Banyuroto kemudian mengajukan kembali bantuan ke Dinas ESDM Jawa Tengah dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Magelang.


"Paling cepat itu 2021. Desa bekerja sama dengan Yayasan Rumah Energi. Kami ada anggaran dari Dana Desa dengan plot untuk kegiatan pemberdayaan energi," kata Kepala Desa Bayuroto, Yanto.


Yanto membuat terobosan membiayai pembuatan digester secara patungan sehingga tidak membebani warga maupun pemerintah. Pembuatan satu unit digester ukuran enam kubik, ditanggung bersama desa sebesar Rp5 juta, Yayasan Rumah Energi Rp3 juta, dan kekurangan untuk biaya tukang dipenuhi oleh warga penerima.


"Dana Desa bisa kami gunakan untuk pemberdayaan energi. Kami alokasikan anggaran untuk pembuatan biogas di masyarakat. Agar masyarakat punya rasa hadarbeni atau rasa memiliki," terang Yanto.


Program pembuatan digester biogas secara patungan terus berkembang hingga saat ini. Dari semula hanya ada delapan unit digester di 2019, saat ini terdapat 57 unit digester yang tersebar di semua dusun.  


Banyuroto juga memiliki dua unit digester ukuran 20 kubik yang dipakai untuk sistem kandang komunal. Biogas yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur lima sampai enam kepala keluarga.


Menuju 100 Digester Biogas


"Kami menargetkan sampai 2027 paling tidak ada 100 unit digester. Entah nanti memohon bantuan dari dinas, menggunakan dana desa atau bantuan dari pemerintah pusat," harapnya.


Target itu tidak berlebihan, mengingat warga Banyuroto rata-rata memelihara sapi. Sebelum ada wabah penyakit mulut dan kuku, jumlah ternak sapi diperkirakan mencapai 1.000 ekor.


Berkurangnya jumlah sapi akibat penyakit mulut dan kuku dipastikan tidak akan mengganggu program biogas di Banyuroto. 


"Pengurangan jumlah sapi akibat penyakit mulut dan kuku paling hanya 10 persen. Masih aman untuk pengelolaan biogas," ujar Yanto.


Untuk mencapai target pembuatan 100 unit digester setidaknya dibutuhkan 200 ekor sapi. Dengan perkiraan satu unit digester biogas ukuran enam kubik, cukup mendapat kotoran dari dua ekor sapi.


"Katakan dari 1.000 ekor sapi ini kan masih jauh dari target (pembuatan digester biogas). Kita baru ada sekitar 50-an digester. Paling tidak kalau ada 1.000 sapi, harus ada sekitar 500-an digester," terangnya.


Upaya Desa Banyuroto menggerakkan penggunaan biogas, diganjar penghargaan Proklim Lestari dari Kementerian Lingkungan Hidup. Desa ini dianggap berhasil melakukan upaya pengendalian perubahan iklim.


Di Kabupaten Magelang terdapat 127 desa yang telah meraih predikat desa Proklim dengan kategori pratama, madya, utama, dan lestari. Jumlah itu mencakup separuh dari total 372 desa dan kelurahan di Magelang.



Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar