Menurut Prasasti Mantyasih, Magelang pada masa lalu merupakan tempat hunian yang subur makmur berdiri pada 11 April 907 M, Sabtu Legi, pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung di Kerajaan Mataram Kuno.
Di Kampung Meteseh ditemukan benda peninggalan purbakala berupa lumpang batu yang merupakan salah satu piranti upacara ketika menetapkan kampung yang kini bernama Meteseh sebagai Sima atau Perdikan oleh pihak Kerajaan Mataram Kuno, yaitu kampung yang terbebas membayar pajak.
Tanah Perdikan Mantyasih kala itu dipimpin oleh punggawa raja yaitu Patih. Hak sebagai tanah Perdikan ini karena warga Mantyasih besar jasanya kepada pihak keluarga kerajaan ketika melaksanakan upacara agung pernikahan Sri Maharaja.
Watu Lumpang tersebut sampai sekarang masih dilestarikan sebagai tetenger atau tanda ditemukannya Hari Jadi dan tanggal berdirinya kota Magelang, yang diresmikan oleh Walikota Magelang (kala itu) Drs. A. Bagus Panuntun pada 16 Juni 1980.
Sumber-sumber penelitian sejarah Magelang juga berdasarkan Prasasti Poh dan Prasasti Gilikan. Dalam prasasti-prasasti tersebut disebut-sebut adanya nama Mantyasih (yang akhirnya menjadi Meteseh) dan Glang-glang (yang kini menjadi Magelang). Prasasti-prasasti tersebut ditulis pada lempengan tembaga dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno ketika Rakai Watukura Dyah Balitung naik tahta.
Di samping itu, juga menyebutkan nama-nama raja Kerajaan Mataram Kuno. Dan di prasasti ini juga ditulis nama-nama Gunung Susundoro yang kini disebut Gunung Sindoro dan Wukir Sumbing yang sekarang bernama Gunung Sumbing.
Pemerintah Penjajah Inggris mengangkat Mas Ngabei Danoekromo sebagai bupati pertama Magelang dan kademangan ini dipilih sebagai ibu negari. Sebelum menjadi kabupaten, wilayah ini merupakan Kademangan dari Kasunanan Surakarta.
Dalem Kademangan berlokasi di sebelah utara alun-alun kota Magelang. Tempat ini merupakan Kebondalem, kebun milik Sri Susuhunan di Keraton Surakarta.
Pengangkatan bupati ini sebagai konsekuensi perjanjian antara Pemerintah Penjajah Inggris dan Kasultanan Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1812, yang menyerahkan wilayah Kedu kepada Pemerintah Penjajah Inggris.
Mas Ngabehi Danoekromo menjadi bupati pertama di Kabupaten Magelang dengan gelar Raden Adipati Danoeningrat I. Ketika penguasa Penjajah Inggris tersingkir oleh Penjajah Belanda, pemerintah penjajah Belanda melantik kembali Mas Angabehi Danoekromo sebagai Bupati Magelang dengan gelar Raden Toemenggoeng Danoeningrat, berdasarkan surat keputusan gubermen/pemerintah Penjajah Belanda 30 November 1813. Namun, kapan Hari Jadi Kabupaten Magelang? Sampai kini Pemerintah Kabupaten Magelang belum menentukan.
Menurut catatan buku sejarah famili Danoewilogo tentang berdirinya Negeri Magelang terbitan tahun 1936 halaman 39, bupati ini tewas dalam peperangan melawan laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Kalijengking, pada 28 September 1825.
Jenazah bupati dimakamkan di pesarean Kauman desa Payaman, dekat kota Magelang. Setelah meninggal dunia, pemerintah penjajah Belanda memberi gelar bupati pertama, Raden Adipati Danoeningrat I.
Raden Adipati Danoeningrat I inilah yang membangun rumah kabupaten dan Masjid Agung Magelang dan sebagai bupati yang mendirikan Negeri Magelang. Para bupati penggantinya adalah, R.A.A. Danoeningrat II, R.T. Danoeningrat III, R.A. Danoekoesoemo, R.A.A. Danoesoegondo. Anak keturunan bupati ini memerintah Kabupaten Magelang sampai 1942. Sejak zaman Jepang sampai sekarang, para bupati sudah bukan anak keturunan Danoeningrat.
Sampai 2019 ini sudah ada 20 nama bupati yang menjabat di Kabupaten Magelang. Selama masa Revolusi Kemerdekaan kedudukan pusat pemerintahan Kabupaten Magelang mengungsi ke luar kota dan berpindah-pindah. Tempat-tempat pengungsiannya di Dusun Clebung Desa Soronalan Kecamatan Sawangan, Dusun Manggoran Kecamatan Mertoyudan, Desa Bojong Kecamatan Mungkid dan Dusun Jumbleng Kecamatan Muntilan.
Kantor kabupaten sejak jaman bupati pertama sampai dengan tahun 1984 bertempat di utara alun-alun kota Magelang. Berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948, Kota Magelang ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Magelang.
Pada 1950, berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1950, Kotapraja Magelang diberi hak untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Sehingga Kota Magelang menjadi pusat dua pemerintahan, kabupaten dan kotapraja. Ditambah lagi, menjadi tempat kedudukan Residen Kedu dan Akademi Militer. Adanya empat instansi yang memiliki kewenangan masing-masing yang cukup besar ini, menyebabkan kota Magelang dirasa sumpeg (padat/ramai). Dengan pertimbangan ini, Pemerintah Kabupaten Magelang berniat memindahkan ibukotanya, dari kota Magelang ke wilayahnya sendiri.
Sejak 1982 Pemerintah Kabupaten Magelang memilih calon lokasi ibukota di wilayah kecamatan: Secang, Mertoyudan, Muntilan dan Mungkid. Akhirnya wilayah Kecamatan Mungkid dipilih sebagai ibukota kabupaten. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1982 tempat ini disetujui Pemerintah Pusat sebagai ibukota Kabupaten Magelang dengan nama resmi Kota Mungkid. Wilayah ibukota kabupaten adalah Kelurahan Sawitan dan Kelurahan Mendut di Kecamatan Mungkid dan desa Deyangan di wilayah Kecamatan Mertoyudan.
Pembangunan kompleks kantor bupati dimulai 1983. Perpindahan kedudukan pusat pemerintahan Kabupaten Magelang dari kota Magelang ke Kota Mungkid pada hari Kamis Pon 22 Maret 1984. Perpindahan ini ditandai dengan peresmian Kota Mungkid sebagai ibukota Kabupaten Magelang oleh Gubernur Jawa Tengah, H.M. Ismail. Surya sengkala kepindahan ibukota ini, Tumataning praja trus manunggal.
Bulan Maret 2022 mendatang, usia 38 tahun Kota Mungkid sebagai ibukota Kabupaten Magelang, belumlah apa-apa bila dibandingkan dengan usia kabupaten ini yang lebih dari 200 tahun. Sebagai ibukota kabupaten, Kota Mungkid terus dibangun. Gedung-gedung perkantoran terus bertambah selaras dengan kebutuhan dan perkembangan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kota Mungkid sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Magelang lebih berfungsi sebagai "kota tempat bekerja". Karena lebih banyak karyawan atau pun pejabat kabupaten yang nglajo alias tidak bertempat tinggal di kota ini.
(Oleh Amat Sukandar, Pemerhati Sejarah dan Budaya Magelang)
0 Komentar