Angkringan 4.0 itu Bernama Media Sosial

Dilihat 181 kali

Bagaimana bentuk "arsitektur" angkringan? Orang dapat duduk dan berkerumun dengan bebas. Tidak ada jarak sosial. Tidak ada jarak psikologis. Semuanya sama dan setara. Orang-orang duduk mengelilingi meja panjang, sembari minum teh, jeruk, kopi atau susu jahe panas. Asap tembakau mengepul, di sela bibir merekah yang tertawa atau berbincang tentang apa saja. Kamu atau siapa pun silakan mampir di angkringan. Duduk, sekedar menyimak, lalu pulanglah dengan sejilid tebal cerita. Keriuhan yang penuh perbincangan.


Di warung-warung angkringan, perbincangan hangat dan menyenangkan. Interaksi merdeka. Tanpa sekat-sekat sosial pastinya. Bahkan obrolan-obrolan seru bisa terjadi di antara orang-orang yang terkadang tidak saling kenal.


Mari kita bandingkan dengan interaksi di kafe-kafe. Dari segi layout interior jelas berbeda. Kafe cenderung lebih eksklusif, ada jarak pemisah antar meja. Mereka datang sendiri, atau datang bersama rombongan teman. Kalaupun mengobrol tentunya dengan teman-teman satu rombongan. Peluangnya kecil sekali untuk menemukan ada perbincangan dengan sesama pengunjung kafe. Sekalipun mereka duduk dari siang sampai petang, di ruangan yang sama.


Arsitektur media sosial seperti apa?


Angkringan itu terbuka. Angkringan itu setara. Tidak ada hierarki dalam obrolan di angkringan. Hal ini terbukti membentuk karakter manusia yang egaliter. Lalu bagaimana dengan model angkringan di era digital ini? Angkringan 4.0 itu bernama media sosial tentunya.


Arsitektur media sosial sama persis dengan arsitektur angkringan. Tempat berkumpul, dan saling mengemukakan pendapat. Bedanya, beragam kegiatan ini dilakukan tidak secara fisik melainkan menggunakan media komputer sebagai perantara. Tidak ada sekat pembatas di sana, usia, asal daerah, pekerjaan, status sosial. Orang dengan ragam latar belakang dapat “duduk dan berkerumun” dengan bebas. Orang yang tidak kenal atau terpisah jarak yang jauh, bisa saling berbincang dengan riuhnya dalam komentar-komentar media sosial. Dalam hal ini pengunjung angkringan yang berbicara hangat dan merdeka, sama dengan teman-teman medsos yang berceloteh daring .


Namun, masalahnya di sini. Suasana perbincangan media sosial yang seharusnya demokratis, ternyata justru bergeser menjadi anarkis. Orang merasa bebas sebebas-bebasnya. Bebas untuk berbincang. Bebas untuk memaki. Merdeka untuk tertawa. Termasuk merdeka pula untuk menertawakan orang-orang yang tidak dikenal. Parahnya, mereka juga merasa bebas untuk menyebarkan berita bohong.  


Penyebar berita bohong Aliyah Massaid sudah hamil duluan sebelum menikah ternyata pelakunya nenek berusia 62 tahun. Mungkinkah kalimat segalak di komentar itu muncul di angkringan? Orang yang kita ajak bicara juga orang-orang yang tidak dikenal, dan sama-sama tidak ada urusan apa pun dengan kehidupan kita.


Sepertinya tidak. Kenapa? Apakah kalau berkomentar galak di angkringan, maka orang akan langsung membalas dengan melempar sandalnya ke muka kita? Sedangkan berkomentar di media sosial tidak? Belum tentu juga. Toh risiko-risiko konkret akibat celetukan di media sosial sudah berkali-kali kita saksikan.


Tengoklah kasus persekusi online, seperti kasus istri perwira Irma Zulkifli Nasution. Postingannya yang mengomentari kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto berdampak pada pencopotan suaminya, Kolonel Kavaleri Hendi Suhendi dari Dandim 147/ Kendari pada 2019.


Ada juga kasus oknum karyawan PT Timah yang menghina pekerja honorer menggunakan BPJS untuk berobat, viral di media sosial. Postingannya berdampak perusahaan memanggil yang bersangkutan dan mengambil langkah tegas sesuai dengan aturan karyawan yang berlaku. Perusahaan juga turun tangan dan menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh pihak yang merasa terganggu dengan aktifitas media sosial salah satu karyawan yang diduga menyebarkan informasi yang telah mendiskreditkan.


Sejumlah penelitian menunjukkan penggunaan komputer sebagai mediator komunikasi berpotensi memunculkan perilaku negatif yang berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap diri saat berinteraksi dengan perantara komputer jika dibandingkan dengan saat berinteraksi secara langsung.


Kehilangan kontrol diri ini dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya adalah sifat anonim yang muncul saat berinteraksi melalui komputer. Anonimitas ini membuat sebagian orang merasa seolah-olah tidak ada konsekuensi atas tindakan mereka. Imaji anonimitas berkuasa. Sehingga sah saja untuk berbuat sesuka hati. Manusia semakin impersonal, kehilangan sisi kemanusiannya. 


Muncul juga kecenderung impulsif, bertindak secara spontan, tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakannya di kemudian hari. Mereka mungkin merespon sesuatu dengan cepat tanpa mempertimbangkan secara mendalam atau melakukan evaluasi yang rasional terhadap situasi tersebut. Apakah manusia di balik akun akan sakit hati atau tidak ya? Akan sedih tidak ya? Saat membaca komentar-komentar kita. 


Ada bias ilusi yang membuat di media sosial merasa bukan manusia. Tapi menjelma menjadi karakter dalam game-game online yang bebas sesuka hati menembaki musuh-musuh yang sama-sama bidak online. Bias ilusi bahwa mereka hanya berkomunikasi dengan mesin, membuat lupa bahwa di balik perangkat tersebut ada manusia lain yang menjadi lawan bicara. Kondisi ini memicu perilaku negatif, seperti perundungan atau tindakan yang tidak pantas. Padahal, jika setiap pengguna media sosial mampu mengendalikan diri dengan bijak, akan tercipta komunitas digital yang sehat dan produktif.


Pakewuh Digital


Pakewuh digital ternyata hilang, bersamaan dengan perasaan merasa paling benar sendiri, merasa orang lain lebih rendah. Kesungkanan, batas-batas atas kepantasan sosial menjadi sisi yang dianggap sudah tidak penting lagi dalam obrolan tentang komunikasi di alam digital. 


Jadi penting sekali kita memahami akar masalah atas peta chaos di media sosial. Yakni tentang impersonalitas, echo chamber, filter bubble, juga permainan emosi publik digital demi kepentingan para pedagang isu politik. 


Namun di balik alasan-alasan kognitif di atas, tidak kalah penting untuk melakukan pendekatan psikologis. Seperti yang ditulis Iqbal Aji dalam Sapiens di Ujung Tanduk. Bagaimana mengembalikan impersonalitas menjadi personalitas, memulihkan dehumanisasi menjadi humanisasi. Menjadi manusia yang humanis, sering-seringlah nongkrong di angkringan! 


Penulis: Diah Arifika, M.Sc., Pegiat Literasi Digital di Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar