Terlalu pagi kugelandang selandangmu menuju panggung-panggung kesumatDi mana rindumu tampil sebagai buih dan mimpi yang terbuka
Dan kau terus menari, meski sampur telah terlipat
Dan panggungmu berderap ke jumawa kotaâ¦..
Puisi karya Z. Darajatun bertajuk "Meski Sampur Telah Terlipat" seakan mengingatkan publik bahwa rias dan busana penari bukan sekadar sebatas pembungkus tubuh dan torehan karakter di wajah. Tidak pula semata persilangan bentuk dan warna. Ia melekat pada pertunjukan tersebut. Tak mengenal dikotomi pemain utama atau figuran, tapi bisa mendulang takjub atau sebaliknya.
Rias dan busana dapat mengejawantahkan nilai-nilai simbolik dan serangkaian atribut budaya baik dari perspektif identitas, religi, gender, ekonomi hingga politik. Di samping itu rias dan busana bisa menjadi pendukung atau dapat digunakan untuk menitipkan pesan pertunjukan.
Bila ditelisik lebih jauh berbagai pernik rias dan busana dalam seni pertunjukan utamanya memang sangat bersinggungan dengan hampir setiap sudut pandang seni. Baik itu dandanan seturut pakem, bisa dipatok seperti realis, glamour, minimalis, yang jika salah dalam mengaplikasikan bisa merusak kesuluruhan dari jalannya seni pertunjukan. Kadang juga sering dijumpai dialektika antara kreator dan performer (pemain). Misalnya dalam aspek seni teater dengan setting adegan Kerajaan Majapahit idealnya para pemain laki-laki harus telanjang dada dengan kostum gedhogan. Namun karena performer tidak terbiasa telanjang dada, mintanya pakai baju atau surjan yang tentunya lebih proporsional ketika setting ceritanya mengambil kerajaan Jawa mulai dari Demak sampai Mataram. Di sinilah dialektika mulai muncul dalam ranah artistik seni pertunjukan.
Beranjak ke fenomena lain, publik atau penonton bisa jadi terkecoh tatkala busana sang pemain mengantarnya pada citra karakter yang sangat paradoksal. Sebagai misal asumsi penonton melihat dari busananya nampak para pemain seperti tokoh protagonis (baik) tapi setelah menyaksikan keseluruhan dari alur ceritanya ternyata tokoh yang disaksikan berkarakter antagonis (jahat).
Menengarai Pertunjukan
Pada dasarnya busana atau kostum tak lain merupakan pakaian yang dikenakan performer dengan pertimbangan karakter dari seni pertunjukan yang dibawakan. Berbekal dari pengetahuan yang dimilikinya, penonton bisa menengarai sebuah pertunjukan baik itu tradisi maupun kontemporer melalui kostum yang dikenakan. Seperti seni pertunjukan Randai, Reog, Pencak Silat, Lenong, tari, dan sebagainya kentara sekali dari kostum spesifik yang dikenakan oleh para performernya.
Dalam seni pertunjukan tradisi Jawa yang teksnya berangkat dari epos Ramayana dan Mahabharata atau legenda setempat seperti seni tari, kostum memang terikat pada pakem atau konvensi yang dipengaruhi oleh penyusunnya. Sebagaimana tokoh Srikandi, irah-irahan (tutup kepala) yang dipakai harus lanyap (bergerigi) yang menunjukkan karakternya sebagai seorang putri prajurit.
Sedangkan rias wajah merupakan dandanan untuk membentuk wajah manusia menjadi sesuai dengan karakternya. Rias ini fungsinya sangat vital karena mampu menyulap karakter dari bentuk keseharian. Misalnya tokoh pria bisa dirias layaknya wanita atau sebaliknya. Juga orang muda bisa menjadi tua yang harmoni dengan karakter yang dibawakan.
Adapun rias tidak lahir secara instan, melainkan melalui serangkaian proses setelah penata rias bergumul dengan obyek. Ia memahami betul sebuah efek visual bahwa warna gelap (shading) baik itu warna kecoklatan maupun warna hitam bakal memberi impresif menyamarkan, mengurangi, mencekungkan atau mengecilkan. Sedangkan warna terang baik warna putih, silver, maupun warna terang lainnya dapat memberi kesan menonjolkan, menegaskan, meninggikan dan melebarkan.
Penata rias dan busana juga harus memahami ide ataupun pesan yang ingin disampaikan dari koreografer ataupun sutradara sesuai dengan karakterisasinya. Di samping itu penata rias dan busana mesti mengetahui tingkat gerakan para peformernya. Di antaranya, mengupayakan kostum tidak menghambat gerak performer. Juga mencermati apakah kostum nantinya tidak mengganggu gerak performer dalam melakukan peran yang dibawakan.
Oleh karena itu, fungsi rias dan busana itu sangat vital, sebab jika tidak terkontrol dengan baik bisa salah tafsir atau melemahkan isi dari pertunjukan. Gerak ataupun akting yang sudah dipersiapkan berbulan-bulan, bisa gagal hanya karena rias dan busana yang salah. Seorang desainer tentunya akan mempelajari terlebih dahulu detail pertunjukan, latihan, dan konteks pertunjukan. Kostum bagaimanapun rumitnya juga harus membantu semua aspek gerak performer dan membantu mengekspresikan karakternya. Hal itu sudah merupakan keharusan, karena rias dan busana turut andil dalam mempresentasikan karya-karya tersebut, bukan hanya sekadar pembungkus tubuh
Pada prinsipnya dandanan dapat membuat pertunjukan kian hidup dan meneguhkan citra spesifik, sehingga konten pertunjukan lebih bisa berdekatan dengan penonton maupun performer sendiri. Sekali lagi, eksistensinya tidak bisa lepas dari konteks pertunjukan secara menyeluruh.
Maka tak berlebihan bila Alma M. Hawkins ahli tari dari Amerika Serikat dalam bukunya Creating Through Dance (1988) mengekplanasikan bahwa make up wajah, tubuh, tipikal tubuh manusia, sampai dengan gerak jika diintegrasikan akan terjadi perubahan bentuk yang hasilnya menjadi suatu kesatuan yang utuh, unik, dan inovatif.
Dimensi Simbolik
Tidak bisa dinafikan dalam dinamika kehidupannya manusia kerap menyimpan pesan dalam bentuk simbol. Segala sesuatu baik benda material, peristiwa, tindakan, ucapan, atau gerakan manusia yang menandai atau mewakili sesuatu yang lain atau segala sesuatu yang telah diberi makna kerap dikenal dengan sebutan simbol. Dalam balutan simbol, pesan-pesan itu terlanggengkan walau acap menjadi samar. Seni pertunjukan baik itu kontemporer maupun tradisional tak luput dari kostruksi simbol yang melingkupi.
Di kawasan pesisir Jawa Tengah antara lain Brebes, Pati, Pekalongan, Pemalang, dan Tegal dikenal kesenian Laesan. Tak banyak memakai tata rias dan busana dalam seni pertunjukan tersebut. Mereka memakai kostum sehari-hari yang sangat sederhana. Pelaku utama Laesan hanya memakai kain sarung dan ikat kepala tanpa rias wajah. Sementara itu para pendukung lainnya yaitu para penari putri menggunakan rias cantik dengan memakai celana kain sebatas betis kaki warna hitam, kain lereng, kemben dilengkapi dengan rompi hitam dan sampur berwarna kuning,kalung, sabuk, pendhing, dan ikat kepala dari kain berwarna hitam.
Demikian pula dengan para pendukung penari putra, memakai celana kain sebatas betis warna hitam, kain lereng, rompi hitam, sampur berwana kuning, sabuk, dan ikat kepala warna hitam. Pilihan kostum pakaian sehari-hari itu kian menegaskan kesenian Laesan sebagai kesenian tradisional kerakyatan yang hidup di luar istana. Kostum sehari-hari adalah simbol komunitas jelata.
Lain lagi dengan tari-tarian istana seperti, Bedaya, Lawung, Karonsih, dan berbagai bentuk tari wireng, pethilan, sampai sendratari pada umumnya memakai busana glamour dengan ornamen yang berwarna-warni. Di samping itu, rias mengaplikasikan rias karakter yang sudah memiliki standardisasi tersendiri. Misalnya tokoh Kresna menggunakan rias lanyap (dinamis) dengan busana dominan hitam. Tokoh Rahwana dengan rias karakter dhugangan (gagah keras), busana dominan merah membara yang menunjukkan karakter antagonis. Rias dan kostum yang sudah mengenal standardisasi dengan pola rias dan busana baku menunjukkan simbol bahwa tari tradisional klasik berasal dari lingkungan istana.
Maka tak berlebihan bila rias dan busana dapat menandai transformasi individu atau peristiwa terkait dengan berbagai multi aktivitasnya. Sebuah ilustrasi singkat pakaian pengantin adat Jawa mungkin bisa memberi sedikit keterangan. Dalam ritus perkawinan tradisional Jawa, saat dilangsungkan prosesi panggih atau pertemuan, pasangan mempelai mengenakan busana kanarendran atau kasatrian untuk pengantin pria. Sedangkan pengantin perempuan menggunakan busana kaputren. Ada pula jenis busana yang dipakai pengantin yaitu busana basahan. Pada jenis busana ini, pengantin pria hanya menggunakan bawahan berupa kain dodot (panjang terurai) tanpa baju dan memakai penutup kepala yang bernama kuluk. Sedangkan pengantin putri yang membedakan hanya memakai kemben sebatas dada (Budi Setiyono, 2009).
Penting bagi sepasang pengantin Jawa untuk menandai ikatan perkawinan mereka dengan perayaan panggih. Perayaan ini sebagai peristiwa dan pekerjaan kolektif yang menempatkan pasangan pengantin secara imajinatif sebagai sepasang raja dan permaisuri. Pidato-pidato yang mengiringi perayaan menggunakan bahasa Jawa tinggi penuh retorika klise yang berkelok-kelok dilantunkan secara berirama agar terkesan semakin mendekatkan pada masa kebesaran kerajaaan-kerajaan klasik di masa lalu yang kini semakin dijauhi dari kalangan generasi muda.
Prosesi panggih ini tampak lebih merupakan sebuah pergelaran untuk mengekspresikan suatu upacara ritual yang hanya dilakukan selama hidup. Busana telah menjadi alat penandaan atau simbol visual untuk menghadirkan imajinasi ke dalam wujud yang tergelar dan teragakan. Jika salah satu penandaan itu adalah busana kanarendran dan kaputren yang acuannya kerajaan, prosesi panggih telah menjadi situs pergelaran dan peragaan bagi imajinasi tentang zaman keemasan yang diandaikan pernah hadir di masa lampau.
Seiring dinamika perkembangan zaman yang selalu bergulir dalam pusaran waktu, di mana tata rias dan busana menjadi bagian yang tak terpisahkan, berkembang pula usaha ekonomi di dunia tersebut. Terlebih pada grup-grup mapan dan pada event-event khusus seperti festival, lomba, fashion show, jasa dari penata rias dan busana ini sangat dibutuhkan. Bersamaan dengan perkembangan itu, muncul pula sanggar-sanggar kesenian sekaligus menyediakan jasa penyewaan kostum. Di sini menunjukkan bahwa seni itu cair terhadap situasi apapun termasuk gejala ekonomi pasar.
Tak kalah menariknya, dinamika perkembangan zaman ini, memantik berbagai kelompok kesenian untuk melakukan proses kreatif dalam mendesaian busana baru untuk setiap penampilan. Di Kabupaten Magelang, seni pertunjukan tumbuh menjamur di setiap desa. Masing-masing kelompok kesenian berusaha tampil dalam kostum yang inovatif sebagai ajang kompetisi. Sehingga, yang dijadikan sarana bersaing tidak saja keseniannya, tapi juga model busananya.
Dari berbagai fenomena yang berkembang di komunitas kembali ditegaskan, bahwa rias dan busana dalam ranah seni pertunjukan memegang peran yang cukup signifikan. Selain sebagai simbol estetika, ia juga memiliki fungsi yang berkorelasi dengan seni itu sendiri dengan tampilan penuh eksotika yang tak lekang oleh waktu.
Ch. Dwi Anugrah
Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro
Mertoyudan, Kabupaten Magelang
0 Komentar