Hasta Sawanda Sebagai Norma Estetis Seni Tari

Dilihat 5950 kali
Dr. Daryono, S.Kar, M.Hum Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta membawakan Tari Pamungkas di Pendapa Borobudur Art Centre. Penari yang dapat menerapkan norma estetis Hasta Sawanda akan menjadikan tari yang dibawakan mempunyai jiwa.

Sebagaimana diketahui dunia seni khususnya seni tari sampai saat ini berkembang dengan pesat. Terlebih lagi dengan merebaknya berbagai komunitas seni tari, sanggar-sanggar, juga lembaga pendidikan seni menambah lompatan perkembangan seni tari semakin melesat ibarat anak panah lepas dari busurnya.


Khusus untuk seni tari Jawa baik yang tradisional maupun kreasi baru, juga mengikuti perkembangan tari-tari Nusantara lainnya. Dengan semakin berkembangnya seni tari tersebut, khusus seni tari tradisi banyak dari generasi milenial sekarang ini kurang memahami latar belakang historis dari proses penciptaannya termasuk landasan filosofisnya.


Dengan memahami proses penciptaan seni tari tersebut, paling tidak dapat memantik motivasi awal untuk terus memelajari seni tari tradisi sampai kedalamannya sebagai komitmen tanggung jawab moral bahwa seni tari tradisi tersebut harus tetap dipertahankan dan dielaborasikan selaras dengan dinamika zaman.

 

Pencipta Tari Jawa


Dalam catatan historis tari Jawa yang dikenal sampai sekarang, pada garis besarnya terdiri atas tradisi Surakarta dan Yogyakarta. Di samping itu, menurut tradisi sastra yang menyertainya, asal-usul penciptaan selalu dikembalikan pada raja-raja yang berkuasa saat itu, seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Hamengkubuwana, Pakubuwana, Mangkunegara, dan lain-lainnya.


Mereka sebagai tokoh-tokoh besar dalam dinasti Mataram yang dianggap sebagai pencipta tari-tari Jawa yang dikenal sampai sekarang. Hal ini dapat diasumsikan bahwa zaman mulai berdirinya Kerajaan Mataram sampai raja-raja berikutnya merupakan tonggak baru lahir dan berkembangnya seni tradisi tari Jawa (Wahyu Santosa Prabawa, 2002).


Para penguasa tersebut, dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya untuk pengembangan budaya memiliki tenaga ahli atau abdi dalem yang membidangi seni tari. Para ahli tari Jawa istana pada umumnya sudah wawasan ilmunya sudah sampai  mencapai tataran empu sesuai dengan keahliannya yang dimiliki.


Para empu tari Jawa tersebut melakukan ekplorasi sebagai landasan penciptaan melalui proses panjang. Salah satunya adalah munculnya karya kreatif pedoman baku catatan tari tradisi khususnya gaya Surakarta yang dikenal dengan Hasta Sawanda. Merujuk namanya yang berdasarkan etimologinya berasal dari bahasa Jawa, Hasta Sawanda merupakan konsep normatif tentang estetika tari tradisi gaya Surakarta yang setiap variabelnya merupakan prasyarat untuk dilakukan agar memiliki kualitas tari yang ideal.


Adapun dalam Hasta Sawanda tersebut terdapat pedoman baku ketika seseorang akan belajar menari. Kedelapan pedoman baku tersebut masing-masing, yaitu pertama, Pacak, ialah bentuk/pola dasar dan kualitas gerak tertentu yang ada hubungannya dengan karakter yang dibawakan, terutama menyangkut ukuran atau batas-batas kualitas gerak sesuai perwatakan tari dengan motif gerak.


Kedua, Pancad, ialah peralihan dari gerak yang satu ke gerak berikutnya dengan penuh perhitungan secara matang agar enak dilakukan dan dilihat, menyangkut sepak terjang atau peralihan dari gerak yang satu ke gerak yang lain.


Ketiga, Ulat, merupakan pandangan mata dan penggarapan ekspresi wajah sesuai dengan bentuk, kualitas, karakter peran yang dibawakan dan suasana yang diinginkan, sikap pandangan mata dan  ekspresi wajah sesuai dengan perwatakan tari.


Keempat, Lulut, adalah gerak yang sudah menyatu dengan penarinya seolah-olah tanpa dipikirkan lagi di luar kontrol pribadinya sebagai satu keutuhan tari. Kelima, Luwes ialah kualitas gerak yang sesuai dengan bentuk dan karakter peran yang dibawakan.


Keenam, Wiled, adalah variasi gerak yang dikembangkan berdasarkan kemampuan bawaan penarinya yang berkaitan dengan keterampilan, interpretasi, dan  improvisasi. Ketujuh, Irama, yaitu menunjuk pada alur garap  tari secara keseluruhan yang terkait antara hubungan gerak dan iringannya.


Kedelapan, Gendhing ialah penguasaan iringan tari yang di dalamnya menyangkut bentuk-bentuk gendhing, pola tabuhan, raga lagu, irama, tempo, kalimat lagu, dan juga penguasaan tembang maupun vokal.


Kedelapan norma estetis tari tradisi gaya Surakarta ini merupakan kriteria baku yang harus dimengerti dan diterapkan bagi setiap penari yang ingin mencapai kesempurnaan bentuk dan penjiwaan perwatakan tari yang dibawakan.Landasan teoritis norma estetis tari tradisi ini mengikat pada setiap perwatakan tari juga gerak yang menyertainya.


Kepekaan Penari


Norma estetis Hasta Sawanda sebagai aturan normatif dalam bersikap dan bergerak dalam tari, tentunya penari harus memiliki kepekaan yang mengontrol setiap  tata hubungan garak dalam satu motif gerak. Seorang penari yang memahami konsep estetis Hasta Sawanda tentu akan selalu mengontrol hubungan antara sikap dan gerak satu ke sikap dan gerak lain sebagai satu kesatuan estetis.


Hal ini terkait dengan sikap dan gerak badan, kepala, tangan, dan kaki, termasuk kualitas angkatan kaki atau tangan dengan pola keseimbangan tubuh sebagai instrumen ekspresi. Hasta Sawanda sebagai norma estetis tari tradisi merupakan dasar seorang penari untuk mencapai tingkat kualitas kepenarian yang baik.


Dengan memahami norma estetis dalam Hasta Sawanda, penari dapat memadukan berbagai aspek baik itu sikap, gerak, juga karakter yang dibawakan. Karena disadari seorang penari pada dasarnya bukan hanya piawai dalam menggerakkan tubuhnya, namun perlu adanya penekanan dari jiwa tari yang dibawakan tersebut agar luluh dengan dirinya. Lebih jauh lagi, dengan mengaplikasikan konsep Hasta Sawanda seorang penari dapat mengeksplorasi dirinya terpadu dengan jiwa tari tersebut, sehingga dapat berbagi dengan penonton. Kiranya juga perlu dipahami, bahwa seni tari dalam kapasitasnya secara hakiki,  tidak hanya sekadar tontonan, namun juga sebagai tuntunan kehidupan manusia.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar