Menanamkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak Sejak Dini

Dilihat 143 kali

Selain kecukupan gizi, perlindungan fisik, mental, dan kasih sayang, kebutuhan pokok anak yang harus dipenuhi oleh orang tua ialah latihan moral, di antaranya menanamkan disiplin dan rasa tanggung jawab.


Keberhasilan hidup seseorang nantinya amat erat hubungannya dengan cara hidup di masa kanak-kanak. Dengan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab yang tertanam kuat sejak dini, seseorang nantinya akan memiliki harga diri serta nilai-nilai pribadi yang tangguh. 


Nilai-nilai seperti itu merupakan salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin, setidaknya sebagai pemimpin keluarga yang berhasil. Lebih luas lagi, kualitas sebuah generasi antara lain ditentukan oleh nilai-nilai itu. Sebab itu masa kanak-kanak menjadi sangat penting sebagai ajang pembentukan pribadi.


Lalu kapan nilai-nilai kedisiplinan dan tanggung jawab itu mulai ditanamkan? Sebaiknya sedini mungkin, yakni sejak sekitar usia dua tahun. Upaya itu hendaknya terus dilakukan hingga anak menjelang dewasa, atau semasa anak anak masih di bawah bimbingan dan tanggung jawab orang tua. Dengan sendirinya, bentuk dan kualitasnya harus disesuaikan dengan usia anak. Tanggung jawab anak balita berbeda dengan anak usia SD atau remaja. Masing-masing tahap punya bobot yang berbeda-beda.


Ketika anak masih balita, pengenalan nilai-nilai itu bisa diusahakan, misalnya dengan mengajaknya bersama-sama membereskan kembali mainan seusai bermain. Atau, membiasakan agar anak menaruh sepatu atau sandal pada tempatnya. Mengingat usianya, hendaknya orang tua tidak menuntut anak untuk membereskan sekaligus semuanya.


Orang tua tidak patut untuk menuntut terlalu banyak, sebab anak bukanlah orang dewasa mini. Kemampuan fisik dan nalarnya tidak sama dengan orang dewasa.


Pada Dasarnya Egoistik


Pada dasarnya, manusia tidak ingin dikekang dan dibatasi. Kalau bisa, ia akan selalu mendahulukan kepentingan dirinya sendiri. Sifat dasar manusia yang egoistik itu sudah terlihat sejak ia lahir. Sifat dasar itu muncul karena manusia sejak lahir dituntut untuk mampu memperthankan diri terhadap ancaman dari luar (self survival). Itulah sebabnya sedari awal hendaknya manusia diberi pelajaran dan latihan untuk dapat hidup bersama serta menghargai kepentingan orang lain sebagai makhluk sosial.


Namun, acap kali orang tua, ataupun guru melakukan kesalahan dalam cara menanamkan tanggung jawab kepada anak. Mereka memaksa anak melakukan tugas berat yang sebetulnya belum saatnya dibebankan kepada mereka. Jika pemaksaan itu terus dilakukan justru dapat mengganggu perkembangan kepribadiannya. Anak akan mengalami tekanan, bahkan bisa jadi membenci tugas yang pernah diberikan.


Keluarga (orang tua) dan pendidik memegang peranan penting dalam tahap pertama pengenalan anak dengan nilai-nilai kedisiplinan dan tanggung jawab. Pengenalan yang baik dengan disiplin harus berorientasi pada nilai-nilai budaya, agama, maupun nilai kehidupan yang dianggap baik oleh masyarakat dan diyakini sebagai sesuatu yang benar.


Menurut seorang pakar psikolog, Hurlock, disiplin hendaknya ditegakkan dengan cara-cara yang manusiawi, tapi tegas dan berorientasi pada inner growth; self discipline and self control (pengembangan diri, disiplin diri dan pengendalian diri).


Cara-cara lama dalam menegakkan kedisiplinan seperti dengan jalan menakut-nakuti ada hantu, atau binatang buas, tanpa menjelaskan alasan mengapa suatu sikap atau nilai harus diambil, akan kurang berhasil menumbuhkan disiplin atau rasa tanggung jawab berdasarkan pengertian.


Hukuman dan Penghargaan


Ada kalanya dalam menegakkan disiplin pada anak, hukuman ringan sesuai dengan tahap usianya perlu diberikan. Namun perlu diingat, hukuman baru menjadi efektif bila diimbangi dengan penghargaan atau hadiah (reward). Katakanlah seorang anak dihukum tidak boleh main gadget/game seharian karena lupa mengerjakan PR. Tapi lain kali PR nya beres, ia perlu diberi hadiah kecil atau pujian. Lagi-lagi perlu diingat, pemberian hadiah itu jangan sampai menghilangkan makna pengerjaan tugas itu sendiri, melainkan sesuatu bukan karena ingin mendapatkan hadiah atau pujian.


Tidaklah bijaksana memberikan hukuman fisik, misalnya berupa pukulan. Boleh saja memperlihatkan rasa marah atau rasa tidak suka tetapi harus tetap berpegang pada masalahnya. Jangan memarahi anak sambil berbicara keras. Misalnya, Ibu kan capek kalau setiap kali kamu tidak membereskan buku sehabis belajar! Memangnya kamu ini tidak sayang sama ibu, ya?


Ungkapan rasa marah seperti itu tidak relevan dengan persoalannya, sebab tidak ada hubungan antara kata: sayang sama ibu dengan tidak membereskan buku. Jadi, sebaiknya fokuskan kemarahan pada masalah: tidak membereskan buku saja.


Kalau anak belum bisa diajak berdialog karena masih kecil, orang tua misalnya bisa mengangkat dan mendekatkan si anak pada barang yang harus dibereskan. Kalau anak sudah dapat diajak berdialog, komunikasi terbuka akan lebih bermanfaat.


Orang tua yang bertanggung jawab akan berusaha menanamkan pada anaknya perilaku yang dianggap baik dan menghindarkan perilaku yang sebaliknya. Ketika memberikan tugas, saran, atau sejenisnya, hendaknya diucapkan dengan jelas kalimatnya mudah dipahami dan dimengerti sesuai dengan tingkat usia anak.


Tidak jarang terjadi dalam memberikan perintah orang tua membuat bingung anaknya yang masih berusia 5 - 6 tahun. Misalnya si anak diminta untuk membersihkan kamarnya sementara mainan dan bukunya berserakan. Anak bisa menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dia kerjakan lebih dulu: membersihkan kamar, membereskan mainan, atau mengemasi buku.


Kalau situasi seperti itu yang terjadi, orang tua perlu turut membantu dengan memberi saran pekerjaan mana yang harus dilakukan lebih dulu. Misalnya, buku dan mainannya ditaruh dulu pada tempatnya, baru kemudian diminta menyapu lantai, mengelap meja belajar, dan sebagainya.


Dalam memberikan tugas hendaknya ditunjukkan pula sikap bersungguh-sungguh, tidak sambil lalu, supaya anak merasa tugas yang diberikan memang penting sehingga ia tidak malas melakukannya. Akan lebih berhasil apabila orang tua juga memberikan contoh praktis. Misalnya, dalam hal menyimpan mainan, menyusun pakaian di lemari, merapikan tempat tidur, dan lain-lain. Tindakan seperti ini akan lebih mempan ketimbang sekadar perintah.


Setelah anak menerima petunjuk praktis, orang tua hendaknya memperhatikan apakah anak melakukannya dengan giat, sepenuh hati, dan tekun. Sehabis itu, orang tua boleh mengkritik pekerjaan anak yang kurang beres. Efeknya akan jauh lebih menguntungkan apabila yang diperhatikan adalah upaya anak untuk mengerjakannya, bukan hanya hasil akhirnya. Kalau si anak tidak dapat menyelesaikan tugasnya sehari itu, misalnya, biarlah ia meneruskannya keesokan harinya.


Terus Menerus


Sikap disiplin tidak terbentuk secara tiba-tiba, melainkan perlu waktu dan usaha yang disengaja. Ada lima tahap perkembangan disiplin. Tahap yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan usia dan kematangan mental dan moral individu yang bersangkutan.


Pada tahap pertama, disiplin dimiliki seseorang sekadar untuk menghindari hukuman atau sanksi (punishment). Di sini, disiplin masih sering dilanggar bila si pemberi sanksi sedang absen atau bila pelanggaran dapat ditutupi. Pada tahap kedua, disiplin diwujudkan untuk mendapatkan imbalan, misalnya ingin pujian, diberi hadiah, dan sebagainya. 


Pada tahap ketiga, disiplin dijalankan demi disiplin atau aturan itu sendiri. Tahap keempat, disiplin diterapkan berdasarkan kesadaran bahwa untuk hidup bermasyarakat setiap anggota perlu mengikuti aturan yang dilandasi kepentingan bersama lebih dari kepentingan perorangan. Orientasinya adalah orientasi sosial antarmanusia.


Pada tahap kelima atau yang tertinggi, disiplin diwujudkan oleh kebutuhan internal dari dalam diri sendiri karena disiplin sudah mengalami proses internalisasi yang sempurna. Disiplin bukan lagi semacam kekangan. 


Pembatasan atau kekangan yang tadinya dipaksakan dari luar setelah melalui proses pembiasaan dan panutan dari orang tua, guru, atau pemimpin masyarakat, telah mengalami transformasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya sendiri. Di sini, disiplin dilaksanakan dengan penuh kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab. Untuk menanamkan disiplin yang mendarah daging seperti itu tentu perlu proses atau waktu yang panjang. Hal itu harus dimulai sejak dini.


Upaya untuk membuat suatu hal menjadi kebiasaan memang harus dilakukan berulang-ulang. Karena itu jangan pernah berhenti untuk mengingatkan dengan cara yang sabar, penuh kasih sayang, dan pengertian. Inilah kunci pengantar agar anak menjadi manusia berdisiplin dan penuh rasa tanggung jawab yang tinggi. Semoga.


Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar