DALAM berbagai pertemuan guru, baik pada saat MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) atau forum diskusi sering muncul topik menarik, yang pada umumnya para guru mengeluhkan berbagai kasus pada saat mendampingi peserta didik, terutama mereka yang mengajar di sekolah favorit. Mereka mengeluhkan kebijakan zonasi yang harus menerima peserta didik dengan potensi kualitas beragam. Lain halnya dengan beberapa tahun sebelumnya, mereka dengan mudah dapat memilih peserta didik berkualitas, karena ketika masuk sudah ada regulasi yang sudah ditentukan oleh sekolah.
Dari faktor psikologis memang terjadi ketidaknyamanan. Para guru merasa tidak nyaman karena kemapanan dan kenyamanan yang mereka rasakan selama ini terusik. Sekolah dengan kualitas baik memiliki ekspetasi tinggi. Guru yang terbiasa hanya mengelola peserta didik pandai dan bermotivasi tinggi akan mengalami frustasi ketika berjumpa dengan dengan peserta didik dengan kualitas akademis yang jauh dari ekspetasi mereka. Jika kultur ini terus dilanggengan, dapat diyakini bahwa sekolah yang baik kualitasnya malah semakin tereduksi.
Tanpa tebang pilih
Apabila dikaji secara akuratif, pada substansinya selaras dengan tujuan pendidikan, guru seharusnya mengajar dan mendidik peserta didik tanpa tebang pilih atau pilih kasih. Dalam satu sekolah sebagai satuan pendidikan kiranya perlu melakukan sebaran karakter dan peta potensi peserta didik yang beragam baik akademis maupun non akademis. Dengan sebaran merata di tiap-tiap kelas maka akan terjadi proses saling melengkapi antar pribadi peserta didik.
Sebaliknya, bila di satu sekolah hanya berisi peserta didik pintar saja, guru akan lebih banyak dimudahkan dan disenangkan dalam mengajar. Guru hanya mendampingi dan memfasilitasi saja pokok bahasan materi yang akan diberikan. Untuk kelas pintar, materi pelajaran lebih mudah diterima mereka.
Hal itu tidaklah aneh, karena mereka sudah dapat fondasi kuat di sekolah sebelumnya atau di lembaga-lembaga bimbingan belajar karena memiliki kemampuan finansial untuk kursus di lembaga-lembaga favorit. Untuk mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, tentu kemampuannya tidak sebanding. Mereka tidak banyak memiliki kelengkapan fasilitas. Apalagi ikut bimbingan belajar tambahan yang harus mengeluarkan biaya tidak sedikit.
Sebagaimana ditegaskan dalam Penelitian Carl Glickman bertajuk Supervision of Instruction (1995), bahwa tidak terdapat pengaruh berarti dengan menempatkan peserta didik dalam suatu kelas berdasarkan kemampuan akademis yang mereka miliki. Dalam penelitian tersebut juga menegaskan dengan menempatkan peserta didik berkualitas tinggi dalam satu kelompok, hasil dari progres belajarnya tidak berpengaruh signifikan. Banyak terjadi kebosanan, karena mereka merasa tidak berada dalam kelompok yang diperhitungkan, dan bertemu dengan teman-teman yang homogen dalam tataran kapabalitasnya.
Sebaliknya kelas dengan peserta didik beragam kemampuan akademisnya justru akan memunculkan kompetisi yang berdampak positif. Mereka juga akan terpacu untuk belajar keras karena ada model teman sebaya. Iklim kompetitif positif akan tercipta dengan sendirinya. Di samping itu, empati mereka untuk mendampingi teman sebaya yang memang kurang mampu dalam penguasaan materi akan terbangun.
Mengedepankan empati
Adapun kelas beragam juga akan menciptakan situasi yang saling berempati. Kepedulian untuk saling berbagi akan tumbuh. Sikap saling tolong menolong terhadap mereka yang membutuhkan akan menjadi pemantik dalam mengedepankan jiwa sosialnya untuk saling melengkapi baik kelebihan maupun kekurangannya. Untuk itu, sikap empati atau bela rasa perlu menjadi perhatian utama, karena sekolah sering kurang memerhatikan aspek yang sangat fundamental tersebut.
Implikasi empati merupakan fondasi dari semua interaksi relasi antarmanusia. Dengan berempati memantik jiwa seseorang untuk merasakan kondisi emosional orang lain. Ketika menaruh kepedulian pada orang lain, nantinya akan mengalir relasi akrab dengan orang lain. Imbasnya akan terbangun kekuatan untuk selalu peduli pada sesama.
Sikap empati baik untuk guru maupun peserta didik pada saat ini semakin dibutuhkan di tengah semikin menipisnya sikap kepedulian bangsa terhadap sesama. Keberhasilan pendidikan tidak hanya dilihat dari hasil akhir saja, namun proses merupakan aspek yang sangat elementer, karena dalam proses akan terbangun nilai-nilai keutamaan yang dirasakan oleh peserta didik dan guru. Dengan tumbuhnya sikap empati, maka secara alami, jiwa mereka akan terbangun untuk membantu orang lain yang membutuhkan dengan mengesampingkan ego pribadinya.
Sekolah sebagai satuan pendidikan tempat penyemaian tunas-tunas muda ini, seharusnya melakukan inovasi pembelajaran yang bertumpu pada penguatan pendidikan karakter, agar nilai-nilai karakter tersebut dapat dimiliki oleh semua peserta didik. Di sini peran guru dalam menumbuhkan sikap empati ini sangat siginifikan. Bisa dilakukan oleh semua guru mata pelajaran. Adapun kiatnya dapat dilakukan dengan alternatif, antara lain mengingatkan peserta didik saat terjadi perilaku atau kejadian insidental dengan cepat tanpa menunda waktu.
Pada dasarnya sekolah tidak hanya mendidik peserta didik yang sudah pandai, tetapi mendidik semua peserta didik dengan tingkat kemampuan seperti apa pun. Dalam hal ini, sekolah bukan hanya sekadar menjadikan peserta didik pandai, tetapi juga mengasah hati agar mereka peka terhadap lingkungannya. Dengan mengasah hati, nantinya dalam proses dinamika perjalanan waktu, kepekaan mereka terhadap lingkungan akan bertumbuh dan nilai humanioranya secara alami akan terasah.
Dengan demikikian, semua guru selalu diingatkan untuk mendampingi peserta didik dengan penuh ketulusan hati harmoni dengan tuntutan kompetensi profesional yang terus melekat dalam dirinya. Kepercayaan orang tua kepada sekolah dalam mendampingi putra-putrinya untuk menggapai cita-citanya jangan disia-siakan. Jiwa-jiwa muda tersebut perlu diasuh dengan hati agar tercipta pribadi yang utuh.
(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)
0 Komentar