Menelisik Tradisi Seni Topeng

Dilihat 2844 kali
Seni topeng merupakan warisan budaya yang dapat dimaknai secara komprehensif baik dari aspek filosofis, seni pertunjukan, maupun seni rupa.

Kelompok komunitas tradisional di berbagai belahan dunia ini pada umumnya memiliki tradisi topeng yang kuat. Implikasinya tradisi budaya topeng yang berhubungan dengan unsur-unsur magis dan mitologi. Dalam hal ini suatu benda topeng tidak hanya sebagai benda seni saja, tetapi lebih dari itu juga merupakan media  yang digunakan manusia di dalam fungsi-fungsi ritualnya. Topeng tersebut digunakan di wajah untuk memberikan penonjolan, distorsi wajah, dan untuk membangkitkan emosi selama upacara ritual berlangsung, baik itu upacara berburu, festival, dan pertunjukan-pertunjukan teatral di dalam suatu peristiwa budaya.


Dalam kaitannya dengan jenis-jenis topeng untuk upacara ritual, oleh komunitasnya dipercaya memiliki kekuatan magis tertentu. Pemakainya pun juga orang-orang yang memiliki kekuatan suparanatural  tertentu. Berdasarkan penelitian Roy Sieber dalam Mask as Agents of  Social Control (1966) menegaskan di Benua Afrika kekuatan magis suatu topeng dapat menghentikan peperangan antara kelompok suku dan mampu menciptakan suatu perdamaian di antara mereka. 


Demikian pula jenis-jenis topeng yang disakralkan oleh para suku Indian di Amerika Utara. Di Indonesia sendiri masih ada beberapa suku yang menggunakan topeng-topeng sakralnya untuk upacara tertentu, misalnya untuk mengusir wabah penyakit, hama tanaman, ataupun dalam upacara-upacara kematian.


Di masyarakat suku Batak dikenal dengan sebutan huda-huda atau gundala-gundala yaitu tarian topeng sebagai simbol nenek moyang mereka dalam menuju surga. Di Kalimantan dalam masyarakat Dayak Kenyah dan Modang di tepi Sungai Mahakam, juga mengenal budaya topeng yang disakralkan dengan sebutan hudo. Figuratif bentuk topeng hudo merupakan gaya deformasi figur burung yang berfungsi untuk melawan raksasa-raksasa penyebar  penyakit. Tradisi-tradisi topeng ritual ini, walaupun ada unsur teatralnya tetap saja memiliki nuansa-nuansa kesakralannya.


Tradisi Seni Pertunjukan


Dalam tradisi seni pertunjukan topeng di Jawa Tengah dikenal dalam sebutan wayang topeng atau drama tari topeng. Di Madura dikenal disebut dengan topeng dheleng, di Jawa Barat disebut topeng dhalang. Namun ada pula yang menyebut drama tari topeng diharmonikan dengan daerah asalnya seperti Topeng Cirebon, Topeng Malang, Topeng Jabung, dan sebagainya. Wayang topeng atau drama tari topeng di Jawa membawakan cerita Panji, yaitu peristiwa yang menceritakan kisah pengembaraan Panji Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggalamanik.


Fungsi topeng sebagai seni pertunjukan, terutama di Jawa telah dikenal sejak zaman keemasan Kerajaan Majapahit dengan istilah raket. Raja Hayam Wuruk sendiri dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prancanca tercatatat sebagai penari topeng yang handal. Maka tak mengherankan kalau dramatari topeng itu menjadi seni pertunjukan kegemaran para bangsawan kerajaan. Karakter-karakter dalam pertunjukan itu disebut-sebut istilah shori (karakter pria), tekes (karakter wanita), dan gitada (penyanyi). Dengan demikian istilah shori diidentikkan dengan tokoh Panji, tekes untuk Galuh Candrakirana, dan gitada untuk tokoh pembantu yaitu Bancak (Soedarsono: 1984). Sampai sekarang tutup kepala tekes tersebut menjadi ciri spesifik semua bentuk dramatari topeng di Jawa dan Bali dengan cerita Panji sebagai episodenya.


Perkembangan Signifikan


Perkembangan tradisi seni topeng sebagai seni pertunjukan terus berlanjut secara signifikan sampai pada periode peralihan Hindu ke Islam, terutama munculnya kerajaan Demak pawa awal abad ke-16. Periode ini dianggap sebagai titik perubahan yang cukup signifikan untuk tradisi topeng sebagai seni pertunjukan. Tradisi topeng pada masa ini kemudian dikenal sebagai tradisi  Sunan Kalijaga yang dikenal di kalangan seniman Jawa disebut Pangeran Pedhalangan. Pada masa inilah terbentuknya figur-figur topeng di Jawa yang dikenal sampai sekarang. 


Untuk pertunjukan wayang topeng yang pertama Sunan Kalijaga membuat sembilan topeng, yaitu untuk tokoh-tokoh Panji Kasatriyan, Candrakirana, Gunungsari, Andaga, Raton (Raja), Klana, Danawa (raksasa), Turas (sekarang Penthul atau Bancak), dan Renco (sekarang Tembem atau Dhoyok).


Untuk figur-figur topeng klasik di Jawa lebih merujuk pada figur-figur wayang kulit dengan segala patronnya. Karena dalam historis seni pertunjukan Jawa, Sunan Kalijaga di samping dikenal sebagai pencipta seni topeng Jawa juga dikenal sebagai pencetus wayang kulit Jawa sebagai media syiar agama Islam.


Di dalam perkembangannya, di samping tetap merujuk pada karakter dalam wayang kulit, seni topeng juga berinterakasi dengan perkembangan tari Jawa pada umumnya. Sedangkan tipe karakternya pun juga merujuk pada tari Jawa. Misalnya, di dalam tari Jawa dikenal terdapat tiga karakter pokok gaya tari yang terkait erat dengan teknik-teknik gerak tarinya, yaitu karakter putra gagah, putra halus, dan putri.


Di dalam teknik geraknya disparitas ini ditandai oleh volume cara bergeraknya, stressingnya, dinamika, tempo maupun gerak langkah-langkahnya. Pada setiap  karakter gerak tertentu harus juga menggunakan bentuk karakter topeng yang sesuai. Di dalam figur topeng Jawa, karakter topeng putra gagah ditandai oleh bentuk hidung yang tebal dan lebih besar daripada putra halus.


Bentuk mata topeng putra gagah berbentuk bundar dan berkesan melotot, sementara  putra halus dan putri cenderung bergaris memanjang dan sempit. Sedangkan pewarnaan juga memiliki simbol-simbol karakter tertentu. Untuk topeng putra gagah misalnya dengan warna merah, terutama untuk tarian Klana Sewandana. Sementara itu untuk karakter Panji dengan warna kuning emas, Gunungsari dengan warna putih, dan yang lain misalnya warna hijau muda kuning dan sejenisnya.


Dengan demikian dapat dimaknai bahwa dimensi seni topeng memiliki keunikan tersendiri yang dapat dilihat dari berbagai persepektif baik filosofisnya, aspek seni rupa, maupun, seni pertunjukan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar