DALAM kurun waktu yang dapat dikatakan lama hingga melintas beberapa generasi, seni pertunjukan tradisional, sampai saat ini masih tetap eksis di tengah komunitas pendukungnya. Walaupun disadari, dengan berbagai dinamika yang ada di dalamnya, pasang surut seni pertunjukan tradisional tersebut pasti ada. Kadang dalam satu kurun waktu, dinamikanya menunjukkan progress yang signifikan, karena dapat diamati dari meningkatnya volume kegiatan maupun pementasan. Sebaliknya ada juga yang seperti mati suri, ramainya aktivitas kalau bersamaan dengan hari-hari besar nasional atau kalau menjelang ada pementasan.
Seperti halnya seni pertunjukan ketoprak, sebagai salah satu seni pertunjukan teater tradisional. Ketoprak merupakan sebuah bentuk teater yang bercerita dengan unsur utama dialog, tembang, dan komikal (adegan menghibur). Pelakunya terdiri atas pria dan Wanita. Sedangkan pertunjukannya diiringi dengan karawitan atau gamelan Jawa. Durasi pertunjukannya berkisar empat sampai enam jam.
Dalam dialog tersebut para pemain menggunakan bahasa Jawa. Para pemain dalam berdialog selalu berpedoman pada naskah atau penuangan naskah yang dibuat oleh sutradara. Dialog-dialog itu merupakan komunikasi yang menarasikan suasana keseharian dalam kehidupan terkait dengan cerita yang ditampilkan.
Semisal, cerita diambil dari berdirinya Candi Borobudur, tentunya dialog berkisar dengan suasana keseharian ketika Dinasti Syailendra memegang kendali kekuasaan. Seperti dialog antara Raja Samaratungga dengan putri semata wayangnya Dyah Pramudyawardhani yang meminta agar putrinya dapat memelopori para wanita di seluruh kerajaan untuk mendukung berdirinya bangunan suci yang diidam-idamkan berdiri kokoh di Kerajaan Syailendra.
Adapun bahasa pengantar untuk berkomunikasi antar tokoh memiliki beberapa tingkatan. Untuk berkomunikasi raja atau keluarga bangsawan menggunakan bahasa Jawa krama inggil atau tataran tinggi. Lain halnya komunikasi antara raja dengan para senapati atau pejabat di bawahnya menggunakan bahasa Jawa ngoko (tataran rendah). Bahasa Jawa ngoko ini juga digunakan untuk komunikasi sesama tokoh rakyat biasa.
Sebagai bentuk kesenian, ketoprak merupakan teater rakyat yang mengetengahkan cerita-cerita atau lakon yang berkembang di masyarakat dengan dibumbui pesan-pesan moral, sehingga banyak nilai-nilai budaya kearifan lokal yang dapat digali. Untuk itu sudah sewajarnya, apabila cerita-cerita yang sarat akan pesan moral dalam seni pertunjukan ketoprak layak digali kembali, sehingga muatan yang terkandung dalam balutan semiotika cerita tersebut dapat terangkat ke permukaan (Sumaryadi, 2019).
Sumber Penulisan
Sebagai suatu bentuk seni pertunjukan teater tradisional, cerita-cerita yang disajikan dalam ketoprak pada umumnya sudah melekat erat dan akrab dengan kehidupan komunitas pendukungnya. Fenemona tersebut tidak lepas dari beberapa sumber penulisan yang menjadi rujukan dalam menggarap cerita tersebut.
Sumber sejarah digunakan sebagai sumbe penulisan lakon atau cerita dengan parameter, ketika tokoh, setting, dan peristiwa di dalam cerita secara faktual memang benar-benar ada dalam sumber data historis. Sebagai contoh, cerita Airlangga, Runtuhnya Singhasari, Sumpah Palapa Gajah Mada, Pangeran Mangkubumi, dan cerita-cerita lainnya.
Sumber babad digunakan sebagai sumber penulisan cerita, ketika di dalam cerita tersebut terjadi penggabungan antara mitos dan sejarah. Mitos merupakan bagian dari suatu folklor atau cerita rakyat yang berupa kisah berlatar masa lampau, mengandung interpretasi tentang alam semesta, serta dianggap benar-benar terjadi oleh penganutnya. Sebagai mitos, tentu cerita tersebut tidak ada fakta sejarahnya. Namun ketika cerita tersebut dikemas menjadi lakon ketoprak, biasanya mitos tersebut dikorelasikan pada cerita sejarah. Sebagai contoh, cerita Babad Tanah Jawi, Nyai Roro Kidul, Pangeran Timur, dan lain-lainnya.
Sumber legenda digunakan sebagai sumber penulisan cerita ketoprak yang dominasinya banyak mengambil dari cerita tutur yang berkembang di masyarakat. Contoh dari sumber legenda di antaranya, Dumadine Rawa Pening, Dumadine Gunung Merapi, Bandung Bandawasa, dan banyak sumber cerita babad lainnya.
Sumber carangan dipakai sebagai rujukan ketika cerita diambil sejatinya hanya sebagai cerita fiksi atau rekaan. Cerita fiksi selain dapat murni kreasi pengarangnya sendiri, juga dapat karena adaptasi dari cerita yang sudah ada. Sebagaimana dapat juga diambil dari ide orang lain, film, atau novel. Hanya saja, pada umumnya antara cerita carangan murni dan adaptasi terdapat diferensiasi. Untuk carangan murni penulis atau sutradara diperbolehkan mengganti nama tokoh-tokoh sentral. Sedangkan dalam carangan adaptasi yang disinergikan dengan data sejarah, tidak diperkenankan mengganti nama-nama tokoh dalam cerita tersebut, seperti Multatuli, Rara Mendut Pranacitra, Ki Ageng Mangir, dan sebagainya.
Dari sumber-sumber penulisan tersebut, sutradara dapat mendesain kemasan seni pertunjukan agar menarik. Kalau mengambil cerita pada masa Kerajaan Hindhu atau Buddha seperti Majapahti, setting panggungnya dapat dibuat menarik seperti lukisan candi bentar atau gerbang istana. Juga kostumnya dapat dibuat dengan model gedog seperti dalam wayang orang. Sedangkan kalau mengambil cerita pada masa Kerajaan Islam tentunya kostum yang dikenakan pemain, mamakai kostum kejawen, seperti surjan, beskap, ikat kepala wulung, dan sebagainya.
Tantangan Menarik
Pada dasarnya sumber penulisan naskah ketoprak manjadi bagian yang paling esensial dari penyajian seni pertunjukan yang sudah melegenda tersebut. Kiranya menjadi tantangan menarik, Kabupaten Magelang memiliki cerita ketoprak yang menjadi branding. Seperti sejarah berdirinya Kabupaten Magelang. Untuk itu, peran pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat memfasilitasi agar ide tersebut dapat terealisasi. Langkah-langkah awal dapat dilakukan dengan mengumpulkan para pakar sutradara ketoprak dari beberapa kelompok kesenian di Kabupaten Magelang dalam workshop penulisan naskah.
Pasca workhosp mereka diwajibkan untuk mendesiminasikan ke kelompoknya dalam aksi nyata. Hasil dari desimanasi mereka, dapat diaktulisasikan dengan festival ketoprak se-kabupaten, sehingga aksi nyata mereka dapat dilihat publik. Dengan langkah-langkah tersebut, tentunya Kabupaten Magelang memiliki cerita lokal dalam kemasaan seni pertunjukan ketoprak yang dapat juga menjadi ajang promosi.
Pada dasarnya tantangan tersebut perlu dicoba. Sudah saatnya Kabupaten Magelang memiliki cerita lokal yang dapat menjadi branding atau unggulan. Kita tidak akan sampai pada tujuan tanpa mengawali dengan langkah pertama yang penuh optimisme.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang
0 Komentar