Menginterpretasi Kurikulum

Dilihat 117 kali
Guru perlu lebih kreatif dalam menginterpretasi kurikulum agar tujuan pembelajaran dapat tercapai terutama dalam mendampingi peseta didiknya

SUNGUH menarik berita dari media nasional Kompas (17/4/2024) yang memberitakan bahwa perubahan kurikulumdalam sistem pendiikan masih menyisakan persoalan. Hal itu, di antaranya terkait dengan kesiapan dan kepabilitas guru mengimplementasikan di ruang kelas secara bermakna dan berkualitas. Masih banyak guru yang belum terbiasa membaca kurikulum resmi secara nasional yang diimplementasikan dengan kemampuan mengkreasi dengan kreativitasnya sendiri.

Menyikapi hal tersebut, kiranya guru perlu menyikapi dengan jeli, bahwa kurikulum yang dicanangkan secara nasional tersebut perlu dielaborasikan dan diselaraskan dengan kondisi riil di sekolah sebagai satuan pendidikan. Kurikulum bukan merupakan pedoman yang memiliki harga mati, namun merupakan pedoman dinamis yang dimaknai secara holitistik  dengan tujuan agar proses pembelajaran dapat berjalan nyaman, kondusif, dan terprogram.

Phobia Berkepanjangan

Pada umumnya ketika pemerintah mencanangkan revisi atau perubahan kurikulum guru banyak yang was-was atau merasa terbebani. Hal itu dikarenakan mereka sudah berada di zona nyaman, manakala ada kebijakan baru meresa meras terganggu dan ujung-ujungnnya muncul phobia atau perasaan ketakutan  berkepanjangan.

Dalam pelaksanaan kurikulum Guru memiliki prean sentral dalam penerapan kurikulum serta menjadi ujung tombak bagi keberhasilan kurikulum menegaskan bahwa guru hendaknya melakukan kerja-kerja kolektif untuk menerapkan kurikulum dengan prinsip tanpa mengurangi kebebasan individu setiap guru. Dalam hal ini guru perlu lebih tanggap terhadap segala elaborisi dari kurikulum tersebut.  

Untuk kita kiranya jangan panik dengan munculnya revisi kurikulum. Bila dirunut sebenarnya hakikat kurikulum itu sama yaitu  suatu rencana yang sengaja disusun untuk melancarkan proses kegiatan belajar mengajar yang ada di bawah naungan, bimbingan, dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan. Sedangkan guru dalam kurikulum tersebut berfungsi tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana kurikulum sesuai dengan kurikulum yang berlaku, tetapi juga sebagai pengembangan kurikulum dalam rangka pelaksanaan kurikulum tersebut.

Dalam catatan historis, mulai dari kurikulum 1979, 1984, Berbasis Kompetensi, KTSP, sampai kurikulum merdeka subsansinya sama yaitu agar proses pembelajan dapat lebih  bermakna dan melibatkan peserta didik secara aktif. Sedangkan guru, lebih berfungsi sebagai fasilitator bukannya sebagai sumber  belajar yang serba tahu segala-galanya.

Sebagai guru penulis tidak pernah was-was atau panik dengan perubahan kurikulum tersebut. Semua  diambil perspektif positif saja. Dengan adanya revisi kurilulum, guru lebih ditantang untuk lebih mengoptimalkan budaya literasi. Karena dengan kemampuan literasi, takbir gelap dapat lebih tersingkap. Skala prioritasnya tak lain yakni, pahami substansinya, bikin modul sendiri sebagai media pembelajaran, dan elaborasikan kurilum tersebut dengan stategi pembelajaran kontekstual.

Di samping itu, guru perlu lebih menekankan pada pendekatan partisipatif dalam mengimplemtansikan pembelajaran di kelas sesuai dengan sistem among yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Berdasarkan etimologinya, Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu momong dengan makna membimbing dengan kasih tulus. Dalam Sistem Among ini, unsur asah, asih, asuh amat kuat untuk mengantarkan agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang jiwa kemerdekaannya.

Dalam Sistem Among ini, guru juga perlu memiliki pemikiran untuk selalu bertumbuh dan belajar terus  sepanjang hayat. Belajar merupakan aktualitas diri yang perlu dimiliki oleh seorang guru. Di samping itu, guru juga perlu untuk selalu menyegarkan dan mengelaborasikan pengetahuan yang dimiliki. Sudah dapat dipastikan akan ketinggalan kereta kalau guru hanya terpaku pada pengetahuan yang dimiliki ketika masih kuliah. Dinamika perkembangan  ilmu pengetahuan dalam hitungan hari  saat ini melaju pesat bagaikan menembus batasan ruang dan waktu.  Pengetahuan saat ini mudah didapatkan hanya dalam genggaman gawai. Kalau guru tidak segera menyesuaikan diri, tentu nantinya dalam tataran praksis saat mengajar akan mengalami kerepotan dan tertinggal jauh dengan peserta didiknya (Dwi, 2023).  

Kompetensi Teknis

Pada saat ini, untuk mengimplementasikan kurikulum  diperlukan kualifikasi lebih dari seorang guru. Di samping memiliki kompetensi keguruan juga perlu memiliki kompetensi teknis dalam mengaplikasikan teknologi pembelajaran. Semuanya itu bisa dipelajari dalam tahapan proses. Adapun yang perlu diperhatikan, preparasi mengajar seorang guru tidak hanya sekadar ditunjukkan dari penguasaan sains dan keterampilan mengajar, namun perlu juga dicermati sejauh mana usaha dan kreativitasnya untuk menyerap kultur keguruan di era kekinian yang penuh dengan dinamika tanda-tanda zaman. Kiranya sudah tidak relevan lagi, menerapkan basis pengetahuan ketika kuliah, dengan era saat ini yanag jauh sudah berubah. Untuk itu kreativias menjadi pemantik yang sangat dominan.

Namun yang perlu diingat,  ketika perangkat teknologi sudah dikuasai, jangan malah lalai dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan. Bila hal itu dialnggengkan akan menjadi bumerang sendiri. Prinsip yang mendasari tujuan utama menjadi guru adalah komitmennya untuk memberikan transfer pengetahuan juga transfer nilai agar peserta didik menjadi pribadi utuh harus tetap menjadi komitmen yang tak tergoyahkan. Secanggih-canggihnya teknologi, tak dapat menggantikan peran guru sebagai agen perubahan yang juga sudah dibekali dengan pengetahuan pedagogi selama belajar baik ketika kuliah maupuan belajar dari pengalaman mendampingi peserta didiknya.

Sebagaimana yang diharapkan Ki Hadjar Dewantara bahwa dengan segala perubahan yang terjadi, substansi pendidikan tidak akan berubah, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan memelajari dan mengelaborasikan kehidupan sepanjang hayat baik dalam ranah lingkup mikrokosmos maupun makrokosmos.

Kembali lagi perlu menjadi bahan refleksi, guru jangan panik terdapat semua perubahan kurikulum, karena substnasi kurikulum itu pada dasanya sama, yaitu agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Tentunya kreativitas guru dalam menginterpretasikan kurikum tersebut perlu dibangun dengan  menumbuhkan semangat optmisme.


 Penulis : Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar