Pembentukan Manusia Seutuhnya dengan Penguatan Pendidkan Hati dan Dimensi Akhlak

Dilihat 135 kali

KEJUJURAN, kesetiaan, tanggung jawab, rajin bekerja, ulet tidak mudah putus asa, kepedulian, dan taqwa adalah nilai-nilai kehidupan. Seseorang disebut bernilai apabila memiliki sikap dan perbuatan  yang baik, yang benar, dan sedap dipandang atau yang indah. Kesadaran  tentang nilai menjaga dan memelihara supaya eksistensi manusiawi itu tetap berada pada tingkat kemanusiaan, maksudnya tidak sembarangan atau tidak asal-asalan tanpa perasaan toleransi (tanpa memperhatikan orang lain). Perbuatan yang tanpa memperhatikan orang lain adalah tindakan serakah, yaitu perbuatan yang biasa dilakukan oleh yang bukan manusia atau oleh binatang.  Dikatakan, bahwa hati nurani adalah penjumlahan dari pengertian tentang nilai dalam pribadi manusiawi, sedangkan kepribadian itu adalah kenilaian yang tertinggi.

Tugas mulia pendidikan (baik formal di sekolah, informal di keluarga, dan non formal di masyarakat) adalah mengembangkan manusia sebagai  khalifah Tuhan di dunia. Menjadikan anak bangsa atau generasi penerus sebagai subjek yang sempurna, sebagai manusia yang bermartabat, sebagai manusia yang memiliki harga diri mencapai tingkat harkat kemanusiaan. Yang hendak dijadikan subjek yang sempurna bukanlah berupa fisik, angan-angan atau perasaan, melainkan hati nurani.

Jiwa atau hati adalah pusat dari eksistensi manusia. Jiwa sebagai pusat kesadaran manusia yang mensubjek manusia harus disempurnakan. Oleh sebab itu yang perlu diperhatikan dan sangat penting untuk dilakukan adalah pendidikan hati, meliputi keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.

Ada tiga dimensi akhlak; (a) pertama dimensi etos atau dimensi moral, yaitu tentang apa yang boleh, apa yang tidak boleh dan apa yang sebaiknya dilakukan; (b) Dimensi patos, yaitu tentang semangat, tentang tidak putus asa, tentang pemberani, dan tentang kemandirian; (c) Dimensi Kepribadian, yaitu tentang sikap dan perilaku. Manusia disebut subjek yang sempurna jika tiga dimensi akhlak ini dimilikinya. Ini dimungkinkan  oleh pendidikan hati atau qolbu.

Pendidikan hati sangatlah penting, baru kemudian pendidikan pikir. Pendidikan pikir yaitu pendidikan yang mengarah kepada bagaimana manusia berkeompeten, bagaimana manusia terampil, bagaimana manusia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sangat tidak tepat jika pendidikan hati atau qolbu sebagai secondary important atau hanya sebagai pelengkap saja dari pendidikan pikir.

Ki Hadjar Dewantara (1986;77) mengingatkan bahwa mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik kita, supaya mereka kelak menjadi menjadi manusia yang berpribadi beradab dan susila. Menurut beliau adab atau keluhuran budi menusia itu menunjukkan sifat batinnya manusia, misalnya keinsyafan tentang kesucian, kemerdekaan, keadilan, ketuhanan, cinta kasih, kesetiaan, kesenian, ketertiban, kedamaian, kesosialan, dan sebagainya. Kesusilaan atau kehalusan itu menunjukkan sifat hidup lahirnya manusia yang serba halus dan indah dengan kata lain luhur berakhlak mulia.

Secara kodrati manusia adalah kalifatullah atau wakil Allah, bertanggung jawab menularkan akhlak Allah, hasillah akhlakmu dari sifat-sifat baik yaitu dari sifat Allah itu sendiri. Salah satu sifat Allah yang harus ditularkan adalah kasih. Kasih itu sabar, murah hati, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan tingkah laku yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak menyukai ketidakadilan dan selalu menyukai kebenaran.

Untuk meningkatkan martabat manusia, di samping pendidikan hati dan pendidikan pikir, diperlukan pendidikan raga, bagaimana manusia itu bisa mengembangkan perasaan yang sensitif yaitu sensitif terhadap kehalusan perasaan dan keindahan. Hidup itu indah, sebab jika tidak menghayati, melihat, merasakan dan menikmati bahwa  hidup itu indah, maka akhirnya yang timbul adalah mala petaka, antara lain berselisih paham dengan orang lain. Tetapi jika berpendapat bahwa hidup itu indah, hilanglah sikap bersaing  yang tidak sehat, hilanglah sikap cemburu dan iri hati, sehingga bersama orang lain berdampingan hidup harmonis. Berbeda pendapat adalah warna kehidupan, yang harus diterima sebagai keindahan dalam hidup.

Sensitifitas terhadap kehalusan perasaan dan keindahan akhirnya dikembangkan apresiasi yang terwujud dalam ucapan syukur. Ucapan terima kasih yang tulus atas campur tangan Tuhan di dalam kehidupan kita. Apa pun yang kita alami, kita rasakan selalu ditanggapi dengan ucapan syukur. Ucapan syukur tersebut diekspresikan dengan berbuat amal, bersadakoh, berbuat baik untuk orang lain. Pakailah talenta yang kita miliki untuk melayani orang lain. Hidup itu sangat indah jika kita bisa membuat orang lain senang, kita bisa melayani mereka.

Untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, tidak kalah pentingnya adalah pendidikan raga. Pendidikan jenis ini tidak kalah pentingnya dengan tiga jenis pendidikan yang diungkapkan di atas, bagaimana pun juga hidup manusia itu berbasis fisik. Manusia hidup karena ada darah yang secara teratur mengalir, ada zat kimia tertentu yang keseimbangannya pas dalam darah, ada napas, dan lain-lain berkenaan dengan organ-organ yang bersifat fisik. Fisik harus dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya.

Pendidikan hati, pendidikan pikir, pendidikan rasa, dan pendidikan raga, diperlukan oleh generasi penerus agar hatinya sempurna, otaknya cemerlang dan terampil bekerja, perasaannya lembut, sensitive, apresiatif, ekspresif, dan badannya sehat sehingga jadilah manusia sempurna, Insan Kamil. Lebih dikenal sebagai membentuk manusia seutuhnya. Semoga.

 


Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak-Kabupaten Magelang.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar