Mendengar kata pengkhianat, yang terlintas dalam benak kita adalah seseorang dengan karakter jahat, bermuka dua, mengumbar keburukan dan kelemahan negara atau teman kepada pihak lawan, untuk mencari keuntungan pribadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengkhianat didefinisikan sebagai orang yang khianat, orang yang tidak setia kepada negara atau teman sendiri. Sehingga makin jelas bahwa sosok pengkhianat adalah sosok yang berbahaya dan perlu diwaspadai. Dengan kelicikannya, segala rahasia negara atau pribadi seseorang akan diketahui pihak lain dan akan dimanfaatkan untuk menyerang dan mencemarkan nama baik mereka.
Namun, ada sosok yang dianggap sebagai pengkhianat, padahal dia sebenarnya adalah gambaran seorang yang teramat bijaksana. Dia membela lawan, tapi sejatinya dia sedang dalam upaya menumbangkan angkara murka. Sebuah keputusan berat namun harus dijalani, setelah melalui pemikiran dan pertimbangan yang teramat panjang dan matang. Karena, berbagai upaya untuk menyadarkan kakandanya atas kesalahan besar yang telah diperbuat, ternyata hanya sia ââ¬â sia belaka, bahkan membuat sang kakak menjadi murka.
Gunawan Wibisana
Sosok ini pastinya tak asing lagi dalam kisah pewayangan Ramayana. Terlahir sebagai putra bungsu Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi, dari negeri Alengka. Dialah satu-satunya putra dengan wujud manusia sempurna, memiliki wajah rupawan, pikiran cerdas dan berbudi pekerti luhur. Berbeda dengan ketiga kakaknya yang berwujud raksasa, yakni Rahwana, Kumbakarna dan Sarpakenaka. Beristrikan seorang bidadari bernama Dewi Triwati, serta memiliki seorang putri cantik dan berbudi luhur, Trijata, yang dikenal sebagai penjaga Dewi Sinta di taman Argasoka, serta seorang putra bernama Bisawarna.
Ketika Rahwana berulah menculik Dewi Sinta, Wibisana merupakan salah seorang yang menentang perbuatan kakak tertuanya itu. Ia berkali-kali meminta agar Rahwana mengembalikan Dewi Sinta kepada yang Rama, namun nasihat itu ditentang habis-habisan. Raja Rahwana dikenal sebagai sosok yang keras kepala, selalu merasa benar, ambisius, haus akan kekuasaan, mudah tersulut amarah dan apa yang dikehendaki harus terpenuhi. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya yang keras bagai batu.
Sampai tiba pada suatu kejadian besar yang mengejutkan bumi Alengka, yakni ketika Ramawijaya mengirimkan duta, seekor kera putih bernama Anoman, untuk memastikan keberadaan dan keadaan Dewi Sinta. Peristiwa Anoman obong, tidak membuat Anoman mati terbakar, namun justru membuat Alengka menjadi lautan api. Semua hangus, kecuali istana Wibisana dan taman Argasoka, tempat Dewi Sinta berada. Sebelum dibakar hidup-hidup, Anoman berpesan kepada Wibisana yang mati-matian membelanya, untuk memberikan tanda di atap istananya, agar selamat dari bahaya kebakaran.
Dari peristiwa tersebut, kembali Wibisana meminta dengan sangat kepada Rahwana agar mengembalikan Dewi Sinta kepada Ramawijaya. Dengan menyembah takzim, ia melakukan berbagai cara, menyampaikan berbagai masukan, dengan harapan Rahwana mau mengerti, agar Alengka terbebas dari peperangan besar. Namun yang terjadi, Rahwana murka. Ia mengutuk dan mengusir Wibisana dari Alengka serta menganggapnya sebagai pengkhianat bangsa
Dengan berat hari Wibisana pergi, meninggalkan bumi Alengka yang sangat ia cintai, setelah berpamitan kepada ibundanya, Sukesi. Melalui pertimbangan dan pemikiran panjang, ia memutuskan untuk memihak Ramawijaya beserta pasukan kera. Biarlah dia dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Yang ada dalam pikirannya adalah ia harus ikut menumbangkan angkara murka yang membahayakan kehidupan dunia, meski yang dilawannya adalah kakak kandungnya sendiri.
Menegakkan kebenaran menumbangkan angkara murka
Kesungguhan Wibisana membantu Ramawijaya, dimulai dari upayanya mendirikan jembatan penghubung, untuk menyeberangi samudera. Dialah yang memberitahukan perihal banyaknya prajurit raksasa penjaga lautan Alengka. Mereka segera ditumpas, karena merobohkan tanggul yang dibangun susah payah oleh pasukan kera untuk membandung samudera. Dengan kesaktiannya, terwujudlah sebuah jembatan yang memudahkan pasukan kera menyeberang lautan dan kemudian mendirikan perkemahan di Suwelagiri.
Ketika meletus perang besar, keberadaan Wibisana pada pihak Ramawijaya benar-benar sangat menguntungkan. Banyak sekali informasi berharga yang disampaikan oleh Wibisana, mengenai seluk beluk negara Alengka, serta titik-titik lemah para prajurit unggulan Alengka. Bahkan ketika Rama beserta pasukan kera nyaris tewas oleh panah Indrajit, Nagapasa dan Wimanasara, Wibisanalah yang mengatasi. Ia memiliki ilmu penangkal dan dia pula satu-satunya yang terbebas dari marabahaya.
Gugurnya perwira perang unggulan negeri Alengka, yakni Sarpakenaka, Kumbakarna, Indrajit dan Mahapatih Prahasta, memaksa Raja Rahwana turun ke medan pertempuran. Ketangguhan, kegagahan dan kesaktiannya tampak jelas terpampang ketika bertempur di medan perang. Namun pada akhirnya, angkara murka harus tumbang dan lenyap dari muka bumi. Rahwana gugur di medan laga, di bumi Alengka Diraja, tanah kelahirannya.
Gunawan Wibisana menghampiri dan menyembah jasad Rahwana yang ia cintai. Ia menangisinya dari hati terdalam. Ia menyesalkan mengapa upayanya untuk menyadarkan kakak kandungnya diabaikan, bahkan berujung pengusiran dari istana Alengka.
Dengan berat hati, Gunawan Wibisana menerima amanah sebagai pengganti Rahwana, untuk naik tahta memimpin negeri Alengka. Dari Ramawijaya, ia mendapatkan bekal ilmu pedoman seorang raja, yang dulu pernah diajarkannya kepada adiknya, Bharata yang menggantikannya bertahta di negeri Ayodya. Ilmu tersebut berdasarkan peneladanan karakter 8 (delapan ) sosok dewa, yang tabiat dan pekertinya perlu diteladani, terutama bagi seorang pemimpin. Ajaran tersebut dikenal sebagai Astha Brata.
Pertama, raja harus memiliki pekerti seperti Dewa Indra, yang memiliki sifat seperti air, rata, tidak pilih kasih, menyejukkan dan menyegarkan siapapun yang disentuhnya. Kedua, Dewa Yama, yang menegakkan keadilan, menghukum yang durhaka dan menganugerahi yang berbakti. Ketiga, Dewa Surya, yang memberikan penerangan dan kekuatan, kehidupan dan penghidupan. Keempat Dewa Candra, yang pekertinya meresapkan hati dan penglihatan, pandai mengasuh budi pekerti dan kecerdasan berpikir.
Kelima, raja harus memiliki pekerti seperti Dewa Bayu, yang waspada, penuh pengamatan pada yang tampak dan tak tampak. Keenam, Dewa Kuwera, yang tekun mencari penghidupan, dan pandai memertahankan kehidupan bersih jasmaninya, hatinya terbuka seperti udara yang sanggup memuat segala yang masuk dalam ruang lingkupnya. Ketujuh, Dewa Baruna, yang bagai samudera luas tak bertepi, lapang dada, pandai menyimpan yang buruk dan kotor. Kedelapan, Dewa Agni, yang tegas, tidak pandang bulu, membasmi yang menghalangi dan merintangi ( Pratikto : 1983 ).
Tumbangnya Rahwana, memunculkan harapan baru akan terwujudnya kedamaian dunia. Angkara murka, terkalahkan oleh kebaikan dan kebijaksanaan (Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti). Sikap semena-mena, ego yang tinggi serta mengunggulkan kekuatan dan kekuasaan, hanya menimbulkan kesengsaraan dalam hidup. Sebuah pelajaran berharga, bahwa seorang pemimpin, semestinya mengedepankan cinta damai, kebijaksanaan, serta terbuka akan berbagai masukan yang positif dan membangun, agar terwujud kehidupan bernegara yang tentram dan sejahtera.
Widia Himawan, Pengolah Informasi Media pada Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Magelang
0 Komentar