Penguatan Literasi Karakter Peserta Didik

Dilihat 1693 kali

Oleh: P. Budi Winarto, S.Pd*)


LITERASI atau kemelekan merupakan istilah umum yang merujuk kepada serangkaian kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan karakter adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia (Wikipedia.org). Jadi, literasi karakter adalah kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan sikap batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki oleh manusia.

Sejauh manakah literasi karakter mendapatkan tempat yang sesungguhnya dalam mengimplementasikan kurikulum merdeka yang saat ini sudah diberlakukan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia? Apakah kita sedang membangun sekolah untuk lebih mengenal pengetahuan namun tidak mengenal kehidupan nyata dengan segala dinamikanya? Ataukah kita sedang membangun kehidupan di sekolah untuk menjadikan pengetahuan sebagai modal berharga untuk menjadi pribadi yang cerdas, berkarakter, dan beriman? Untuk itu penguatan literasi karakter peserta didik melalui implementasi kurikulum merdeka mendesak untuk dilakukan. Sebab literasi karakter akan membentuk sebuah peradaban cinta kasih yang inklusif, lintas batas, dan membebaskan.

Mari kita sejenak melihat realita yang terjadi di dunia pendidikan kita akhir-akhir ini. Hari demi hari dunia pendidikan kita dikejutkan oleh berbagai macam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh peserta didik. Kekerasan semakin marak dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan verbal, yang seolah-oleh membenturkan kita pada dua budaya kehidupan ini: sekolah untuk budaya kematian ataukah sekolah untuk budaya kehidupan, pengampunan dan belas kasih. Sekolah penting untuk kehidupan yang berlangsung seumur hidup, dan bukan sekadar tempat meraih prestasi serta ijazah, sebagai pembuktian de jure tentang masa waktu belajar.

Sejauh mana literasi karakter itu mendapat tempat dalam penyelenggaraan persekolahan kita? Terutama dalam implementasi kurikulum merdeka? Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk kembali menemukan benang merah, antara kehidupan nyata dengan praktik persekolahan, ketika generasi muda kita menemukan living values. Ada dua hal menarik yang bisa ditemukan di sini. Pertama, sekolah, dan dunia pendidikan apapun, tidak boleh melupakan literasi karakter, ketika perjumpaan formal di bangku sekolah, bersifat terbatas waktu, sedangkan kehidupan dengan segala perjuangannya hingga akhir, tidak pernah bersifat terbatas waktu. Kedua, tekanan pada kecerdasan kognitif dan perspektif tunggal prestasi dan prestise sebagai kebanggaan orang tua, keluarga, dan masyarakat. Tekanan yang begitu besar, sebagai sebuah ekspektasi tinggi telah menguras energi kehidupan anak manusia untuk mengalami hidup yang lebih ceria, riang, dan menyenangkan. Prestasi sebagai sebuah simbol puncak dari pendidikan formal harus mendapatkan keseimbangan pada pembentukan manusia seutuhnya. Hidup tidak saja melulu pada nilai di atas kertas, melainkan pada nilai di atas hidup konkret, sehingga pendampingan dan bimbingan kepada peserta didik menjadi sangat strategis.

Ada tiga mentalitas yang dapat memengaruhi kehidupan generasi muda, yakni hedonism, materialism, dan konsumerisme serta penyimpangan seksualitas atas martabat tubuh. Arus zaman yang semakin modern telah menyiapkan begitu banyak kemudahan untuk menikmati begitu banyak hal, dan satu jebakan besar ketika generasi muda tidak bisa mengontrol dirinya dan tenggelam dalam sikap hura-hura, kehilangan daya juang serta hidup bersenang-senang tanpa perjuangan. Benturan kehidupan itu pun Nampak ketika generasi muda terbuai pada materi-materi kehidupan, barang-barang yang bagus dan pada gilirannya terikat pada materi, tidak produktif dan tidak mengenal kerja keras dan ketekunan. Pembunuhan karakter positif ini sudah dimulai pada dua fase ini. Penyalahgunaan tubuh sebagai sarana untuk memuaskan nafsu, menjadi seksualitas dipenjara dalam dimensi biologis. Generasi muda terjebak dalam seks bebas, dan menyangka itu sebagai penyaluran kebebasan hidupnya sebagai manusia. Tubuh kehilangan martabatnya, ketika ia disalahartikan dan disalahgunakan.

Presiden Jokowi membangun sebuah gerakan revolusi mental, dan hal ini persis menjadi sebuah pergulatan pendidikan karakter. Gagasan besar Presiden Jokowi menghadapkan kita pada kerinduan akan Living Values, ketika keluarga, masyarakat dan juga lembaga pendidikan menjadi wadah yang sangat strategis untuk meletakkan dasar ini. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter membawa rakyat Indonesia pada mimpi besar gerakan revolusi mental pada masa kini. Ide-ide besar Presiden Jokowi diterjemahkan dalam penguatan pendidikan dan literasi karakter, dengannya lembaga pendidikan mulai memperjuangkannya dengan gigih. Sungguh sangat menarik melihat variabel pembentukan karakter sebagai harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Gagsasan dan prkatik pendidikan ini menjadi begitu berarti bagi masa depan bangsa.

Bagaimana dengan idealisme dunia pendidikan? Idealisme dunia pendidikan mengenai penguatan literasi karakter harus menjadi mimpi besar, mimpi bersama dan terutama menjadi gerakan bersama seluruh komponen bangsa. Di tengah gempuran globalisasi ketidakpedulian, virus hedonisme serta radikalisme atas nama agama, pergulatan literasi karakter harus mendapatkan perhatian segenap pelaku dunia pendidikan. Literasi karakter tetaplah sebuah dunia luas, pada hutan rimba ide dan praktik kehidupan. Hal-hal sederhana dalam kehidupan bisa mengajarkan keutamaan kehidupan. Mari melangkah bersama untuk meningkatkan dan menguatkan literasi karakter generasi muda kita menjadi manusia seutuhnya melalui implementasi kurikulum merdeka. Semoga.


*)Penulis Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar