Sebenarnya sangat menarik bila kita mau mendengar dan memaknai apa yang diungkapkan oleh Sartono Kartodirjo mengenai historiografi Indonesia. Bahwa penulisan sejarah Indonesia pada umumnya lebih mengedepankan pandangan orang dalam (pribumi) dalam memahami dan memaknai apa yang ada dan terjadi dalam kultur komunitasnya.
Paling tidak dalam konteks pemikiran Sartono terkandung cara pendekatan yang berbeda dari apa yang telah dilakukan oleh para sejarawan Indonesia sebelumnya. Pada umumnya penulisan sejarah yang dilakukan oleh para sejarawan terdahulu mudah diprediksi.
Kelangkaan tulisan
Sebut saja tulisan RM Soedarsono yang telah menjadi acuan wajib para peneliti baik di lingkungan akademisi ataupun komunitas umum. Di samping itu juga ada beberapa tokoh internasional yang concern pada kesenian di antaranya Claire Holt, James R. Brandon, Th. Pigeaud, dan Raffles. Selain itu ada beberapa praktisi sejarah dan budayawan yang telah menulis sejarah biografi para tokoh seniman abad ke-20, seperti biografinya Gendhon Humardani, Martopangrawit, Rusman, I Mario, Nartosabdho, Tjetje Sumantri, dan lain sebagainya.
Bukan berarti tidak menghargai pada penulis-penulis sebelumnya dan memandang rendah jerih payah mereka. Persoalannya bukan itu. Namun bila diamati secara jeli, memang kurang ada perimbangan bila yang ditampilkan hanya memuat sepenggal atau rentetan kisah besar atau faktu besar tanpa pernah mengangkat kisah-kisah atau fakta-fakta yang kecil. Karena perlu disadari, dari kisah kecil inilah yang kemudian akan mengantarkan pada kisah besar.
Dengan meminjam teori dekonstruksi, sejarah memang tidak hanya berarti penulisan masa lalu yang ditulis oleh dan atas nama penguasa atau politik kekuasaan. Namun, bisa juga diinterpretasikan sebagai aktivitas merombak sistem, cara pandang, pendekatan dan penulisan sejarah kesenian yang baru. Tentunya diharapkan tulisannya lebih utuh, lengkap, komprehensif, serta dapat memberi pencerahan baru dengan disertai pertanggungjawaban ilmiah yang rasional. Karena, pada dasarnya ilmu sejarah merupakan cabang ilmu humaniora yang selalu memiliki rentang waktu, baik masa kini maupun masa depan.
Kadang yang perlu dikritisi adalah terkait dengan generalisasi data. Meskipun disertakan uji analisisnya, seperti asumsi penari Ronggeng yang ditulis Raffles dalam The History of Java (1965) yang mengulas bahwa terminologi Ronggeng terbentuk dari kata wrong dan gang sebagai tanda untuk memberi stigma rendah suatu profesi perempuan yang sudah turun temurun di Pulau Jawa ini. Apakah benar pemaknaannya begitu kalau kita runut dari komunitas Ronggeng sendiri yang sampai saat ini diyakini oleh komunitas setempat para penari Ronggeng itu sebagai pembawa berkah kesuburan dan sudah menjadi milik komunal ?
Perimbangan penulisan
Kasus lain, tak jarang dijumpai kecenderungan penulisan yang lebih mengedepankan seorang tokoh lantaran kekuasaan, kepemimpinan, kharisma, tanpa pernah mengungkap korelasi atau peran pelaku-pelaku lain yang terlibat langsung di dalamnya. Bagaiman mungkin kita akan tahu karya seni yasan Dalem (ciptaan raja) kalau karya tersebut cukup hanya dicipta oleh sang raja tanpa pernah berpikir tokoh-tokoh siapa pelaku-pelaku kecil yang terlibat dalam proses penciptaaan tersebut.
Adapun hal lain, kondisi data oral belum banyak diungkap sebagai bagian dari sejarah kesenian Indonesia. Bagi sebagian kelompok etnis di Indonesia mungkin kesulitan atau tidak mempunyai data literer yang komprehensif mengenai sejarah kesenian yang mereka miliki.
Mereka tahu sejarah, hanya mengandalkan ingatan yang ditularkan dan digariskan secara turun temurun kepada generasi yang lebih muda. Mereka kebanyakan menggunakan simbol-simbol yang dipakai oleh para pendahulunya dalam mengungkapkan asal-usulnya. Dengan banyak realita yang muncul di lapangan, apakah berarti mereka tidak mempunyai sejarah yang layak ditulis sebagai obyek sejarah?
Di sinilah perimbangan penulisan sejarah kesenian layak menjadi bahan pertimbangan. Sekarang ini sangatlah dibutuhkan penulisan sejarah kesenian yang tidak lagi terfokus pada satu perspektif kepentingan tertentu, melainkan yang mampu mengakomodasi segala lapisan kepentingan dalam komunitas yang pluralis.
Penulisan sejarah kesenian diharapkan mampu membuka ruang penggalian data terkait dengan pemikiran yang tersimpan dalam khalayak masyarakat dari semua lapisan. Dengan kata lain penulisan sejarah kesenian harus mampu mengangkat data-data lama yang terpendam. Selain memperhatikan aspek kesinambungannya baik yang terjadi sekarang maupun prediksi dan sasarannya bagi masa depan.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Jogonegoro, Kec. Mertoyudan
Kabupaten Magelang
0 Komentar