Sekejap Viral! Kecepatan Akses Informasi dan Pengaruhnya Terhadap Sentimen Publik

Dilihat 118 kali

Bayangkan kejadian kecil di sebuah daerah yang jauh dari kita tinggal seperti seorang guru menegur murid, pedagang menolak uang receh, atau petugas melakukan kesalahan kecil saat bertugas. Dulu, peristiwa semacam itu hanya akan jadi cerita dari mulut ke mulut, mungkin dibicarakan di warung kopi atau forum RT, lalu menguap begitu saja.


Kini video 10-15 detik saja dapat menjadi viral dalam hitungan menit dan disaksikan jutaan orang, menyebabkan pro dan kontra di berbagai platform media sosial. Bahkan tanpa tahu latar belakang utuhnya, publik bisa membentuk opini, menyuarakan kecaman, atau justru memberi dukungan semuanya dalam waktu yang sangat cepat.


Perbedaan Zaman: Dari 2010 ke 2020-an


Di tahun 2010, informasi masih relatif "tertahan". Mayoritas orang Indonesia saat itu mengakses internet melalui desktop atau warnet, dan media sosial masih didominasi oleh Facebook dengan konten teks dan foto. Twitter baru mulai berkembang, Instagram baru lahir, dan koneksi internet masih 3G.


Kita masih sering mengandalkan berita dari media televisi atau portal berita yang terkurasi. Informasi menyebar lambat dan biasanya sudah melewati proses penyuntingan.


Bandingkan dengan sekarang:

  1. Koneksi internet cepat sudah merata hingga pelosok,
  2. Hampir semua orang punya smartphone,
  3. Platform seperti TikTok dan X (dulu Twitter) menyebarkan informasi secara instan dan mentah tanpa penyaringan.


Kini, bukan media resmi yang jadi sumber pertama berita, tapi warganet. Video, foto, bahkan tangkapan layar bisa langsung dikirim, disebar, dan dibentuk narasinya secara bebas bahkan terkadang buas.


Kecepatan Menyamai Emosi: Informasi Memicu Sentimen Publik


Dengan kecepatan informasi saat ini, opini publik bisa terbentuk sebelum kebenaran sepenuhnya terungkap. Ini yang menyebabkan banyak peristiwa berkembang jadi viral karena sentimen emosional yang menyertainya rasa marah, lucu, kesal, atau simpati. Seperti contohnya, seorang petugas parkir memarahi pengunjung direkam dan disebar. Dalam waktu singkat, warganet mulai menghujat, tagar provokatif bermunculan, bahkan tuntutan yang dilayangkan agar ia diberhentikan. Belakangan baru diketahui ada konteks penting yang hilang. Faktanya pengunjung ditegur karena parkir di depan pintu ruko sehingga pemilik ruko terhalang untuk melakukan loading barang.


Sentimen publik kini terbentuk tidak hanya berdasarkan fakta, tetapi berdasarkan fragmen informasi yang tersebar cepat dan emosional. Dampaknya sangat nyata, citra seseorang bisa jatuh atau naik dalam sekejap


Di era ini, reputasi bisa hancur dalam sehari atau sebaliknya, seseorang bisa jadi pahlawan dadakan hanya karena satu unggahan. Bagi tokoh publik, pejabat, selebritas, bahkan lembaga pemerintahan, ini adalah tantangan besar. Karena publik tidak lagi menunggu klarifikasi resmi, mereka membentuk opini dari komentar netizen dan video singkat yang tersebar luas.


Itulah mengapa banyak instansi dan figur publik kini mulai memantau sentimen online secara real-time, melalui alat pemantauan media sosial atau sistem "sentiment analysis".


Sebagai masyarakat digital, kita harus menjadi konsumen informasi yang cerdas. Berikut beberapa langkah mudah yang dapat kita ambil:


  1. Jangan langsung membagikan sesuatu hanya karena judul yang menarik atau potongan video, tunda reaksi emosional Anda.
  2. Cari sumber lain, pastikan konteks lengkap dan sumber berita jelas.
  3. Pahami bahwa semua orang bisa salah, bukan semua kesalahan layak viral dan dihukum publik.
  4. Gunakan kekuatan digital untuk mendidik, bukan menghakimi.


Informasi Sekarang Tak Bisa Ditahan, Tapi Bisa Dikelola


Di era 2020-an, informasi tidak bisa dicegah untuk menyebar, tapi kita bisa memilih bagaimana meresponnya. Jika dulu kita bicara tentang siapa yang paling cepat menyampaikan kabar, sekarang kita harus bicara tentang siapa yang paling cerdas menyikapi kabar tersebut. Karena di balik setiap klik dan bagikan, kita sedang membentuk opini kolektif yang bisa berdampak besar. Jadi, mari gunakan kecepatan ini bukan untuk membakar, tapi untuk menerangi.


Nida Muna Fadhilla, Freelance Programmer

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar