Studi Relokasi Korban Erupsi Merapi

Dilihat 685 kali
Kajian Studi Relokasi Korban Erupsi Merapi dan Potensi Kearifan Lokal "Living Harmony with Disaster"

BERITAMAGELANG.ID-Berbicara mengenai potensi bencana di Kabupaten Magelang, tidak pernah lepas dari adanya ancaman bencana erupsi Merapi. Sebagaimana dilansir dalam Berita Magelang tanggal 8 Desember 2023, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menginformasikan bahwa pada Jumat (8/12/2023) telah terjadi 7 kali awan panas guguran yang mengarah ke Barat Daya atau ke arah Kali Krasak. Aktivitas Merapi juga dinyatakan meningkat akhir-akhir ini oleh BPBD Kabupaten Magelang sehingga masyarakat tidak diperkenankan melakukan kegiatan apapun di daerah potensi bencana.


Peningkatan aktivitas Merapi merupakan pengingat bagi semuanya bahwa ancaman bencana erupsi itu akan selalu ada. Untuk itu upaya mitigasi dan kesiapsiagaan harus selalu dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat Kabupaten Magelang. Berkaitan dengan hal tersebut, pada hari Jumat (15/12/2023) Bappeda dan Litbangda bekerjasama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) co working space Borobudur melakukan kajian dengan judul Studi Relokasi Korban Erupsi Merapi dan Potensi Kearifan Lokal "Living Harmony with Disaster" bertempat di Studio Bappeda dan Litbangda Kabupaten Magelang.


Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan pada saat penelitian, korban erupsi Merapi dapat dipilah menjadi dua kelompok besar yaitu korban bencana primer berupa erupsi dan korban bencana ikutan berupa banjir lahar hujan. Penanganan korban kedua macam bencana ini juga berbeda dan dapat disusun menjadi sebuah model. Bagi korban erupsi, penanganan dalam jangka pendek dilakukan melalui program inovasi Sister Village atau program desa bersaudara.


Adapun penanganan jangka panjang untuk korban erupsi terbagi menjadi dua yaitu pertama dikembalikan ke tempat tinggal semula saat kondisi aman dan kedua relokasi bagi masyarakat yang daerah tempat tinggal semulanya sudah tidak mungkin untuk ditinggali. Selanjutnya untuk korban bencana lahar hujan, sebagian besar daerah tempat tinggal semula sudah hilang sehingga tidak mungkin lagi untuk kembali ditempati sehingga solusi penanganannya adalah relokasi.


Ketua Penelitian dari BRIN, Hartis menyampikan bahwa dari hasil penelitian terdapat berbagai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dalam menyikapi adanya ancaman bencana erupsi Merapi.


"Masyarakat di KRB III lebih memilih untuk hidup berdampingan dengan bencana dengan berbagai alasan baik karena alasan ekonomi maupun sosial," jelas Hastin.


Lebih lanjut Hastin menyampaikan bahwa warga di KRB III sudah mengetahui adanya ancaman bencana erupsi di lokasi tempat tinggalnya namun tidak mengikuti program relokasi karena tidak ada kepastian mata pencaharian nantinya apabila berada di tempat relokasi. Di samping itu, warga juga berpendapat bahwa hidup berdampingan dengan bencana sudah dilakukan turun temurun dan tidak ada masalah. Warga juga mengaku siap untuk menerapkan protap dalam mitigasi bencana. Berbagai kearifan lokal untuk mencegah terjadinya bencana juga dilakukan oleh warga seperti menjaga kelestarian alam yang dianggap sebagai tameng dan melestarikan tradisi/budaya yang dipercaya dapat menjaga alam dari kejadian bencana.


Menurut Hastin, pengetahuan warga akan bencana dan strategi mitigasi yang dilakukan oleh warga sudah cukup bagus. Bahkan ada satu desa yang menerapkan tabungan bencana sebagai langkah antisipasi untuk menyediakan biaya operasional nantinya saat terjadi bencana erupsi dan warga harus mengungsi.


"Living Harmony with Disaster adalah kearifan lokal yang dipilih masyarakat di KRB III dalam menyikapi ancaman erupsi Merapi. Hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana menciptakan kesiagsiagaan untuk menghadapi kalau erupsi nanti terjadi," pungkas Hastin.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar