BERITAMAGELANG.ID - Lebih dari 2.000 wisatawan asing mengunjungi Candi Borobudur setiap hari. Hampir seperlima dari total jumlah penduduk Desa Borobudur.
Pada puncak musim liburan, jumlah harian kunjungan wisatawan bisa melonjak 2 hingga 3 kali lipat. Selama periode menjelang perayaan Waisak 2024 misalnya, jumlah turis yang datang diperkirakan menyentuh angka 60.000 orang.
Tapi kali ini kita tidak akan menghitung berapa jumlah perputaran uang yang dihasilkan dari sektor wisata Borobudur. Kami tertarik pada interaksi turis dengan warga, terutama bagaimana ekosistem itu membentuk sosok pendiri Desa Bahasa Borobudur, Hani Sutrisno.
Guide Partikelir di Kaki Candi
Sejak kecil Hani Sutrisno akrab dengan habitat para pedagang rincih yang beradu nasib di kaki Borobudur. Mengacung-acungkan kartu pos di tangan, usianya saat itu baru belasan.
"Saya mulai jualan asongan itu blas nggak bisa bahasa Inggris. Saya nawari kartu pos itu sambil teriak-teriak: 'Mister-mister buy me'," kata Hani sambil tertawa geli mengingat masa kecilnya.
Saat itu pedagang asongan, tukang foto keliling, dan gaet wisata partikelir, masih bebas jualan dan menawarkan jasa hingga ke dekat candi. Sambil membantu kakaknya menjaga lapak jualan di kantin Borobudur, Hani mulai turun mengasong.
"Bapak meninggal saat saya kelas 2 madrasah ibtidaiyah. Saya bantu kakak jaga lapak jualan di kantin Borobudur untuk tambahan uang jajan. Pulang sekolah atau hari Sabtu-Minggu saya jualan kartu pos," kenangnya.
Sebagai anak baru, dia sering dikasari pedagang lainnya. Lingkungan yang keras membentuk karakter Hani menjadi pribadi yang ulet.
Setelah lanyah mengasong, Hani remaja memberanikan diri ikut-ikutan menjadi guide freelance. Padahal saat itu kemampuan bahasa Inggris-nya masih minim.
"Bahasa Inggris saya saat itu sangat terbatas. Saya minta brosur Borobudur dari Dinas Pariwisata. Saya hafalin Inggris-nya. Modalnya gitu aja. Turis asing juga nggak ada yang komplen," ujar Hani.
Belajar Praktis Bahasa Inggris
Dari situ dia belajar bahwa penguasaan bahasa asing bersifat praktis. Teori rumit beserta tetek bengek-nya, bisa dikesampingkan asal bahasa bisa dipahami oleh kedua pihak yang berkomunikasi.
Sekitar tahun 1998, setelah merasa cukup lihai cas cis cus berbahasa Inggris, mister Hani membuka kursus di rumahnya di Dusun Parakan, Desa Ngargogondo. Murid di Simple English Course (SEC) sekitar 40 anak dan tidak dipungut biaya.
Sebagai penduduk lokal, dia merasa warga Borobudur harus bisa mengambil manfaat dari potensi pariwisata. Kendala bahasa menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan.
Lucunya, setelah pulang dari meguru ke Kampung Inggris Pare jumlah murid malah terus berkurang. Hanya tersisa 3 anak yang bertahan.
Memberi sesuatu secara gratisan kadang menghilangkan motivasi belajar. Peserta kursus di Pare rata-rata tamatan SMA. Mereka yang masih kuliah, bahkan rela cuti.
Mereka punya motivasi dan keinginan belajar yang kuat. Tidak hanya harus membayar, bahkan banyak peserta kursus di Kampung Inggris Pare datang dari tempat-tempat yang jauh.
"Baik boleh, tapi jangan terlalu baik. Akhirnya saya kembali lagi berusaha menciptakan hal-hal baru. Jadilah kita punya different dan bertahan sampai saat ini," ungkapnya.
Hani Sutrisno mengembangkan metode belajar bahasa Inggris dengan cara yang menyenangkan. Dia menciptakan lebih dari 140 metode belajar cepat sekaligus happy.
Dari mulai program English Revolution for Children yang cocok untuk anak-anak sekolah dasar, hingga live in program di Desa Bahasa Borobudur.
Desa Bahasa juga punya program 6 hari hingga 10 hari belajar. Program intensif ini bertujuan menambah kosakata, kemampuan ngobrol, dan meningkatkan kepercayaan diri berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Jatuh-Bangun Kampung Inggris
Tahun 2013 Hani mulai membangun Desa Bahasa Borobudur sebagai wahana praktik metode belajar bahasa. Dia melibatkan warga Desa Ngargogondo untuk menyediakan tempat menginap.
Saat ini tersedia 49 kamar homestay yang bisa disewa para peserta kursus. Menambah pendapatan sedikitnya 20 kepala keluarga di sekitar kompleks Desa Bahasa.
Merintis ekosistem usaha bersama bukan perkara mudah. Berkali-kali Hani Sutrisno harus sabar memberi pemahaman soal standar pelayanan tamu wisata.
"Homestay warga, dulu kita banyak dikomplain tamu. Mereka nginap kasurnya keras. Kamar mandinya pakai kloset nggak standar. Kapasitas warga untuk beli kloset kan memang yang tidak berkualitas," terangnya.
Pelan-pelan Desa Bahasa Borobudur membenahi diri. Hani mengajukan bantuan CSR ke Bank Rakyat Indonesia untuk membenahi 49 kloset homestay.
Meyusul mencari bantuan pengadaan 69 kasur sehingga dapat memenuhi standar penginapan.
"Tapi kadang masih ada masyarakat yang nyebeli. Sudah dikasih, kasurnya masih minta diantar. Ada juga yang tempatnya nggak mau ditempati. Mereka bilang, 'siapa yang mau nginap di sini? Semut?'," selorohnya.
Menghadapi warga yang nyinyir, Hani Sutrisno tak bergeming. Dia membuktikan makin lama tamu yang datang dan menginap di homestay warga semakin banyak.
Membantu Ekonomi Warga
Meski jumlah tamu homestay turun-naik mengikuti musim liburan, rata-rata lima kamar terisi pada hari-hari biasa. Desa Bahasa memprioritaskan tamu agar menginap di homestay milik penduduk kampung.
"Selagi peserta kursus mau tinggal di rumah penduduk, kami prioritaskan menginap di rumah warga. Saya kan sudah dapat dari kursusnya. Doa mereka yang kebagian rezeki ini mustajab. Akhirnya kita berlanjut terus," lanjutnya.
Hani meyakini, Desa Bahasa Borobudur bertahan menghadapi masa-masa sulit kerena dukungan doa para warga. Dia memotivasi para pegawai untuk tidak rakus mencari keuntungan.
Sekarang rata-rata pemilik homestay mitra Desa Bahasa Borobudur mendapat menghasilan tambahan Rp1 juta hingga Rp3 juta per bulan. Paling tidak mampu menopang perekonomian warga yang kebanyakan berprofesi sebagai petani ladang tadah hujan.
Sebagai penghargaan atas usahanya merintis Desa Bahasa Borobudur, Hani Sutrisno diganjar Bupati Awards 2025. Pria kelahiran 4 Agustus 1975 ini dinilai sebagai tokoh inovatif pengembangan wisata edukasi di Magelang.
"Makanya menurut saya orang bisa sukses bukan karena cerdas, tapi istiqomah. Komitmen. Saya bukan sarjana bahasa Inggris, tapi bisa buka kursus seperti ini. Jadi wisata edukasi bahasa," kata Hani.
Sambil terus menyempurnakan manajemen Desa Bahasa Borobudur, Hani Sutrisno menyimpan mimpi baru. Mendirikan toko grosir kebutuhan pokok dan souvenir di rumah-rumah warga Desa Ngargogondo.
0 Komentar