Kebangkitan Nasional dan Cendekiawan Zaman Now

Dilihat 65 kali
Foto ilustrasi generasi muda - freepik.com

Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, yang merujuk pada pendirian Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi ini menjadi lambang kebangkitan kesadaran cinta tanah air / nasionalisme di tengah gelimang fasilitas pendidikan dari pemerintah kolonialis.


Memperingati berarti memahami hakekat perjuangannya dan melakukan evaluasi diri tentang agenda perjuangan yang belum terwujud dan masih perlu diperjuangkan saat ini.


Namun, di zaman now, di mana tantangan tidak sama namun tidak kurang rumitnya, apakah semangat keangkitan nasional tetap relevan bagi para pemuda cendekiawan zaman now?


Intelektual Nasionalis


Boedi Oetomo lahir di kampus STOVIA, Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia kini. Lahirnya, diinspirasi oleh prinsip-prinsip pendidikan dan kebudayaan yang menjunjung tinggi jiwa merdeka.


Melalui proses pengajaran yang diikuti, para dokter tersadarkan bahwa usaha fisik perlawanan bersenjata tidak cukup untuk melawan kolonialisme, maka perlu dilengkapi perubahan intelektual.


Walaupun pada mulanya bersifat lokal Jawa dan terbatas di kalangan elit bangsawan, pendidikan yang diberikan melalui sekolah-sekolah seperti HIS, AMS, dan STOVIA melahirkan generasi pemimpin yang kritis terhadap kolonialisme.


Dampak dari proses pendidikan itu pribumi terpelajar paham hak-hak mereka yang terwadahi dalam ideologi nasionalisme.


Tidak berhenti pada tataran ideologi, tokoh-tokoh terdidik melakukan aksi membentuk organisasi pergerakan kemerdekaan, seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1911), dan Indische Partij (1912) yang menjadi cikal bakal perjuangan kemerdekaan.


Kebangkitan cendekiawan zaman now


Jika di masa lalu tantangan yang dihadapi adalah kolonialisme, yang kasat mata baik tentara maupun modus pemerintahannya.


Di zaman now, cendekiawan Indonesia berhadapan dengan lawan kasat maya, yaitu sesat informasi dan penurunan daya baca, krisis nasionalisme, kesenjangan dan ketidakadilan sosial.


Di zaman now, informasi tersedia tanpa batas, yang tersebar tanpa mengindahkan kaidah norma dan etika, maka tugas cendekiawan adalah menyaring pengetahuan, melawan berita palsu, dan mendorong kemampuan kritis dalam membaca dan menganalisa.


Berkaca kepada Boedi Oetomo yang selalu memprioritaskan pendidikan, maka ada nilai dan norma yang perlu dihidupkan kembali di tengah algoritma media sosial yang mengikis kedalaman berpikir.


Krisis Identitas Nasional


Generasi zaman now mengalami globalisasi dan perpecahan politik mengurangi rasa kebersamaan. Cendekiawan hari gini harus berfungsi sebagai penghubung antara generasi dan berbagai kelompok, serupa dengan Boedi Oetomo yang menggabungkan tradisi dan kemodernan.


Latar belakang munculnya Boedi Oetomo adalah kepedihan terhadap keterbelakangan masyarakat pribumi. Oleh karena itu saat ini, para cendekiawan diharapkan juga terlibat secara langsung dalam masalah seperti kesenjangan pendidikan, lingkungan, dan ekonomi.


Dari Menara Gading menuju Arena Sosial


Apa yang diajarkan Boedi Oetomo bahwa pengetahuan harus terhubung dengan kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak akademisi saat ini terisolasi dalam "menara gading" intelektual, yang menjauh dari kenyataan yang dihadapi masyarakat. Sesungguhnya, semangat Kebangkitan Nasional mengajukan tuntutan:


Pertama, kerja sama antara berbagai bidang (ilmuwan, seniman, aktivis, dan teknokrat) untuk menghasilkan solusi yang nyata.


Kedua, kepemimpinan yang berlandaskan moral seperti yang ditunjukkan oleh dr. Soetomo yang berani menyatakan pendapat tanpa terpengaruh oleh kepentingan praktis.


Ketiga, inovasi untuk masyarakat, bukan hanya sekadar publikasi penelitian, melainkan teknologi dan kebijakan yang menangani masalah secara langsung.


Bukan kebangkitan baru


Kebangkitan nasional tetap relevan jika kita dipahami bukan sekadar sebagai kenangan sejarah, melainkan sebagai dorongan untuk membangun melalui pengetahuan dan tindakan konkret.


Cendekiawan saat ini perlu berperan sebagai "pejuang literasi, edukasi, yang berbasis fakta dan data", dengan memanfaatkan keahlian untuk menciptakan demokrasi yang lebih bijak, ekonomi yang adil, dan masyarakat yang terbuka.


Dengan demikian, kebangkitan nasional berarti melawan keterbelakangan, ketidakpedulian, dan ketidakadilan.


Penulis: Budiono, Pengamat Sosial Ekonomi dan Politik

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar