Keluarga Sebagai Fondasi Literasi

Dilihat 450 kali
Orang tua memiliki peran utama dalam menumbuhkan budaya literasi bagi anak-anak agar tunas-tunas muda ini dapat bertumbuh dengan fondasi kuat pada kekuatan literasi dalam dirinya.

Indonesia sampai saat ini dalam hal budaya literasi masih dikategorikan rendah. Sebaliknya budaya bermain gawai yang telah mencandui anak-anak jauh lebih kuat dikomparasikan dengan budaya baca-tulis. Terlebih lagi, generasi saat ini sudah sangat akrab dengan dunia medsos. Mereka mampu berjam-jam berinteraksi lewat dunia maya.


Berdasarkan data UNESCO tahun 2012, daya literasi masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Sedangkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa minat baca anak-anak Indonesia masih sangat rendah, hanya 17,66 persen. Pada tahun 2016, World's Most Literate Nationts yang berpusat di Amerika Serikat melakukan pemeringkatan daya literasi dan Indonesia menduduki peringkat 60. Posisi kedua dari bawah berdasarkan 61 negara yang diteliti (Rahmat Hidayat, 2019).


Data di atas dapat menjadi indikator, bahwa budaya literasi bangsa Indonesia masih sangat memprihatinkan. Adapan determinasi atau faktor penyebabnya perlu dicari sampai pengakarannya agar dapat dicarikan solusi terbaik. Tentunya tidak bisa dipungkiri, dengan rendahnya budaya literasi tersebut, menandakan bahwa keingintahuan terhadap berbagai pengetahuan juga dapat dikatakan masih jauh dari harapan.


Peran Keluarga


Budaya literasi akan dapat optimal apabila diawali dari peran keluarga. Orang tua menjadi pilar utama dalam keluarga. Ayah dan ibu merupakan sosok teladan yang dapat menjadi sumber nilai keutamaan. Kiprahnya sebagai pendidik dalam keluarga tidak dapat dikesampingkan. Bangsa ini tentunya membutuhkan peran orang tua untuk menyemai literasi anak-anak dalam keluarga.


Gerakan literasi anak-anak, selama ini hanya dipasrahkan kepada guru-guru di sekolah. Sepertinya penegak literasi hanya bersemayam di sekolah. Padahal sejatinya, keluarga memiliki fungsi sangat dominan akan tumbuhnya minat terhadap literasi. Sementara ini, orang tua hanya pasrah total menyerahkan anaknya pada lembaga pendidikan yang dipercaya, sehingga kalau ada ketidakberesan, ujung-ujungnya sekolah yang disalahkan.


Padahal orang tua perlu tetap berperan dan bertanggung jawab sebagai pendidik di lingkup keluarga, meskipun anak-anak mereka sudah mereka percayakan pada sekolah. Tanggung jawab elaborasi pendidikan anak-anaknya tidak bisa dialihkan sepenuhnya pada sekolah. Tanggung jawab pendidikan tetap pada orang tua, karena merekalah yang bertemu dan berjumpa dengan anak dalam waktu lebih banyak. Perjumpaan dengan guru di sekolah sangat terbatas.  Menyadari keterbatasan guru dalam mendampingi anak-anak di sekolah, orang tua semestinya perlu berperan secara maksimal.


Untuk itu dalam gerakan literasi anak-anak, keluarga memiliki fungsi vital, karena keluarga merupakan pendidik pertama anak-anak tersebut sebelum diserahkan ke lembaga pendidikan. Orang tua tidak bisa melepaskan pendidikan anak pada sekolah atau lingkungan tanpa pernah memperhatikan pendidikan anak mulai dari lingkungan keluarga itu sendiri. Terlebih lagi, kalau dikorelasikan dengan regulasi merdeka belajar sekarang ini yang mengisyaratkan keluarga juga menentukan keberhasilan anak-anak dalam meraih masa depannya. 


Buku Sumber Ilmu


Untuk menumbuhkan budaya literasi di lingkungan keluarga, orang tua dapat melakukan pembiasaan yang sangat sederhana, antara lain anak-anak dikenalkan dengan buku. Tidak bisa dipungkiri, buku sampai saat ini, walaupun dunia digital datang bertubi-tubi, tetaplah menjadi sumber ilmu yang tak pernah kering. Bahkan, kalau ditelisik lebih jauh, sumber-sumber pengetahuan dari internet, banyak diambil dari buku-buku cetak, yang dikemas sedemikian rupa kemudian diunggah agar bisa dikonsumsi publik.


Upaya mengenalkan buku kepada anak-anak dapat diawali dengan melibatkan buku dengan berbagai aktivitas mereka. Salah satunya dengan membiasakan diri mendongeng lewat buku atau membacakan buku untuk anak. Membacakan dongeng merupakan kegiatan nyata untuk menumbuhkan kecintaan anak terhadap buku. Dengan kegiatan mendongeng, anak akan mendapatkan banyak manfaat antara lain: meningkatkan kemampuan kognitif karena dengan mendengarkan dongeng, anak mendapat informasi-informasi baru, dan akan menambah rasa ingin tahu tentang informasi lainnya. Manfaat lain dari mendongeng adalah dapat melatih perkembangan sosial dan emosional anak.


Dari kisah dalam dongeng, anak akan belajar mengenal sifat dan karakter tokoh, upaya tokoh tersebut dalam mengatasi kesulitan, dan sebagainya. Selain kedua hal tersebut, manfaat lain dari mendongeng adalah meningkatkan kemampuan berbahasa, meningkatkan daya imajinasi, dan juga mempererat bonding atau ikatan emosional antara orang tua dan anak.


Dengan demikian, impresi perdana anak dan buku dapat menimbulkan kesan positif. Di dalam memori anak, kemudian akan terpahat bahwa buku merupakan sumber kesenangan, sumber pengetahuan, wahana hiburan, dan perigi wawasan. Apabila kecintaan terhadap pustaka sudah terpatri, secara alami mereka akan menjadikan buku sebagai daya hidup.


Untuk menumbuhkan minat literasi di keluarga, orang tua juga perlu membuka perpustakaan mini atau keluarga. Perpustakaan mini diartikan sebagai perpustakaan sederhana yang ada dalam rumah. Perpustakaan ini menyediakan berbagai sumber bacaan untuk seluruh anggota keluarga, mulai dari koran, majalah, buku cerita, novel ataupun ensiklopedia.


Buku yang ada di perpustakaan rumah disediakan oleh anggota keluarga sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing- masing. Adanya perpustakaan mini dalam rumah menjadi langkah awal untuk membangun budaya literasi anak sejak usia dini dalam keluarga. Selain itu, perpustakaan mini juga akan memotivasi anak dan anggota keluarga yang lain untuk terus belajar dan memperluas pengetahuan.


Penyemaian literasi anak sejak dini merupakan strategi jitu untuk mengelola bonus demografi. Secara faktual, nasib tunas-tunas muda harapan bangsa ini tak lain ditentukan juga oleh kapabilitas literasi. Apabila literasinya sudah terbangun sejak dini, maka pola pikir dan pola tindaknya dalam kehidupan nyata sudah dapat diprediksikan terkondisikan dengan baik.

 

(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar